Feeds:
Pos
Komentar

KEGIATAN ANAK-ANAK YATIM

Foto Arrahmah_english_06 Jan4

Selasa, 05 Nopember 2002

Daun salam biasa dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai pelengkap bumbu dapur. Pohon salam (Syzygium polyanthum) yang biasa tumbuh liar di hutan dan di pegunungan bisa mencapai ketinggian 25 meter dan lebar pohon 1,3 meter.

Tumbuhan ini dapat ditemukan dari dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut. Selain daun yang dipakai sebagai bumbu, kulit pohonnya biasa dipakai sebagai bahan pewarna jala atau anyaman bambu. Perbanyakan tumbuhan ini bisa dilakukan dengan biji, cangkok, atau stek.

Menurut Prof Hembing Wijayakusuma dalam bukunya Tumbuhan Berkhasiat Obat: Rempah, Rimpang, dan Umbi, pohon salam memiliki berbagai khasiat obat yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pohon salam bisa dimanfaatkan untuk mengatasi asam urat, stroke, kolesterol tinggi, melancarkan peredaran darah, radang lambung, diare, gatal-gatal, kencing manis, dan lain-lain. Kandungan kimia yang dikandung tumbuhan ini adalah minyak atsiri, tannin, dan flavonoida. Bagian pohon yang bisa dimanfaatkan sebagai obat adalah daun, kulit batang, akar, dan buah.

Mengatasi asam urat yang tinggi, 10 lembar daun salam direbus dengan 700 cc air hingga tersisa 200 cc, kemudian airnya diminum selagi hangat. Mengatasi stroke, 10 lembar daun salam dan 50 gram jantung pisang dibuat masakan sesuai selera lalu dimakan.

Bagi penderita kolesterol tinggi, 7 lembar daun salam dan 30 gram daun ceremai direbus dengan 600 cc air hingga tersisa 300 cc. Kemudian arinya diminum secara teratur. Untuk melancarkan peredaran darah, 7 lembar daun salam dan 30 gram daun dewa segar direbus dengan 700 cc air hingga tersisa 350 cc. Lalu ramuan disaring dan diminum sebanyak dua kali sehari.

Mengatasi radang lambung, 30 gram daun salam, 30 gram sambiloto kering, dan gula batu secukupnya direbus dengan 600 cc air hingga tersisa 300 cc. Kemudian airnya diminum untuk dua kali sehari. Lakukan secara teratur.
Untuk obat diare, 7 lembar daun salam direbus dengan 200 cc air selama 15 menit, tambahkan garam secukupnya. Setelah dingin disaring lalu airnya diminum. Ramuan lainnya, 7 lembar daun salam, 10 lembar daun jambu biji, 10 gram jahe, dan 1 buah kulit delima putih, dicuci bersih lalu ditumbuk halus. Tambahkan 200 cc air matang, disaring, lalu diminum.

Mengatasi gatal-gatal, daun atau kulit batang atau akar dicuci bersih lalu digiling hingga halus. Tambahkan minyak kelapa secukupnya, kemudian balurkan pada bagian yang sakit.

Sebagai obat kencing manis, 7 lembar daun salam dan 30 gram sambiloto direbus dengan 600 cc air sampai tersisa 200 cc. Setelah dingin disaring lalu diminum untuk dua kali sehari. n mag.

Sumber: internet

Oleh: Albiner Siagian

JUMLAH penderita obesitas di Indonesia terus bertambah dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Susenas tahun 1989, prevalensi obesitas di Indonesia adalah 1,1 persen dan 0,7 persen, masing-masing untuk kota dan desa. Angka tersebut meningkat hampir lima kali menjadi 5,3 persen dan 4,3 persen pada tahun 1999.

Hasil pemantauan masalah gizi lebih pada dewasa yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan tahun 1997 menunjukkan, prevalensi obesitas pada orang dewasa adalah 2,5 persen (pria) dan 5,9 persen (wanita). Prevalensi obesitas tertinggi terjadi pada kelompok wanita berumur 41-55 tahun (9,2 persen). Saat ini diperkirakan 10 dari setiap 100 penduduk Jakarta menderita obesitas. Bertambahnya jumlah orang gemuk juga diindikasikan dengan maraknya pusat-pusat kebugaran yang menjanjikan penurunan berat badan. Selain itu, hampir setiap hari kita melihat di layar televisi atau membaca di surat kabar tentang iklan berbagai produk penurun berat badan.

Kalau kita mencari buku di situs Amazon.com (toko buku elektronik terbesar di dunia), dengan menggunakan “weight loss” sebagai kata kunci, ada lebih dari 1.800 judul buku yang menjanjikan penurunan berat badan. Atau, kalau kita gunakan kata kunci yang sama pada salah satu search engine, kita akan menemukan lebih dari 3 juta informasi yang berkaitan dengan penurunan berat badan.

Meskipun jumlah orang yang menjalani diet atau melakukan senam kebugaran bertambah, jumlah penderita kegemukan terus meningkat. Banyak orang, walaupun sudah berusaha keras menurunkannya, tidak mendapatkan berat badan yang diharapkan. Pertanyaannya kemudian adalah, adakah cara yang nyaman untuk mencegah kegemukan dan obesitas?

Risiko obesitas

Hasil penelitian terbaru mengungkapkan, sarapan secara teratur dapat menurunkan risiko obesitas. Para peneliti dari Divisi Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas Massachusetts membuktikan bahwa pola makan ¾ frekuensi makan dan kebiasaan sarapan ¾ berkaitan erat dengan risiko menderita obesitas. Mereka juga menemukan bahwa makin sering mengonsumsi makanan, makin kecil risiko menderita obesitas.

Temuan ini agaknya bertolak belakang dengan pendapat umum yang selama ini berlaku. Bukankah makin sering mengonsumsi makanan mengakibatkan makin banyak energi atau lemak yang dimasukkan ke dalam tubuh dan karena itu makin banyak yang disimpan sebagai lemak?

Melalui publikasinya pada American Journal of Epidemiology edisi Agustus 2003, tim peneliti tersebut mengungkapkan bahwa orang yang mengonsumsi makanan sampai dengan tiga kali per hari berisiko menderita obesitas 45 persen lebih tinggi daripada orang yang mengonsumsi makanan empat kali atau lebih.

Mengapa demikian? Frekuensi makan yang rendah berkaitan dengan sekresi insulin yang tinggi. Insulin dapat berperan sebagai penghambat enzim lipase ¾ enzim yang memecah lemak. Makin banyak insulin yang disekresikan, makin besar hambatan pada aktivitas enzim lipase. Akibatnya, makin banyak lemak yang ditimbun di dalam tubuh.

Temuan kedua adalah kebiasaan sarapan secara teratur menurunkan risiko menderita obesitas. Orang yang tidak pernah sarapan ¾ mengonsumsi makanan pada pagi hari ¾ berisiko menderita obesitas 4,5 kali lebih tinggi daripada orang yang sarapan secara teratur. Para peneliti juga menemukan bahwa asupan energi cenderung meningkat ketika sarapan dilewatkan.

Yunseng Ma, ketua tim peneliti tersebut, mengemukakan, orang yang tidak sarapan merasa lebih lapar pada siang dan malam hari daripada mereka yang sarapan. Mereka akan mengonsumsi lebih banyak makanan pada waktu siang dan malam hari. Asupan makanan yang banyak pada malam hari akan berakibat pada meningkatnya glukosa yang disimpan sebagai glikogen. Karena aktivitas fisik pada malam hari sangat rendah, glikogen kemudian disimpan dalam bentuk lemak. Penelitian pada hewan juga menunjukkan, hewan yang tidak diberi makan pada pagi hari cenderung mengonsumsi makanan secara berlebihan pada siang dan malam hari.

Asupan pangan

Publikasi terbaru pada Journal of Nutrition terbitan Januari 2004 yang berjudul The Time of Day of Food Intake Influences Overall Intake in Humans mendukung temuan Yunseng Ma dan koleganya. Penelitian yang dilakukan oleh John M de Castro, peneliti dari Departemen Psikologi Universitas Texas, mengungkapkan, ritme Circadian mempengaruhi asupan pangan. (Ritme circadian ¾ Latin: circa diam yang berarti kira-kira sehari ¾ adalah irama biologis yang mengatur respons tubuh terhadap perubahan lingkungan. Tubuh kita memiliki “jam biologis” yang mengingatkan kita untuk tidur, bangun, dan makan; mengeluarkan enzim pencernaan; mengatur tingkat kewaspadaan; mengatur pola pengeluaran hormon; dan lain-lain. Apabila irama tersebut mengikuti siklus siang-malam, hal itu disebut ritme diurnal).

Melalui penelitiannya pada 375 pria dan 496 wanita, Castro menemukan bahwa proporsi asupan pangan pagi hari berkorelasi negatif dengan asupan pangan total selama satu hari. Ini berarti, sarapan pagi menurunkan asupan pangan dan energi total.

Menurut Castro, ada dua penjelasan yang memungkinkan hal tersebut terjadi.

Pertama, melewati pagi hari tanpa sarapan mengakibatkan perubahan pada ritme, pola, dan siklus waktu makan. Orang cenderung lebih banyak makan pada siang dan malam hari apabila mereka tidak sarapan. Penjelasan kedua, yang juga berkaitan dengan penjelasan pertama, adalah makanan pada pagi hari lebih mengenyangkan daripada makanan pada siang dan malam hari. Sarapan pagi berperan mengurangi rasa lapar pada siang dan malam hari. Akibatnya, kita akan lebih sedikit mengonsumsi pangan pada siang dan malam hari.

Albiner Siagian Pengajar pada Bagian Gizi FKM USU, Medan

Do’a Harian Ramadhan

“ Doa Harian Ramadhan “

Doa hari – 1

Yaa Allah! Jadikanlah puasaku sebagai puasa orang-orang yang benar-benar berpuasa. Dan ibadah malamku sebagai ibadah orang-orang yang benar-benar melakukan ibadah malam. Dan jagalah aku dan tidunya orang-orang yang lalai. Hapuskanlah dosaku … Wahai Tuhan sekalian alam!!
Dan ampunilah aku, Wahai Pengampun para pembuat dosa.

Doa hari – 2

Yaa Allah! Dekatkanlah aku kepada kenidloan-MU dan jauhkanlah aku dan kemurkaan serta balasan-MU. Berilah aku kemampuan untuk membaca ayat-ayat-MU dengan rahmat-MU, Wahai Maha Pengasih dad semua Pengasih!!

Doa hari – 3

Yaa Allah! Berikanlah aku nizki akal dan kewaspadaan. dan jauhkanlah aku dari kebodohan dan kesesatan. Sediakanlah bagian untukku dari segala kebaikan yang KAU turunkan, demi kemurahan-MU, Wahai dzat Yang Maha Dermawan dari semua dermawan!

Doa hari – 4

Yaa Allah! Berikanlah kekuatan kepadaku, untuk menegakkan perintah-perintah-MU, dan berilah aku manisnya bendzikin mengingat-MU. Berilah aku kekuatan untuk menunaikan syukur kepada-MU, dengan kemuliaan- MU. Dan jagalah aku dengan penjagaan-MU dan perlindungan-MU, Wahai dzat Yang Maha Melihat.

Doa hari – 5

Yaa Allah! Jadikanlah aku diantara orang-orang yang memohon ampunan, dan jadikanlah aku sebagai hamba-MU yang sholeh dan setia serta jadikanlah aku diantara Auliya’- MU yang dekat disisi-MU, dengan kelembutan-MU, Wahai dzat Yang Maha Pengasih di antara semua pengasih.

Doa hari – 6

Yaa Allah! Janganlah Engkau hinakan aku karena perbuatan maksiat terhadap-MU, dan janganlah Engkau pukul aku dengan cambuk balasan-MU. Jauhkanlah aku dari hal-hal yang dapat menyebabkan kemurkaan-MU, dengan anugerah dan bantuan-MU, Wahai puncak keinginan orang-orang yang berkeinginan!

Doa hari – 7

Yaa Allah! Bantulah aku untuk melaksanakan puasanya, dan ibadah malamnya. Jauhkanlah aku dari kelalaian dan dosa-dosanya. Dan berikanlah aku dzikir berupa dzikir mengingat-MU secara berkesinambungan, dengan Taufiq- MU, Wahai Pemberi Petunjuk orang-onang yang sesat.

Doa hari – 8
Yaa Allah! Berilah aku rizki berupa kasih sayang tenhadap anak-anak yatim dan pemberian makan, serta penyebaran salam, dan pergaulan dengan orang-onang mulia, dengan kemuliaan-MU, Wahai tempat berlindung bagi orang-onang yang berharap

Doa hari – 9
Yaa Allah! Sediakanlah untukku sebagian dari rahmat-MU yang luas, dan berikanlah aku petunjuk kepada ajaran- ajaran-MU yang terang, dan bimbinglah aku menuju kepada kerelaan-MU yang penuh dengan kecintaan-MU, Wahai harapan orang-orang yang rindu.

Doa hari – 10

Yaa Allah! Jadikanlah aku diantara orang-orang yang bertawakkal kepada-Mu, dan jadikanlah aku diantara orang- orang yang menang disisi-MU, dan jadikanlah aku diantara orang-orang yang dekat kepada-MU dengan ihsan-MIU, Wahai Tujuan orang-orang yang memohon.

Doa hari – 11
Yaa Allah! Tanamkanlah dalam diniku kecintaan kepada perbuatan baik, dan tanamkanlah dalam diniku kebencian terhadap kemaksiatan dan kefasikan. Jauhkanlah dariku kemurkaan-MU dan api neraka dengan pertolongan-MU, Wahai Penolong orang-orang yang meminta pertolongan.

Doa hari – 12

Yaa Allah! Hiasilah diriku dengan penutup dan kesucian. Tutupilah diriku dengan pakaian qana’ah dan kerelaan. Tempatkanlah aku di atas jalan keadilan dan sikap tulus. Amankanlah diniku dari setiap yang aku takuti dengan penjagaan-MU, Wahai penjaga orang-orang yang takut.

Doa hari – 13
Yaa Allah! Sucikanlah diriku dari kekotoran dan kejelekan. Berilah kesabaran padaku untuk menenima segala ketentuan. Dan berilah kemampuan kepadaku untuk bertaqwa, dan bergaul dengan orang-orang yang baik dengan bantuan-MU,Wahai Dambaan orang-orang miskin.

Doa hari – 14
Yaa Allah! Janganlah.Engkau hukum aku, karena kekeliruan yang kulakukan. Dan ampunilah aku dari kesalahan-kesalahan dan kebodohan. Janganlah Engkau jadikan diriku sebagai sasaran bala’ dan malapetaka dengan kemualian-MU, Wahai Kemulian kaum Muslimin.

Doa hari – 15
Yaa Allah! Berilah aku rizki berupa ketaatan orang-orang yang khusyu’. Dan lapangkanlah dadaku dengan taubatnya orang-orang yang menyesal, dengan keamanan-MU, Wahai Keamanan untuk orang-orang yang takut.

Doa hari – 16

Yaa Allah! Berilah aku kemampuan untuk hidup sebagaimana kehidupan orang-orang yang baik. Dan jauhkanlah aku dari kehidupan bersama orang-orang yang jahat. Dan naungilah aku dengan rahmat-MU hingga sampai kepada alam akhirat. Demi ketuhanan-MU Wahai Tuhan seru sekalian alam.
Doa hari – 17
Yaa Allah! Tunjukkanlah aku kepada amal kebajikan dan penuhilah hajat serta cita-cita-ku. Wahai Yang Maha Mengetahui keperluan, tanpa pengungkapan permohonan. Wahai Yang Maha Mengetahui segala yang ada didalam hati seluruh isi alam. Sholawat atas Mohammad dan keluarganya yang suci.
Doa hari – 18
Yaa Allah! Sedarkanlah aku akan berkah-berkah yang terdapat di saat saharnya. Dan sinarilah hatiku dengan terang cahayanya dan bimbinglah aku dan seluruh anggota tubuhku untuk dapat mengikufi ajaran-ajarannya, Demi cahaya-Mu Wahai Penerang hati para arifin.

Doa hari – 19
Yaa Allah! Penuhilah bagianku dengan berkah-berkahnya, dan mudahkanlah jalanku menuju kebaikan-kebaikannya. Janganlah Kau jauhkan aku dari ketertedmaan kebaikan- kebaikannya, Wahai Pembed petunjuk kepada kebenaran yang terang.

Doa hari – 20

Yaa Allah! Bukakanlah bagiku pintu-pintu sorga dan tutupkanlah bagiku pintu-pintu neraka, dan berikanlah kemampuan padaku untuk membaca AI-Quran Wahai Penurun ketenangan di dalam hati orang-orang Mu’min.

Doa hari – 21
Yaa Allah! benilah aku petunjuk menuju kepada kenidloan- MU. Dan janganlah Engkau bed jalan kepada setan untuk menguasaiku. Jadikanlah sorga bagiku sebagai tempat tinggal dan peristirahatan, Wahai Pemenuh kepenluan orang- orang yang meminta.

Doa hari – 22
Yaa Allah! Bukakanlah bagiku pintu-pintu karunia-MU, turunkan untukku berkah-berkahmu. Berilah kemampuan untukku kepada penyebab-penyebab keridloan-MU, dan tempatkanlah aku di dalam sorga-MU yang luas, Wahai Penjawab doa orang-orang yang dalam kesempitan.

Doa hari – 23
Yaa Allah! Sucikanlah aku dari dosa-dosa, dan bersihkanlah diriku dari segala aib. Tanamkanlah ketaqwaan di dalam hatiku, Wahai Penghapus kesalahan onang-orang yang berdosa.

Doa hari – 24

Yaa Allah! Aku memohon kepada-MU hal-hal yang mendatangkan keridloan-MU, dan aku berlindung dengan- MU dan hal-hal yang mendatangkan kemarahan-MU, dan aku memohon kepada-MU kemampuan untuk mentaati-MU serta menghindani kemaksiatan tenhadap-MU, Wahai Pemberi para peminta.
Doa hari – 25
Yaa Allah! Jadikanlah aku orang-.orang yang mencintai Auliya-MU dan memusuhi musuh-musuh MU. Jadikanlah aku pengikut sunnah-sunnah penutup Nabi-MU, Wahai Penjaga hati para Nabi.

Doa hari – 26
Yaa Allah! Jadikanlah usahaku sebagai usaha yang disyukuri, dan dosa-dosaku diampuni, amal perbuatan ku diterima, dan seluruh aibku ditutupi, Wahai Maha Pendengar dan semua yang mendengar.
Doa hari – 27

Yaa Allah! Rizkikanlah kepadaku keutamaan Lailatul Qadr, dan ubahlah perkara-perkaraku yang sulit menjadi mudah. Terimalah permintaan maafku, dan hapuskanlah dosa dan keslahanku, Wahai Yang Maha Penyayang terhadap hamba- hambanya yang sholeh.

Doa hari – 28
Yaa Allah! Penuhkanlah hidupku dengan amalan-amalan Sunnah, dan muliakanlah aku dengan terkabulnya semua permintaan. Dekatkanlah perantaraanku kepada-MU diantara semua perantara, Wahai Yang tidak tersibukkan oleh permintaan orang-orang yang meminta.
Doa hari – 29
Yaa Allah! Liputilah aku dengan rabmat dan benikanlah kepadaku Taufiq dan penjagaan. Sucikanlah hatiku dan noda-noda fitnah wahai pengasih terhadap hamb- hambaNYA yang Mu’min.

Doa hari – 30

Yaa Allah! Jadikanlah puasaku disertai dengan syukur dan penerima di atas jalan keridloan-MU dan keridloan Rasul. Cabang-cabangnya kokoh dan kuat berkat pokok-pokoknya, Demi kenabian Mohammad dan keluarganya yang suci, dan segala puji bagi Allah Tuhan sekalian alam.

 CATATAN RINGAN DARI TANAH SUCI

Sisi Lain Ibadah Haji Orang Pinggiran

 

Rezeki Itu Datang

Suatu hari, akhir tahun 2003, seorang kawan menghampiri kamar kerja saya, “Kang ada rapat dengan Pak Luthfi,” ajaknya. Kami segera menuju ruang kerja, Pak Luthfi, Kepala Divisi Eksplorasi, waktu itu. Selain Pak Luthfi, di dalam ruangan sudah ada beberapa kawan lain. Setelah sedikit berbicara mengenai beberapa hal, Pak Luthfi berkata, “Pak Jonih, teman-teman yang sudah haji dan yang akan pergi haji, ingin Pak Jonih pergi haji juga.”  “Saya tak punya uang, Pak”, jawab saya spontan.  Sambil menaruh amplop tebal di meja, beliau berkata, “Ini uangnya!  Titipan dari teman-teman,” lanjutnya. Agak terkejut, saya. Perasaan gembira dan haru bergelora di hati. Siapa orang islam yang tak punya cita-cita pergi haji? Orang-orang di kampung halaman orang tua kami, di pedalaman Sukabumi sana, karena obsesinya untuk pergi haji- kendatipun secara finansial belum tergolong mampu untuk  melaksanakan rukun Islam yang kelima ini- rela menggadaikan sawahnya, demi cita-cita mulia ini. Pelbagai perasaan, seketika berkecamuk dalam hati. Ada suka, tentu saja; tetapi juga haru. Rupanya, beberapa orang kawan di Divisi Eksplorasi BPMIGAS, urunan, mengumpulkan uang untuk biaya haji saya. Sebesar itu perhatian kawan-kawan pada saya! Tak mampu saya menahan tetes-tetes air mata.

 

“Terima kasih atas kebaikan kawan semua, tetapi sementara ini saya ingin konsentrasi dulu dalam kegiatan-kegiatan sosial,” saya menolak dengan halus. Tetapi, ucapan yang tulus dan wajah-wajah yang ikhlas, meminta saya untuk menerima tawaran itu. “Uangnya, bawa dulu saja!” desak kawan-kawan. Saya pun membawanya ke rumah. Kepada istri, saya sampaikan apa yang terjadi tadi siang di kantor. Istri saya menjawabnya dengan deraian air mata.  Saya minta pendapatnya akan uang yang besar itu, menerima atau menolaknya? Selama dua hari dia tak menjawab. Setiap ditanya, hanya tangisan yang saya terima. Saya bilang, “Bapak pun, berat menerimanya, tetapi menolaknya lebih berat lagi. Ini adalah bentuk perhatian yang sangat besar dari kawan-kawan. Kalau menolaknya, khawatir mereka luka hatinya,” desak saya. Hari Senin, bakda subuh, waktu itu, saya tanya lagi istri, “Bapak mau ke kantor, tolong, minta jawaban, bagaimana dengan uang pemberian teman-teman itu?” Akhirnya, dia menjawab, “Kalau begitu, Bapak berangkat saja!” Lega saya mendapat jawaban ini. Oh ya, agar ceritanya lebih nyambung dengan apa yang saya uraikan selanjutnya, saya informasikan bahwa ONH yang teman-teman berikan adalah untuk satu orang. Untuk saya saja. “Ibu tahu, semua orang di kampung ini, juga tahu kalau kita pergi, ke mana pun, selalu berdua. Dan, ini adalah perjalanan rohani. Bapak tak mau sendirian. Kita pergi berdua!” lanjut saya. “Tetapi, kan, uangnya tidak ada,” ia bicara sambil tak mengerti, bakal dapat uang dari mana. “Asal ibu setuju, nanti Bapak carikan,” saya meyakinkannya.

 

Senin, pagi-pagi sekali, saya menghadap Pak Andit, “Istri saya setuju, tetapi saya mau dia juga berangkat dengan saya. Jadi, tolong carikan uang untuk satu orang lagi. Nanti, insya Allah, kalau dapat bonus akhir tahun, saya bayar.” Ini termasuk meminjam uang untuk ongkos naik haji yang dibolehkan, pikir saya. Sekali lagi, menurut pikir. Bukan fikih!  “OK, saya carikan,” kata Pak Anditya Ibrahim. Siang, setelah jam istirahat, Pak Andit membawa segepok besar uang, “Ini,” katanya singkat. “Kami, akan pergi haji!”  bisik hati.

 

Tak pernah kami membayangkan untuk bisa pergi haji dalam waktu sedekat ini. Suasana lingkungan keluarga, tetangga (dekat dan jauh), lebih menarik perhatian ketimbang haji.

 

Anak-anak  yang tak bisa pergi sekolah karena orang tuanya tak mempunyai biaya atau malah sudah tak punya bapak; orang-orang yang menggelapar menahan sakit dan tak mampu membayar biaya rumah sakit; para gelandangan yang tidur di emper-emper toko; tetangga yang beberapa hari dapurnya tak berasap; janda tua yang sebagian besar rumahnya bocor; orang-orang yang kesulitan mendapatkan air bersih; rumah-rumah yang tak punya sarana MCK, sehingga pagi-pagi buta berebut tempat di selokan untuk suatu keperluan; terasa lebih dekat daripada Makkah.

 

Bila ada orang sakit keras dan tak bisa pergi ke dokter atau berobat ke rumah sakit, orang yang selesai dirawat dan harus membayar biaya rawat inap selama di rumah sakit tetapi tidak ada cukup uang untuk membayarnya, tetangga (yang umumnya miskin) tertimpa musibah, atau ada anggota keluarga yang meninggal dunia, biasanya mereka datang ke rumah. Sekedar mengeluh, mengadu, curhat atau –bila mungkin- minta bantuan. Tak jarang pula, orang yang bertengkar –baik dalam keluarga atau pun dengan tetangga- berlindung atau minta ditengahi. Sering orang datang ke rumah hanya untuk menceritakan kesulitan hidupnya, dan sering kali kami tak bisa berbuat apa-apa. So, ….rasanya, belum pantas saya naik haji!

 

Waktu itu, bulan ramadhan, akhir tahun 2003.  Departemen Agama baru saja mengumumkan bahwa ada rencana penambahan kuota haji. Sedang diajukan oleh pemerintah RI kepada pemerintah Saudi Arabia. Menurut kabar yang tersiar, penambahan kuota  ini, optimis diberikan pemerintah Saudi. Berharap mendapat kesempatan mendapat seat dari penambahan kuota ini, atas petunjuk seorang kawan, kami mendaftar di suatu lembaga bimbingan haji di Jakarta. Ada keunggulan lembaga bimbinan haji ini, seperti ditawarkan seorang kawan kepada saya: ONH-nya biasa, tetapi bimbingannya, plus! Daftarlah kami di lembaga bimbingan tersebut, dan melengkapi persyaratan yang diperlukan. Untuk pembayaran, ”Nanti saja, menunggu pengumuman dalam waktu dekat dan akan diinfokan oleh Pak ……….. (dia menyebut sebuah nama, yang sebaiknya tidak saya cantumkan di sini), ketua bimbingan haji ini,” katanya. Jadi, kendatipun belum bayar ONH-nya, kami sudah terdaftar di lembaga bimbingan haji tersebut.

 

Singkat cerita, kami mengikuti manasik di rumah salah satu pembimbing yang sangat akrab dan baik hati sekali itu, secara privat! Kami merasakan kehangatan dalam penyambutan dan manasik yang kami terima. Keluarga yang memberikan manasik ini, juga adalah aktivis kegiatan sosial. Pasangan suami-istri dengan satu putra ini, bahu membahu dalam menyantuni fakir-miskin. Nyaman rasanya berada di kediaman itu. Saya percaya, kalau apa yang ”diiklankan” bahwa  biaya ongkos naik haji dengan tarif biasa, tetapi bimbingannya plus adalah benar adanya. Cocoklah, sudah!

 

Suatu hari, untuk konfirmasi biaya ONH, saya menelepon ketua bimbingan haji ini. Pimpinan KBIH itu menyebut besarnya ONH dan langsung menambahkan bahwa, ”Biaya itu agak mahal karena perlu melobby orang DEPAG.” Saya tidak siap mendapat jawaban semacam itu! Saya kaget! Untuk urusan haji, pakai lobby-lobby-an, segala! Kalau saja dia tidak menambahkan kalimat terakhir, tak ada masalah. Atau, saya tidak tahu apa yang ”biasa” terjadi antara lembaga bimbingan haji dengan orang DEPAG, saya tak ambil pusing. It’s none of my bussiness!  Tetapi ini, menyangkut ONH kami. Tentu saja, saya dan istri terlibat. Bagaimana pun juga, kalau kami meneruskan di situ, kami punya andil dalam perbuatan yang ancamannya naudzubillahi min dzalik itu! Sebenarnya, saya tidak keberatan dengan besarnya ONH tersebut, tetapi sangat tidak bisa menerima kalimat penjelasannya! Kendatipun sudah terdaftar, kami memutuskan mengundurkan diri dan mulai kembali mencari lembaga bimbingan haji lain!

 

Waktu pun berjalan. Kami mulai membuat daftar barang-barang yang perlu dibawa ke tanah suci, dan sedikit demi sedikit mengumpulkannya. Ada yang perlu dibeli, ada juga yang bisa dipinjam dari tetangga atau teman kantor, yang dulu pernah pergi haji. Belakangan surat kabar memberitakan bahwa rencana penambahan kuota haji tahun 2003-2004, tidak jadi! Mungkin, untuk hal ini, pemerintah Saudi tidak mengabulkan permohonan pemerintah RI. Tak apalah, kami menunggu tahun berikutnya saja. Juga, ada baiknya, kami bisa baca buku-buku tentang haji lebih banyak lagi. Ini kesempatan baik.

 

Untuk urusan yang sangat sakral dengan biaya tak sedikit ini, kami ingin mendapatkan pengarahan atau bimbingan yang sebaik-baiknya. Karena ibadah haji adalah puncak dari segala ibadah ritual, dilaksanakan di sekitar rumah Tuhan, kami ingin, yang membimbing nanti bukan saja tinggi dalam ilmu agamanya, tetapi juga mengamalkan ilmu yang dimilikinya untuk kebaikan sesama,  akhlaknya terpuji, dan… biasa berdekat-dekat dengan Tuhan. Setelah berlama-lama melakukan browsing di kepala, jatuhlah pilihan ke salah satu lembaga bimbingan haji, masih di Jakarta juga. Memang ada satu hal, yang hampir-hampir membuat kami batal mendaftar di lembaga bimbingan haji ini. Ongkos naik haji melalui lembaga bimbingan ini, setidaknya bagi kami,  sangat mahal! Biaya untuk ONH kami berdua, hanya cukup untuk satu orang, atau untuk berdua tetapi bayar baru setengah-setengah, alias baru uang muka untuk berdua. Tidak nekat, tetapi keyakinan saja yang membimbing kami bahwa Allah pasti menolong kami untuk menyelesaikan urusan ini, sehingga kami langsung melakukan pendaftaran dan membayar uang muka dengan uang yang telah ada itu. Kapan dan bagaimana cara memenuhi sisa pembayaran yang harus dilunasi? Entahlah. Yang kami yakini adalah Allah akan memudahkan urusan setiap hamba yang menuju ke jalan-Nya.

 

Ketika waktu pelunasan ONH mendekati dead line, saya ditelepon petugas dari lembaga bimbingan haji untuk segera melunasi sisa pembayaran. Saya jawab bahwa uangnya belum ada dan saya sedang mencari dana ke sana kemari untuk melunasinya. ”Do’akan saja,” Bu, pinta saya. Pada saat-saat agak kritis itu, Pak Luthfi dan Bapak-bapak manajemen Divisi Eksplorasi, dengan mempertimbangkan jabatan saya di posisi waktu itu dan latar belakang pekerjaan saya ketika bekerja di Pertamina, dulu- di banding semua teman- menganggap saya paling sesuai untuk mengikuti suatu pelatihan yang ditawarkan pemerintah suatu negara, di Eropa Utara. Terpilihlah saya untuk dinas ke negeri yang jauh itu. Setelah memenuhi segala persyaratan yang diminta, juga urusan administrasi di kantor, hal pertama yang saya lakukan, sebelum kepergian ke negeri jauh di bola dunia bagian utara itu, adalah mentransfer sejumlah dana untuk pelunasan ONH di atas. Tenanglah hati kami. Alhamdulillah!

 

Sepulang dari dinas tersebut, kembali kami sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan rencana ibadah haji kami. Ketika dinas di negeri jauh itu, saya hidup berhemat-hemat. Sebagai informasi saja, saya sampaikan bahwa, jauh sebelum teman-teman memberi saya uang untuk pergi haji, saya mempunyai angan-angan– kalau kelak ada rezeki yang cukup- ingin menghajikan Bapak dan Ibu mertua terlebih dahulu. Beberapa tahun setelahnya, kalau ada rezeki besar lagi, baru kami akan daftar untuk pergi haji. Ternyata skenario itu tak jalan, lantaran saya keburu diberi uang untuk biaya haji oleh kawan-kawan, yang baik-baik hati itu. Jadi, saya dan istri akan mendahului orangtua. Karena itu, sisa rezeki dari dinas ke negeri jauh itu, saya teruskan ke DEPAG, mendaftarkan Bapak dan Ibu untuk pergi haji tahun berikutnya. Sekali lagi, segala puji bagi-Nya, tak perlu menunggu bertahun-tahun, kami dan orang tua bisa pergi haji pada tahun yang berurutan!

 

Kabar rencana ibadah haji kami cepat tersebar di kantor tempat dulu saya bekerja, Pertamina EP, dan kemudian di kantor tempat bekerja sekarang, BPMIGAS. Sekitar dua minggu sebelum keberangkatan, Bu Tamsil, istri atasan kami ketika berkantor di depan Istiqlal menelpon, ”Pak Jonih, Bapak ingin bertemu,”. Saya pun ke kantor Pak Tamsil. Setelah panjang lebar cerita pengalaman hajinya, Pak Tamsil mengeluarkan amplop yang isinya tebal sambil berkata “Ini untuk tambah-tambah bekal di sana.”  Amplop itu berisi  sekian lembar, ratusan dollar! Tiga hari kemudian, atasan kami ketika berkantor di Pertamina EP Cirebon, Pak Amril, yang juga mendapat kabar itu berkata,” Katanya, kamu mau pergi haji? Nanti, ke tempat saya, ya!”  Pak Amril adalah juga donatur anak-anak yatim kami. Dulu, kalau lama saya tak menghubunginya, beliau bersemangat bicara, ”Kemana saja? Tolong nomor rekeningnya dikirim lagi!” Satu-dua hari kemudian biasanya ada sms masuk:” Sudah transfer …..via Bank….. Hari itu pun, Pak Amril memberi saya amplop tebal. ”Untuk beli-beli di sana,” katanya.

 

Sehari setelah menghadap Pak Amril, seorang kawan lama, Roid Kodir, menelpon, ”Kapan bisa ke Kwarnas?” Ia berkantor di Gedung Kwarnas, sebrang Stasiun Gambir. “Wah, ini pasti mau ngasih uang lagi!” hati saya berkata nakal, rada-rada geer! Di dalam ruang kerjanya yang lapang ia berkata kepada saya, “Sudah lama saya perhatikan, kenapa si Jonih tak pergi-pergi haji. Saya mengerti. Dalam batin saya berkata, kalau tahun ini tak pergi juga, harus segera diberangkatkan.”  Ia pun membuka lacinya. “Benar juga,” hati saya berkata. Roid, seperti sudah diduga,  memberikan sebuah amplop. Saya, yang biasanya ke sana kemari naik angkot, bus kota, atau metromini, tapi kali ini, demi sekuritas isi amplop itu, kembali ke kantor dengan naik taksi! Di dalam taksi  saya buka itu amplop, “Amboi..!!!” lembaran ratusan dollar! Banyak jumlahnya!

 

Pada salah satu dari hari-hari terakhir di kantor, sebelum mengambil cuti, sekretaris Kepala Divisi Eksplorasi meminta saya menemui Pak Luthfi. Saya pun segera memenuhi pangilan itu. Tak banyak kata yang Pak Luthfi sampaikan, kecuali, lagi-lagi, banyak lembar, ratusan riyal diberikannya padaku.

 

Kalau tak salah, Jum’at hari itu. Kutelpon sekretaris Deputi Finansial dan Keuangan, “Bapak ada di tempat?”  “Ada, Pak!” ”Boleh bertemu sebentar, saya mau pamitan?” Silakan, Pak!” Setelah dipersilakan duduk, saya sampaikan, “Pak, barangkali Bapak mencari,  mulai besok saya mau cuti. Untuk mempersiapkan segala sesuatu, saya mau pergi haji.” “Nggak bilang-bilang,” seru Pak Eddy Purwanto. Masuk ruang kerja Pak Eddy, saya rada-rada sering. Beliau suka nitip sedekah untuk anak-anak yatim kami. Sejenak kami berbicara tentang haji. Tak lama, pemandangan yang sama, saya saksikan dan alami kembali. Pak Eddy menarik laci, “Ini untuk jajanlah di sana!”

 

Untuk persiapan keberangkatan, saya pun mulai cuti. Hari-hari, terasa sibuk sekali. Maklum, mau pergi ke luar negeri untuk sebuah perjalanan rohani. Mengingat, mencatat, dan membeli barang itu dan ini. Suatu hari, seorang teman sekantor yang rumahnya tak terlalu jauh dari kediaman kami, Mas Djumlati, datang ke rumah membawa amplop titipan dari Kepala Divisi Eksploitasi, Pak Kuswo, “Buat beli bakso di sana,” pesan Pak Kuswo.

 

Beberapa kawan lama dari Bandung, teman belajar mengaji, dulu ketika masih sekolah, sangat senang mendengar seorang temannya bisa pergi haji. Dengan pelbagai upaya mereka datang ke Ciomas, Bogor, mengantarkan do’a dan disertai –lagi-lagi- amplop berisi. Hitung punya hitung, uang yang kami terima dari pemberian-pemberian itu, tak kurang nilainya dengan uang yang diperlukan untuk seseorang melaksanakan ibadah haji! Allahu Akbar! Uang pinjaman untuk biaya ONH istri pun telah saya kembalikan ke pemiliknya. Jadi, biaya pergi haji kami benar-benar pemberian orang-orang alias dikasih dari perorangan, bukan dari kantor. Bolehlah nanti kalau kami dipanggil Haji Kosasih, bukan Haji Abidin. Karena memang ongkos hajinya dikasih orang, bukan atas biaya dinas!

 

Tiga  hari menjelang keberangkatan, kami mengecek kembali bekal apa yang belum tersedia. Ternyata istri, belum punya kaos kaki dan saya, perlu jaket tebal. Menurut berita yang kami terima, udara di kedua Tanah Suci, sedang musim dingin. Udara dingin sekali. Bu Singgih, tetangga yang tinggal di pinggir jalan besar datang ke rumah, “Saya punya kaos kaki. Dulu, beli di Makkah, belum dipakai. Mau nggak?” tanyanya. Dengan sigap istri saya menjawab, “Mau sekali!” Punahlah sudah keperluannya. Tak lama berselang  ada sms masuk dari seorang kawan di Bandung,  “Mohon maaf, saya dan keluarga tak bisa ke Bogor. Ada kegiatan yang tidak bisa saya tinggalkan. Barusan, saya transfer,” sambungnya sambil menyebut jumlah uang dan nama sebuah bank. Segera saya ke ATM, dan selanjutnya ke Factory Outlet di  Jl. Padjadjaran, beli jaket.  Setelah itu, saya  agak “malas” ketemu orang. Takut pada ngasih uang lagi! Di Makkah, Madinah, dan Aziziyah, bahkan ketika masih manasik di Jakarta, kawan-kawan Nura2005,juga banyak yang berbaik hati. Malah ketika di pesawat menuju Jakarta, seorang wanita yg duduk di sebelah kami, mendesak istri saya untuk menerima pemberiannya,” Saya mau ngasih uang sama Ibu, mau tidak? Wanita itu sangat ramah, dan dari pembicaraan dengannya, tahulah kami bahwa ia adalah seorang TKI yang bekerja di Malaysia dan waktu itu mau mudik dulu ke Jawa Timur. Ia memberi istri saya sejumlah uang! Jazakumullahu khaier.

 

Oleh-oleh Haji Saat Manasik Haji

Seperti umumnya orang yang mau pergi haji, kami pun mengikuti manasik, dibimbing para ustaz yang- saya kira, tentang para ustaz kami ini, tak mudah didapatkan di tempat lain. Mereka orang-orang piawai dalam ilmu agama- tak hanya ilmu tentang haji, tetapi menguasai banyak cabang ilmu agama, juga ilmu humaniora lainnya; menguasai Bahasa Arab dan beberapa bahasa asing lainnya; hafiz Alquran; penayampaiannya enak didengar, dan perlu! Manasik diselenggarakan di sebuah gedung yang nyaman, di Jakarta. Selain berisi ceramah dan pengarahan tentang apa dan bagaimana berhaji, dibahas pula tentang makna haji. Tentang makna haji, akan diuraikan kemudian. Dalam salah satu ceramahnya, ustaz pembimbing menyampaikan tentang perlunya kehalalan rezeki yang digunakan untuk melaksanakan haji. Rezeki yang halal pun, perlu diperiksa kembali apakah sudah dizakati atau belum. Jika belum, agar segera melaksanakannya sebelum pergi haji, karena Allah tidak menerima ibadah haji, yang pada rezeki tersebut ada hak orang lain.

 

Selain bertambah ilmu tentang haji, ada satu hal yang menyenangkan dalam manasik, yaitu menjadi kenal dengan banyak orang. Alhamdulillah; semua orang pada ramah; semua baik hati. Beberapa orang di antara peserta manasik, malah memberi kami praoleh-oleh haji. Mereka membawa dari rumahnya makanan khas Arab -yang biasa dibawa dari tanah suci oleh para jamaah haji sepulang ibadah hajinya. Makanan tersebut juga tersedia di banyak kota di Indonesia. Para pedagang mendatangkannya dari negeri aslinya dan menjualnya di tanah air, untuk kemudahan para jamaah memberi hadiah, oleh-oleh, atau sekedar menyuguhi tamu yang datang. Nah, ibu-ibu teman manasik ini, barangkali, membeli dari toko-toko penjual oleh-oleh haji itu, atau membelinya ketika berumrah pada suatu waktu, membawanya ke tempat manasik, dan memberikannya pada kami. “Agar nanti tak terlalu berat membawa dari sana,” katanya. Alhamdulillah.

 

Makna Haji

Haji adalah latihan kematian. Manasik haji adalah latihan menuju kematian. Apabila ada orang meninggal dunia, kita menyebutnya sebagai berpulang, karena ia berpulang atau kembali ke haribaan-Nya, untuk menerima kasih dan sayang-Nya. Jalaluddin Rumi menggambarkan orang-orang yang rindu untuk kembali kepada tuhan-Nya adalah laksana jeritan seruling yang merindukan kembali ke rumpun bambunya. Haji adalah “inna lillahi wa inna ilaihi rojiun”. Sesungguhnya kita milik-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Seperti orang yang mudik, pulang kampung; seorang calon haji ingin segera sampai ke tujuannya, ke rumah Allah, di Makkah.

 

Asy-Syibli, seorang murid Ali Zainal Abidin, suatu hari pergi haji. Sepulang haji, Ali Zainal Abidin, cucu Rasulullah SAW, itu bertanya kepada muridnya ini:

 

“Wahai Syibli, apakah engkau ketika berhenti di Miqat juga meneguhkan niat untuk berhenti dan menanggalkan semua pakaian maksiat dan sebagai gantinya, mengenakan pakaian taat?”

 

“Dan pada saat menanggalkan semua pakaian yang terlarang itu, apakah engkau menanggalkan dari diri engkau semua sifat riya, nifaq, serta segala yang diliputi syubhat?”

 

Dan ketika mandi dan membersihkan diri sebelum memulai ihram, apakah engkau berniat mandi dan membersihkan diri dari segala pelanggaran dan dosa-dosa?”

 

Untuk semua pertanyaan itu, Syibli menjawab: “Tidak!”

 

Kalau begitu, engkau tidak berhenti di miqat, tidak menanggalkan pakaian yang berjahit dan tidak pula mandi membersihkan diri!”

 

Ali Zainal Abidin melanjutkan:

 

“Dan ketika mandi dan berihram serta mengucap niat untuk memasuki ibadah haji, apakah engkau menetapkan niat untuk membersihkan diri dengan cahaya taubat yang tulus kepada Allah SWT?”

 

“Dan pada saat niat ihram, apakah engkau berniat mengharamkan atas diri engkau segala ang diharamkan Allah Azza wa Jalla?”

 

“Dan ketika mulai mengikat diri dalam ibadah haji, apakah engkau pada waktu yang sama, telah melepaskan juga segala ikatan selain bagi Allah?”

Syibli menjawab, “Tidak!”

 

“Kalau begitu, engkau tidak membersihkan diri, tidak berihram, dan tidak pula mengikat diri dalam ibadah haji!”

 

Ali Zainal Abidin melanjutkan lagi bertanya:

 

“Apakah ketika memasuki miqat engkau meniatkan sebagai ziarah menuju keridoan Allah SWT?”

 

“Dan ketika salat ihram dua rakaat, apakah engkauberniat mendekatkan diri, bertaqaraub kepada Allah dengan mengerjakan suatu amal yang paling utama di antara segala macam amal, yaitu salat yang juga merupakan kebaikan yang utama di antara kebaikan-kebaikan yang dikerjakan oleh hamba-hamba Allah SWT?”

 

Syibli, kembali menjawab: Tidak!”

 

“Kalau begitu, engkau tidak memasuki miqat, tidak bertalbiah, dan tidak salat ihram dua rakaat!”

 

Ali Zainal Abidin bertanya lagi:

 

“Ketika memasuki masjidilharam, apakah engkau berniat mengharamkan atas diri engkau segala macam perguncingan terhadap diri kaum muslimin?”

 

“Dan ketika sampai di Kota Makkah, apakah engkau mengukuhkan niat untuk menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya tujuan?”

 

Syibli, kembali menjawab: Tidak!”

 

“Kalau begitu, engkau tidak memasuki masjidilharam, tidak memandang Kakbah, dan tidak pula salat di sana!”

 

Ali Zainal Abidin melanjutkan pertanyaannya:

 

“Dan, apakah engkau telah berjabattangan dengan Hajar Aswad, dan berdiri salat di tempat Maqam Ibrahim?”

 

Ketika untuk pertanyaan ini Syibli menjawab, “Ya!” Ali Zainal Abidin tiba-tiba berteriak, menangis dan meratap, dengan suara merawan hati, seperti hendak meninggalkan hidup ini. “Oh, barang siapa berjabatantangan dengan Hajar Aswad, seakan-akan ia berjabattangan dengan Allah SWT! Oleh karena itu, ingatlah baik-baik, wahai insan yang merana dan sengsara, janganlah sekali-kali berbuat sesuatu yang menyebabkan engkau kehilangan kemuliaan agung yang telah kau capai, dan membatalkan kehormatan itu dengan pembangkangan kepada-Nya, sebagaimana dilakukan oleh mereka yang bergelimang dalam dosa-dosa!”

 

Kemudian beliau melanjutkan pertanyaannya:

“Ketika berdiri di maqam Ibrahim, apakah engkau mengkuhkan niat untuk tetap berdiri di atas jalan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan jauh-jauh segalamaksiat?”

 

“Dan ketika salat dua rakaat di maqam Ibrahim, apakah engkau berniat mengikuti jejak Nabi Ibrahim as dalam salat beliau, serta menentang segala bisikan setan?”

 

Asy-Syibli kembali menjawab: “Tidak!”

 

“Kalau begitu, engkau tidak berjabattangan dengan Hajar Aswad, tidak berdiri di maqam Ibrahim, dan tidak pula salat dua rakaat di dalamnya!”

 

Ali Zainal Abidin, melanjutkan lagi pertanyaannya:

“Apakah engkau telah mendatangi dan memandangi sumur Zamzam dan minum airnya?”

 

“Apakah engkau saat memandangnya, berniat menujukan semua pandanganmu kedada semua bentuk kepatuhan kepada Allah, serta memjamkan mata terhadap setiapmaksiat kepada-Nya?”

 

“Tidak!” jawab Asy-Syibli.

 

“Kalau begitu, engkau tidak mendatanginya; tidak pula meminum airnya!”

 

“Apakah engkau telah mengerjakan Sa’i antara Shafa dan Marwah, dan berjalan pulang-pergi antara kedua bukit itu?” Ali Zainal Abidin melanjutkan.

 

“Ya, benar,” jawab Asy-Syibli

 

“Dan pada saat-saat itu, engkau menempatkan diri engkau di antara harapan akan rahmat Allah dan ketakutan menghadapi azab-Nya?”

 

“Tidak,” jawab Asy-Syibli.

 

“Kalau begitu, engkau tidak mengerjakan Sa’i dan tidak berjalan pulang-pergi antara keduanya!”

 

Lalu, Ali Zainal Abidin bertanya lagi:

“Apakah engkau pergi ke Mina?”

“Ya.”

“Ketika itu, apakah engkau menguatkan niat akan berusaha sungguh-sungguh agar semua orang selalu merasa aman dari gangguan lidah, hati, serta tangan kamu sendiri?”

“Tidak.”

 

“Kalau begitu, engkau belum pergi ke Mina!”

 

“Engkau telah wuquf di Arafat, mendaki Jabal Rahmah, mengunjungi Wadi Namirah, serta menghadapkan do’a-do’a kepada Allah SWT di Bukit-bukit Ash-Shakharat?”

 

“Ya, benar.”

 

“Ketika berdiri wuquf di Arafat, adakah engkau dalam kesempatan itu, benar-benar menghayati ma’rifat akan kebesaran Allah SWT serta mendalami pengetahuan tentang hakekat ilmu yang akan mengantarkanmu kepada-Nya?”

 

“Dan, ketika itu, apakah engkau menyadari benar-benar betapa Allah Maha mengetahui meliputi segala perbuatan, perasaan, serta kata hati sanubari kamu?”

 

“Tidak!”

 

“Dan, ketika mendaki Jabal Rahmah, apakah engkau berketetapan hati untuk tidak memerintahkan kepada diri sendiri, dan tidak melarang seseorang melakukan sesuatu, sebelum engkau melarang diri sendiri?”

 

“Tidak!”

 

“Dan ketika di bukit-bukit di sana, adakah engkau menyadari bahwa tempat itu menjadi saksi atas segala kepatuhan pada Allah, dan mencatatnya bersama-sama para Malaikat pencatat, atas perintah Allah, Tuhan semesta alam?”

 

“Tidak!”

 

“Kalau begitu, engkau tidak berwuquf di Arafat, tidak mendaki Jabal Rahmah, tidak mengenal Wadi Namirah, dan tidak pula berdo’a di tempat-tempat itu!”

 

“Apakah engkau telah melewati kedua bukit al-Alamain, dan mengerjakan salat sebelumnya, dan setelah itu melanjutkan perjalanan ke Mudzalifah, memungut batu-batu di sanma, kemudian melewati Masy’arul Haram?”

 

“Ya!”

 

“Dan ketika salat dua rakaat, apakah engkau meniatkan sebagai salat syukur, pada malam menjelang tangal sepuluh Zulhijah, dengan mengharapkan tersingkirnya segala kesulitan serta datangnya segala kemudahan?”

“Tidak!”

 

Dan ketika lewat di antara kedua bukit itu dengan sikap lurus tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri, apakah saat itu engkau meneguhkan niat untuk tidak bergeser dari Agama Islam, agama yang haq, baik ke kanan atau pun ke kiri; tidak dengan hatimu; tidak juga dengan lidahmu; atau pun dengan semua gerak-gerik anggota tubuhmu yang lain”?

 

Dan ketika menuju Mudzdalifah, dan memungut batu-batu di sana, apakah engkau berniat membuang jauh-jauh dari dirimu segala macam maksiat dan kejahilan terhadap Allah SWT, dan sekaligus menguatkan hatimu untuk tetap mengejar ilmu da amal yang diridai Allah?”

 

Dan, ketika melewati Al-Masy’arilharam, adakah engkau mengisyaratkan kepada diri sendiri agar bersikap seperti orang-orang penuh takwa dan takut kepada Allah Azza wa jalla?”

 

“Tidak’

Kalau begitu, engkau tidak melewati ‘alamain, tidak salat dua rakaat, tidak berjalan ke muzdalifah, tidak memungut batu-batu di sana, dan tidak pula lewat masyarilharam!”

 

Dan, beliau melanjutkan:

 

“Wahai Syibli, apakah engkau telah mencapai Mina, melempar jumrah, mencukur rambut, menyembelih kurban, bersalat di masjid Khaif; kemudian ke Makkah dan mengerjakan tawaf ifadhah?”

 

“Ya, benar.”

 

Ketika sampai di Mina dan melempar jumrah, adakah engkau berketetapan hati bahwa engkau kini telah sampai ke tujuan, dan bahwa Tuhanmu telah memenuhi untukmu segala hajatmu?”

 

“Dan saat melempat jumrah, apakah engkau meniatkan dalam hati bahwa dengan itu engkau melempar musuh bebuyutanmu, yaitu iblis, serta memeranginya dengan telah disempurnakannya ibadah hajimu yang amat mulia itu”?

 

“Dan pada saat mencukur rambut, apakah engkau berketetapan hati bahwa dengan itu engkau telah mencukur dari dirimu segala kenistaan; dan bahwa engkau telah ke luar dari segala dosa seperti ketika baru lahir dari perut ibumu?”

 

“Dan ketka salat di masjid Khaif, apakah engkau berniat untuk tida memiliki perasaan khauf, kecuali kepada Allah? Dan bahwa engaku tiada mengharapkan sesuatu kecuali rahmat Allah?”

 

“Dan paa saat memotong hewan kurban, apakah engkau berniat memotong urat ketamakan dan kerakusan, dan berpegang pada sifat wara yang sesungguhnya? Dan bahwa engkau mengikuti jejak Nabi Ibrahim a.s. yang rela memotong leher putra kesayangannya, buah hatinya dan penyegar jiwanya, agar menjadi teladan manusia sesudahnya, semata-ata demi mengikuti perintah Allah SWT”?

 

Dan ketika kembali ke Makkah dan mengerjakan tawaf ifadhah, apakah engkau meniatkan beribadah dari pusat rahmat Allah, kembali kepada kepatuhan terhadap-Nya, berpegang teguh pada kecintaan kepada-Nya, menunaikan segala perintah-Nya, serta bertaqarrub selalu kepada-Nya”?

 

“Tidak”

 

“Kalu begitu, engkau tidak mencapai Mina, tidak melempar Jumrah, tidak mencukur rambut, tidak menyembelih kurban, tidak mengerjakan manasik, tidak bersalat di masjid Khaif, tidak bertawaf, tawaful ifadhah, dan tidak pula mendekat kepada Tuhanmu! Kembalilah,…kembalilah, sebab engkau sesungguhnya belum menunaikan hajimu!”

 

Mendengar itu, Syibli menangis tersedu-sedu, meratapi dan menyesali segala sesuatu yang telah dilakukannya dalam masa hajinya. Semenjak saat ini, Syibli giat memperdalam ilmunya, sehingga pada tahun berikutnya ia kembali mengerjakan haji dengan ma’rifat serta keakinan penuh.

 

 

Sebelum Keberangkatan

 

Walimatussafar di Rumah Bu Dokter

Demi efisiensi waktu dan –terutama- finansial, kami mengajak Bu Dokter; yang bersama tiga anaknya, satu putra dan dua putri; juga akan pergi haji tahun ini; untuk joinan menyelenggarakan walimatussafar. Bu Dokter adalah tetangga dekat kami. Kami sering melakukan kerja sama dalam proyek-proyek sosial. Bu Dokter mencarikan dana, kami menyediakan pengguna dana. Kami tinggal di kampung yang sama, Kampung Kereteg, Desa Padasuka, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor.

 

Dalam hidup, selain dengan keluarga, kita senantiasa berinteraksi dengan saudara, teman, dan lebih-lebih tetangga. Adalah sangat mungkin selama bertahun-tahun berinteraksi tersebut ada tingkah laku dan kata yang tak pada tempatnya, sehingga melukai hati. Sengaja atau pun tidak.

 

Di alam nan kekal nanti, semua ingin selamat, pasti. Ketika mati, semua orang tidak ingin membawa dosa. Perjalanan haji adalah latihan kematian. Setelah melakukan perjalanan haji, kita semua ingin kembali ke tanah air (walau ada juga orang yang ingin meninggal di sana), berkumpul dengan keluarga. Tetapi, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Karenanya, sebelum meninggalkan rumah, kita ingin terbebas dari dosa. Dosa vertikal atau pun dosa horizontal. Untuk dosa vertikal kita bisa mohon ampun, langsung kepada-Nya. Kapan saja, pukul berapa saja. Dan,  selama kita bersungguh-sungguh dalam bertobat, Dia pasti menerima. Khusus untuk dosa horizontal, tak semudah itu. Ada beberapa prosedur yang harus dilalui. Kepada yang kita punya salah padanya, kita perlu mengunjunginya pada waktu yang mungkin tidak sesuai dengan waktu senggang yang kita punya, meminta dimaafkan atas kesalahan yang pernah kita perbuat, dan –mudah-mudahan- kemudian, menerima pemaafan. Kita punya salah, boleh jadi kepada banyak orang. Jadi, perlu alokasi waktu yang tidak sedikit. Padahal, orang mau pergi haji, sibuknya, tiada terkira. Jadi, bagaimana caranya? Ya, dengan walimatussafar tadi. Kita undang saudara, teman, dan tetangga ke rumah kita (atau yang dianggap rumah kita- bisa rumah saudara, tetangga atau masjid), yang sebenarnya, kita yang harus ke rumah mereka. Lha, kita yang perlu, kok!

 

Untuk tetangga belakang rumah, kami minta tolong Pak Enjum –seorang saleh, sederhana, tak banyak bicara- untuk mengundang mereka datang ke rumah Bu Dokter. Tetangga di depan rumah dan sekitar jalan besar, kami minta tolong Pak Soleh, orang yang akhlaknya sesuai namanya, untuk mengundang mereka. Rumah Bu Dokter yang besar itu, penuh sesak oleh undangan. Hadirin tidak hanya memenuhi ruang tamu dan ruang keluarga, melainkan juga sampai ke teras dan garasi. Di antara hadirin, tampak pula beberapa ustaz yang mendapat kabar angin bahwa kami akan pergi haji. Ada siraman rohani dan sedikit konsumsi. Ceramah disampaikan oleh guru kami semua di Kampung Kereteg, Ustaz   Yayat, dengan materi sederhana tetapi kena. Acara puncak adalah, ya, itu tadi: kita mohon dimaafkan atas segala khilaf. Diiringi pembacaan selawat “Ya Nabi salam ‘alaika. Ya Rasul salam ‘alaika. Ya Habieb salam ‘alaika. Selawatullah ‘alaika”, kami bersalam-salaman, saling memaafkan. Air mata menambah kesyahduan malam itu. Pak Syamsudin, seorang di antara yang menyalami kami, seorang sangat sederhana tetapi kaya raya hatinya, sangat sensitif terhadap penderitaan orang-orang miskin (ia sendiri sama sekali tidak kaya), satpam sehari-hari kerjanya, nyaris tak pernah melewatkan malam tanpa tahajjud, mendo’akan kami sementara matanya berkaca-kaca.

 

Menitipkan Anak-anak Yatim

Hari-hari menjelang rencana keberangkatan kami, rasanya berjalan begitu cepat. Ada satu urusan penting yang belum kami serahterimakan, yaitu mengenai anak-anak yatim kami. Mereka harus kami tinggal selama kami melaksanakan ibadah haji. Untuk anak kami sendiri, yang lahir dari rahim istri saya, sudah kami titipkan ke Eyang dan paman/tantenya, tetapi mereka tak mungkin dibebani lagi dengan urusan anak-anak yatim. Barangkali terjadi sesuatu kepada anak-anak, atau mereka memerlukan sesuatu kepada kami, padahal kami tidak bersama mereka. Akan halnya anak-anak yatim, banyak sudah orang yang membantu kami untuk ikut mengurus anak-anak yatim ini, tetapi umumnya, setelah sekian lama, secara baik-baik, mundur teratur, kecuali Pak Syamsudin.

 

Pak Syamsudin, seorang saleh, hidup bersahaja adalah inspirator pertama kami untuk mengasuh anak-anak yatim. Kepadanya kami serahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan anak-anak selama kepergian kami ke tanah suci.

 

Menjelang Keberangkatan

Salat Tobat, Salat Safar, dan Wasiat

Malam menjelang keberangkatan dan pagi harinya, istri saya melakukan salat tobat dan salat safar. Saya baru melakukan keduanya pada siang harinya. Selesai salat kubaca do’a : “Ya Allah, aku mohon perlindungan-Mu untuk diriku, hartaku, keturunanku, dunia dan akhiratku, amanah-amanahku serta akhir seluruh perbuatanku.”

 

Kami kemudian kumpulkan seluruh anggota keluarga. Kami sampaikan pesan-pesan kepada anak-anak, Bapak dan Ibu, dan saudara-saudara. Kepada anak-anak kami wasiatkan agar saling mengasihi satu sama lain, memelihara salat yang lima, dan rajin belajar dan mengaji. Kepada Bapak/Ibu dan saudara-saudara, setelah mohon dimaafkan atas segala khilaf, kami titipkan pendidikan anak-anak kami, “Untuk keperluan pendidikan anak-anak, kalau perlu, juallah apa pun yang kita punya.”

 

Suasana haru menyelimuti seluruh orang yang ada di dalam rumah. Tak hanya keluarga, beberapa tetangga yang hari-hari sering datang ke rumah, turut larut dalam keharuan.

 

Kami panjatkan do’a : “Ya Allah, pada hari ini kami lindungkan diri kami, keluarga kami, harta kami dan orang-orang yang menyertai kami dalam sifat ini kepada-Mu, baik yang tampak maupun yang tak tampak. Ya Allah, peliharalah kami dengan penjagaan iman serta lindungilah kami. Ya Allah, jadikanlah kami berada dalam liputan kasih sayang-Mu dan janganlah Kau tutupi kami dari curahan karunia-Mu, karena sesungguhnya kami benar-benar memohon semua itu kepada-Mu. Ya Allah, sungguh kami mohon perlindungan-Mu dari kesulitan dalam perjalanan kami ini, dari kesedihan hati serta penantian yang buruk dalam keluarga kami, harta kami, anak-anak kami, di dunia dan di akhirat. Ya Allah, kami menghadap kepada-Mu dengan mengharap rida dan kedekatan-Mu. Ya Allah, sampaikan kami kepada apa-apa yang kami harapkan dan kami dambakan dari-Mu dan dari kekasih-Mu, Wahai Yang Mahakasih dan Sayang.”

 

Setelah membaca tasbih, tahmid, takbir, dan Alfatihah, kami melanjutkan do’a : “Ya Allah, kami hadapkan wajah kami kepada-Mu dan kutitipkan keluarga kami kepada-Mu, demikian pula harta kami dan tanggungan kami. Sungguh kami benar-benar percaya kepada-Mu, maka janganlah Kau kecewakan kami, wahai Dzat yang tak pernah mengecewakan orang-orang yang dalam penjagaan-Nya. Ya Allah, curahkan rahmat-Mu kepada Muhammad dan Keluarga Muhammad. Lindungilah kami dari apa-apa yag kami tidak ketahui tentangnya. Janganlah Kau serahkan penjagaan kami pada diri kami sendiri, wahai Dzat Yang Mahakasih dan Sayang.”

 

Seperti diajarkan para guru, sebelum meninggalkan rumah, agar bersedekah kepada orang-orang paling dekat dengan keluarga kami. “Ya Allah, kubeli dengan sedekah ini, keselamatan dalam safar kami ini dan keselamatan segala sesuatu yang menyertai perjalanan kami ini. Ya Allah, peliharalah kami dari segala yang kami bawa beserta kami. Selamatkan kami dari segala yang kami bawa. Sampaikan kami dari segala yang kami bawa kepada tujuan yang kami cita-citakan dengan penyampaian-Mu yang baik lagi indah.”

 

 

Tetangga Melepas

Setelah tersiar kabar, kami akan pergi haji, setiap bertemu tetangga di belakang rumah, mereka bilang, ”Bade ngiring, ah!” (maksudnya, mau ikut mengantar ke Jakarta, melepas keberangkatan haji). Semula, kami bermaksud “melepaskan diri” saja dari rumah, sehingga tetangga tak perlu repot-repot mengantar ke Jakarta. Tetapi, rupanya hal itu tak lazim. Lagi pula, kasihan mereka, yang dengan rela dan senang hati mau melepas kami hingga titik terakhir yang memungkinkan. Masa ditolak! Karena keterbatasan kendaraan, dengan permohonan maaf, kami minta yang mau mengantar, satu keluarga, satu orang saja. “Jadi, kalau ibu ikut, bapak  -sekali lagi mohon maaf-  tidak ikut. Demikian pula sebaliknya,” seru saya. Akhirnya kami menyewa tiga bus. Baru saja selesai parkir di halaman kantor TELKOM Ciomas, ketiga bus segera dipadati penumpang. Ada keharuan mendalam saat ibu-ibu pengajian menjemput kami di halaman rumah dan mengantar kami menuju bus dengan melantunkan salawat badar. Keharuan bertambah  ketika melihat beberapa tetangga kampung yang tidak bisa ikut serta ke Jakarta (karena kuota angkutan), melambai-lambaikan tangan, sebagian dengan wajah ceria, lainnya tampak sedih.

 

Orang “Sakti” di Bandara

Setelah chek-in, sambil menunggu istri yang sedang salat maghrib, saya berbincang-bincang dengan seorang pemuda yang sedang duduk dekat musala. Rupanya dia bekerja di bandara. Dan, petang itu, ia kelihatan santai dan happy. Dia belum lama berbicara dengan seorang sakti. Sambil menunjukkan sebuah kartu nama, dia cerita tentang kehebatan si ibu yang barusan berkenalan dengannya. “Dia bermasalah,” timpal saya. “Lho, kok, Bapak bilang dia bermasalah. Bermasalah bagaimana?” seru dia sambil menampakkan wajah tak mengerti. “Manusia dan jin itu, punya frekuensi yang berbeda. Masing-masing punya tugas sendiri-sendiri. Tak perlulah saling mengganggu atau pun ”bantu-membantu”, kecuali dalam kebenaran. Tak perlu jalan-jalan ke alam sana, kecuali kalau memang kurang kerjaan!” Kemudian obrolan meluas ke sana-kemari, saya pamit untuk segera boarding. Kelak di tanah suci, si ibu dimaksud ternyata satu rombongan dengan teman saya. Menurut informasi yang saya terima, di Makkah dan Madinah, ia banyak menemui masalah dengan peribadatannya. Pada waktu-waktu salat dan pengajian, dia sering sakit. Saat “tawaf” di Pasar Seng, segar bugar! Ada masalah yang ia alami yang jauh lebih parah dari itu, yang tidak seharusnya terjadi. Apalagi di tanah suci! Saya tak ingin menceritakannya di sini.

 

Mendarat di Jeddah

Setelah menempuh perjalanan panjang, berjam-jam di angkasa, pesawat udara yang kami tumpangi, mendarat di Jeddah, Saudi Arabia. Kopor-kopor dan travelling bag ukuran besar-besar diturunkan dari pesawat dan diangkut dengan mobil bak terbuka, bertumpuk-tumpuk satu sama lain. Setiap orang sibuk mencari di mana tasnya berada. Kopor kami, sejak keluar rumah, sudah ditandai dengan dua tanda pengenal yang mencolok: tali rapia warna-warni yang diikatkan pada pegangan kopor, dan, ini lebih mencolok lagi- sehingga membuatnya sangat berbeda dengan kopor milik jamaah lainnya- kedua kopor kami yang besar sekali itu, dibungkus dengan jaring-jaring tambang plastik, juga warna-warni, pinjaman dari keluarga Pak Singgih. Kedua ciri pada kopor kami tersebut membuatnya sangat mudah dikenali. Terima kasih kepada Ibu dan Bapak Singgih.  

 

Setelah istirahat secukupnya di bandara, kami melakukan ihram, salat, dan kegiatan lainnya. Kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju Makkah.

 

Maktab 108

Setelah istirahat secukupnya di Jeddah, kami menuju Makkah al-Mukaromah. Bus masuk wilayah kota Makkah dan istirahat sejenak di Maktab 108. Maktab ini dikepalai oleh Syeikh Ibrahim Indragiri, orang Riau yang bermukim di Makkah. Segera saya kirim sms kepada OM (OM adalah kependekan dari Orang Melayu, sapaan akrab untuk karib saya di Pertamina EP, Bang Soeryadi Oemar. ”Apa kabar, Bang, eh, …Om?”), mengabarkan tentang Syeikh Ibrahim. Ternyata, orang tua Syeikh Ibrahim Indragiri, Syeikh Muhammad Ali Indragiri, mantan Kepala Kepolisian Makkah, adalah kawan lama Datuk, orangtua OM. Pikir saya, hebat juga orang-orang Melayu ini (Orang Melayu hebat lainnya, a.l. : Radja Ali Haji dengan Gurindam Dua Belasnya dan sang presiden penyair Indonesia, Sutardji Caldjoum Bachri).

 

Apa yang istimewa dengan berita di maktab ini? Saya minum teh yang demikian nikmat! Rasanya, seumur-umur, baru kali pertama ini minum teh, begitu nikmat tiada terkira! Tak ada bandingannya! Dalam hati, saya berkata, “Betapa lezatnya teh Arab ini!” (padahal di Arab, mana ada kebun teh!!!). Saya ajak istri saya untuk juga meminumnya. Saya coba perhatikan merk teh itu. Eh, …ternyata…, mereknya LIPTON! Seketika itu, saya berdo’a, ”Ya, Allah sebagaimana telah Kau anugerahkan kenikmatan minum teh kepada kami, anugrahkan pula kepada kami kenikmatan makan dan beribadah di tanah suci ini.” Mengapa urusan makan dibawa-bawa dalam do’a tersebut? Kan, biasa juga, makannya banyak! Tiada lain, ada beberapa orang yang kami kenal, sepulang haji, badannya kurus kering. ”Tak enak makan. Tak selera,” katanya. Bagi saya yang cepat lapar, tetapi lama untuk merasa kenyang, bisa bahadur itu situasi! Kalau itu terjadi, rasa lapar tetap cepat datangnya, tetapi selera makan tak kunjung tiba, bisa-bisa mengganggu konsentrasi saat melaksanakan ritual haji!  Di situlah, dalam situasi bagaimana pun, mengenai apa pun, perlu berdo’a!

 

Masjidilharam, Toko-toko, dan Pedagang K-5

Kami melanjutkan perjalanan menuju jantung kota Makkah (bahkan jantung dunia), Masjidilharam. Begitu bus berhenti, pandangan terpaut dengan menara-menara indah. Tak salah lagi, ini dia Masjidilharam, yang di bagian tengahnya ada Kakbah, tempat kami menghadap ketika salat, selama berpuluh tahun. Kini, dia di depan mata. Tak terasa, air mata membasahi pipi. “Tuhan, Kau perkenankan tubuh dan jiwa yang kotor penuh dosa ini, menghampiri rumah-Mu yang suci. Allahu Akbar! Tuhan, kami datang dari negeri yang jauh dengan dosa-dosa yang banyak dan perbuatan yang buruk, ampuni dosa-dosa kami dan keburukan amal-amal kami. Sungguh tiada yang mengampuni dosa, selain Engkau, wahai yang Mahakasih dari segala yang kasih. Semoga salawat tercurah atas Nabi Muhammad dan Keluarganya.” Teringat kami akan orang-orang yang telah berjasa mengantarkan kami ke tempat suci ini. Air mata turun menjadi-jadi. “Tuhan, berikan maghfirah-Mu untuk mereka. Berkahilah mereka dan keluarganya.”

 

Pimpinan rombongan, pembimbing haji kami -mengingat bahwa kami semua baru saja menempuh  perjalanan jauh dan melelahkan- menyarankan agar kami semua istirahat siang dulu di penginapan tempat kami tinggal. ”Nanti sore, dalam kondisi segar setelah istirahat, baru kita masuk Masjidilharam.” Karena rindu yang menggebu, setelah meletakkan barang-barang pada tempatnya, saya ajak istri dan sepasang suami istri, kawan satu rombongan, ”melanggar” saran ustaz tadi.  Ketika sebagian besar kawan-kawan satu rombongan istirahat di penginapan, kami pergi menuju Masjidilharam. Masjid yang, selama ini, kami menghadap –paling tidak- lima kali dalam sehari. Kami melakukan salat sunat.

 

Tak lama, waktu salat tiba, jamaah –dari pelbagai penjuru- mengalir deras menuju masjid. Telat sedikit saja, masjid penuh sesak, salat hanya kebagian di halaman masjid, atau malah di jalan aspal. Segera setelah salat selesai, toko-toko yang mengepung masjid, dibanjiri pembeli. Benar-benar  sesak toko-toko itu, tak terlalu beda dengan sesaknya penumpang dalam KRL ekonomi Bogor-Jakarta di pagi hari, langganan saya dulu (“Zaman dahulu”, dari ”BSD”, Bogor Sonoon Dikit, dimana kami tinggal, untuk mencapai Gedung Kwarnas atau Patra Jasa- untuk bekerja mencari nafkah, saya naik KRL ini. Kalau tak ingin telat masuk kantor, saya salat subuh di stasiun; wirid di kereta. Sekarang, alhamdulillah, “sudah kaya”. Ada mobil Kijang. Sopirnya, lebih dari satu. Mereka semua amsinyur, bahkan ada yang S2. Mereka gantian nyopir. Hanya 2 members tak pernah nyopir, saya dan Bos Bobotoh Persib, Kang Dudu. Kami berdua dapat tugas lain: tidur).

 

Ketika para hujjaj membelanjakan hartanya dengan menyerbu toko-toko di depan masjid itu (Kata orang, sebagian besar pembeli berasal dari Indonesia. Saya tak bisa membuktikannya. Tak cukup waktu untuk survei statistika), pada saat yang sama, para pengemis –yang umumnya berkulit legam- menengadahkan tangan di halaman masjid dan sekitarnya. Dibanding dengan jumlah jamaah haji- yang demikian banyak, bejejal; para pengemis itu tampak sepi pemberi. Kontras memang pemandangan ini!

 

Tak hanya toko yang diserbu pembeli, para pedagang kaki lima, juga sibuk melayani para pembeli yang senantiasa melakukan bargaining, tawar-menawar, seperti kebanyakan kita, minta harga yang lebih rendah. Para pedagang K-5 ini, selain sibuk dengan pembelinya, sibuk pula tengok kakan-kiri, kalau-kalau ada petugas datang. Takut kena razia. Maklum, mereka berjualan di tempat “terlarang”, di kaki lima. Namanya juga berjualan di kaki lima, di mana pun, akan mengurangi ruas jalan. Dan, para petugas/askar khawatir, apabila mereka mengganggu para tamu Allah dalam berjalan kaki, dari dan ke Masjidilharam. Walaupun  kenyataannya, yang lebih membuat jalan lebih sempit lagi, adalah para pembeli. Ya, Bapak dan Bu Haji itu! Kasihan, para pedagang K-5 itu, mencari nafkah dengan hati tidak nyaman.

 

Pedagang K-5 itu, selain orang tua, juga banyak anak-anak di bawah umur. Setiap kali bertemu anak-anak kecil itu sedang menawarkan dagangannya, saya merasa haru. Tentu saja, mereka inginnya seperti anak-anak lain: bermain atau jalan-jalan bersama orang tuanya. Mereka harus berjualan untuk membantu ekonomi orang tuanya yang tak punya. Ada dua anak yang saya sering bertemu, Zaenab dan Ahmad. Masing-masing, usianya sekitar lima dan tujuh tahun. Mereka berjualan macam-macam tasbih. Setiap bertemu, mereka meminta saya untuk membeli dagangannya; saya senantiasa hanya mengajaknya ngobrol. Tetapi, suatu hari, saya kalah. Mereka menaruh tasbih-tasbih itu di tangan saya, lalu pada pergi. Mereka tidak mau menghampiri, kecuali saya mengeluarkan 5 riyalan. Pinter juga itu anak!

 

Satu hari, pernah saya menyaksikan, ketika para pedagang K-5 itu sedang asyik dengan para pembelinya, tiba-tiba datang petugas (TIBUM, bahasa kitanya, kependekan dari Ketertiban Umum. Para Abang becak teman saya dulu, menyebutnya dengan TIdak BerbUdi Manusia). Semua pedagang berlarian. Seorang anak kecil usia SD atau SLTP yang berdagang  rupa-rupa peci haji, karena kekecilannya tak sempat mengemas dagangannya. Petugas dengan sigap dan gagah merampas seluruh dagangan anak itu. Anak itu berusaha mempertahankannya. Apa daya, dia hanya seorang anak kecil. Dia, kemudian duduk termenung, kehilangan barang dagangannya. Saya hanya bengong. Setelah beberapa hari dari kejadian itu, saya tanya seorang Indonesia yang telah lama mukim di sana, “Apakah barang dagangan itu, bisa ditebus?” Dia bilang, “Jangan pernah berharap bisa kembali. Yang mengurusnya, untuk mendapatkan kembali barang tersebut, boleh jadi, akan mendapat kesulitan lain dari petugas/pemerintah setempat. Begitulah di sini, Pak.” Sedih saya menyaksikan hal ini.

 

Terbetik dalam hati, ingin berbagi dengan para pengemis atau pedagang K-5. Saya dan istri, berusaha mendapatkan recehan uang riyal, tetapi tak berhasil. Akhirnya, kami memutuskan membeli buah-buahan saja. Apel dan Pir. Bakda Ashar, kami bawa ransel besar dan beli beberapa puluh kilo –mostly– apel. Kami bagi-bagikan kepada para pengemis, para pedagang K-5, anak-anak tuna wisma, dan buruh bangunan yang terbengong-bengong menyaksikan kami. Beberapa jamaah haji yang sedang berjalan menuju masjid, juga berusaha meminta bagian. Mungkin mereka mengira, ini pembagian dari Raja Saudi, yang memang sering terjadi pada musim-musim haji. Padahal, ini pembagian dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat (tetapi, bukan Pikiran Rakyat, koran Bandung itu!). Menjelang maghrib, istri saya kelelahan, dia pulang ke penginapan. Saya melanjutkan aktivitas yang –mungkin menurut sebagian orang- sepertinya tak lazim ini. Ketika buah-buahan itu saya bagikan,  awalnya, mereka tak mengerti, bengong, tetapi selanjutnya, …. saya dikejar-kejar. Saya minta mereka untuk tenang dan kembali duduk di tempat masing-masing. Kepada yang dekat, saya berikan ke tangannya, yang agak jauh saya berikan dengan lemparan melambung, sehinga mereka mudah menangkapnya. Beberapa di antara mereka, nakal juga. Setelah mendapat bagian, datang lagi dengan menutup muka, seolah bercadar. Beberapa saya kenali, lainnya tidak. Saya dikerubuti oleh mereka. Kadang agak panik juga, tetapi menyenangkan. Kami bahagia, tiada terkira, bisa sedikit berbagi, di tanah suci!

 

Kebahagian serupa kami peroleh ramadhan, beberapa tahun lalu.  Istri saya belanja beberapa kodi sarung. Setelah ibu-ibu dan anak-anak tetangga meninggalkan kediaman kami, sehabis salat tarawih. Setelah anak-anak kami, tertidur lelap karena mengerjakan tarawih atau –khususnya si bungsu- mengganggu yang tarawih, kami bersiap-siap untuk ke luar rumah.

 

Ketika itu, menjelang tengah malam, saya dan istri menemui para tuna wisma yang sedang siap-siap untuk tidur dan yang sedang tidur, di sekitar Terminal Merdeka, emper-emper toko, dan sekitar Stasiun Kereta Api Bogor. Kami ajak mereka berkumpul di teras toko yang agak luas. Kami bagi-bagikan itu sarung. Terserah,  sarung itu mau digunakan sebagai selimut, mau dipakai alas tidur, atau untuk apa punlah. Yang jelas mereka memerlukannya. Buktinya, kami harus datang lagi ke tempat itu pada beberapa malam berikutnya, karena banyak yang belum mendapat bagian. Walau hanya sekedar sarung yang bisa kami berikan, bahagialah hati ini!

 

Ramadhan tahun berikutnya, kebahagian yang lain menghampiri kami. Pada salah satu dari sepuluh malam terakhir, setelah berbicara panjang lebar dengan seorang bapak jamaah masjid, yang sejak belasan tahun terputus silaturahim dengan ibunya, dan pada akhirnya ia mengisyaratkan menerima perdamaian, saya membatalkan itikaf. Bersama istri, menjelang tengah malam, kami bangunkan  si ibu. Kami berbicara sedikit tentang keutamaan ramadhan, tentang pentingnya silaturahim, dan bahaya memutuskannya. Isyarat bagus, kami tangkap. Sementara istri keep talking dengan si ibu, saya balik ke masjid menjemput sang anak (yang juga sudah tua). Kami pertemukan. Allah Maha Rahman Rahim; keduanya berpelukan. Pada Hari Idhul Fitri, keluarga besar itu tampak ceria; kami bahagia tiada terhingga!

 

Di dalam masjid (Masjidilharam), laki-laki dan perempuan, pada banyak bagian dari masjid, berada dalam saf yang sama. Saat-saat menjelang waktu salat tiba, para askar, sibuk mengatur barisan/saf salat para jamaah. Sangat tidak jarang terjadi, kaum ibu salat bersebelahan dengan kaum bapak, nyaris tanpa batas. Inilah, pekerjaan utama para askar: menertibkannya dengan cara –maaf- tidak halus. Beberapa ibu-ibu ditarik-tarik tasnya atau jaketnya agar segera pergi dari tempat itu dan mencari tempat lain, karena tempat yang mereka duduki terlalu berdekatan dengan laki-laki. Ibu-ibu pun tak begitu saja menyerah, karena memang tak mudah mencari tempat lain, sementara waktu salat segera tiba. Pemandangan seperti ini, terjadi hampir tiap hari. Tidak adakah cari terbaik untuk mengatasinya?

 

Lesson learned/learnt:

Telat sedikit saja berangkat ke masjid, dijamin tak mendapat tempat yang nyaman untuk salat. Karena ruang dalam sampai halaman masjid akan penuh sesak oleh jamaah. Harus bersegera menuju masjid, jauh sebelum azan dikumandangkan. Ini, mengajarkan kepada kta agar salat di awal waktu.

 

Peninggalan Sejarah yang ‘Terabaikan’

Ketika Anda selesai Sa’i dan keluar lewat pintu Marwah, tepat dari pintu itu ke arah luar, sekitar 200 meter, ada sebuah bangunan tak terlalu besar, berdiri sendiri. Itulah Gedung Perpustakaan. Coba anda hampiri lebih dekat lagi. Kelilingi itu bangunan. Anda akan menyaksikan, bangunan itu agak kotor dan tampak kurang terurus.

 

Selesai umroh mufrodah, kami hampiri bangunan itu. Kami menangis, melihat rumah kelahiran Rasulullah SAW itu, tampak kusam dan tak terurus. Kami ingin masuk, petugas tak memperkenankannya. Seorang kakek, jamaah haji dari Turki, berusaha mendekati pintu masuk, petugas dengan tangkas mengusirnya. Hampir saja si Kakek terjatuh. Si Kakek mengusap-usap dinding gedung itu dan menciuminya. Si petugas menghardiknya, “Haram, syirik!”  Lha, kok! Bisa bertentangan begini? Yang satu menganggap, itu sebagai perbuatan mulia, sampai-sampai menciuminya! Yang lain bilang: syirik! Dosa yang tak terampuni! Boleh jadi keduanya bisa benar. Sang petugas, menjalankan perintah atasannya,  -dan mugkin, juga perintah agama- agar para jamaah terhindar dari perbuatan syirik, yang sangat berbahaya itu! Sedangkan si Kakek, meyakini dia tidak sedang berbuat syirik, melainkan sedang mengekspresikan kerinduannya pada Sang Kekasih, yang dulu dilahirkan di tempat itu, Muhammad Rasulullah SAW. Sama seperti ketika Majnun menciumi dinding rumah Laela. Bukan ia mencintai dinding itu, melainkan yang ada di balik dinding itu!

 

Tak jauh dari rumah kelahiran Nabi SAW, alihkan pandangan Anda ke arah bukit kecil di depan Mas’a (tempat Sa’i). Itulah Jabal Abi Qubais. Tempat pertama kali, Nabi Ibrahim alaihi salam, menyeru manusia untuk berhaji ke Baitullah. Dulu, kabarnya, para jamaah haji banyak yang mendaki bukit itu dan berdo’a di sana, sambil mengenang Sang Khalillullah, kekasih Allah, Ibrahim ’alaihi salam. Demi menjaga kemurnian agama dari syirik dan bid’ah, sehingga tempat itu tidak lagi dianggap keramat dan tak lagi dijadikan tempat berdo’a, pemerintah Saudi, membersihkan tempat itu dengan mendirikan Istana Raja di atasnya! Astaghfirullah al-Adziem!

 

Tak jauh, bahkan sangat dekat dengan Masjidilharam, ada Hotel Hilton. Teras hotel itu boleh dikatakan menyambung dengan teras pelataran Masjidilharam. Lantai Dasar hingga lantai-3 diisi oleh pertokoaan. Tahukan Anda, sebelum Hilton ada, jauh pada zaman Nabi saw, siapa yang tinggal di tanah itu? Di situlah rumah Abu Bakar r.a., shahabat Nabi saw.. Jejak-jejak sejarah itu, nyaris hilang ditelan pemahaman dan keyakinan sebagian kita.

 

 

Masker, Anggur, dan Batuk

Seorang kawan yang istrinya sering mengasih uang kepada istri saya, menegur, “Tak pakai masker?” “Saya sudah minta izin (sambil menujuk ke atas) untuk tidak memakai masker, “ jawab saya ringan. Dia berusaha mafhum, walau mungkin dia pikir, aneh ini orang. Saya dan istri  -mungkin ini berlebihan- merasa, sepertinya kurang etis menghadap Tuhan dengan menutup mulut dan hidung. Menghadap makhluknya saja, misal orang yang kita hormati, di kantor atau pun di luar kantor, dan kita sedang terserang flu berat atau ada orang sedang flu di sekitar kita, kita berusaha menyembunyikan ketidaksehatan atau kekhawatiran kita tertular virus itu. Ini, kan, sedang menghadap Tuhan! Kami, kemudian mohon izin-Nya untuk tidak memakai masker. Atas Kuasa-Nya, segala puji bagi-Nya, kami aman-aman saja. Ketika sebagian besar anggota rombongan- termasuk dokter rombongan kami- terserang demam dan batuk (hampir semua jamaah ketika di Jakarta divaksinasi influenza, kami saat itu, kami batal divaksinasi setelah ternyata uang di saku tidak cukup untuk biaya vaksinasi), sekali lagi, segala puji bagi-Nya, kami sehat. Seorang kawan satu rombongan, suatu malam, ketika santai-santai di lobby kecil penginapan di Aziziah, bertanya, “Ustaz (dia manggil saya ustaz, entah dapat dari mana dia mendapatkan sebutan itu), semua orang sakit. Ustaz, batuk pun tidak. Apa rahasianya?” Saya jawab, “Pertama, saya bukan ustaz. Perihal tak sakit, saya minta ke Atas untuk tidak sakit agar bisa beribadah optimal.” Dia manggut-manggut, tak mengerti.

 

Oh ya, selama di tanah suci, ketika waktu makan tiba, ada makanan, tepatnya buah, yang nyaris tak disentuh para jamaah. Menurut informasi kawan-kawan, buah itu bisa menjadi pemicu untuk timbulnya batuk. Itulah anggur. Dengan tidak bermaksud melawan arus; naudzubillahi min dzalik, kami berlindung dari hal semacam itu; semata karena sayang melihat makanan mubazir- dan juga memang hobby, lagi pula di rumah sangat jarang dijumpai- dengan menyebut nama-Nya, kami sikat itu anggur. Alhamdulillah, lezaaat!!!. Manis benar itu anggur! Banyak orang bilang, di Tanah Suci, pada musim haji, “Hanya unta yang tak batuk.” Dalam hal ini, adalah suatu kehormatan, kami dimasukkan kelompok itu. Oh, maaf, sebagian ini cerita mengambil tempat di Aziziyah, padahal judul di atas masih di Makkah.

 

Hajar Aswad  -Lambang Tangan Tuhan

Apakah Hajar Aswad itu? Secara harfiah, Hajar adalah batu, dan Aswad adalah hitam. Jadi, Hajar Aswad berarti batu hitam. Batu berbentuk oval tersebut berdiameter sekitar 30 cm dengan garis tengah sekitar 10 cm, terletak di sudut tenggara Kakbah (tepatnya antara tenggara dan timur Kakbah, karena posisi pintu Kakbah tak persis menghadap timur, melainkan agak miring ke utara), tingginya sekitar sedada orang dewasa Indonesia, tentang asal muasalnya ulama berbeda pendapat, dan  -ini mungkin yang menjadikannya begitu populer- pernah dikecup Rasulullah SAW! Dari titik itu, atau garis lurus ke arah luar Kakbah dari titik itu, tawaf dimulai dan diakhiri. Perihal kecup mengecupnya, terkenal perkataan Umar bin Khaththab, “Engkau hanyalah batu yang tidak dapat memberi manfaat atau pun mudarat. Kalau saja aku tidak melihat Rasul menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.” Umar mengatakan demikian mengingat orang-orang baru saja meninggalkan menyembah berhala-berhala. Dikhawatirkan mereka mengira mencium Hajar Aswad ini merupakan bagian dari ibadah dengan menyembah, mengagungkan batu-batu, sebagai mana orang-orang Arab pada zaman Jahiliyyah. Umar lalu menjelaskan bahwa mencium Hajar Aswad tiada lain semata mengikuti sunnah Nabi SAW. Terhadap perkataan Umar di atas, Ali bin Abu Thalib, mengomentarinya, “Benar, batunya sendiri tidak mampu memberi manfaat dan mudarat, tetetapi menciumnya dengan memahami maknanya akan memberi manfaat. Karena, kalau tidak demikian, mana mungkin Rasul SAW menciumnya dan menganjurkan kita menciumnya!”

 

Hajar Aswad adalah lambang tangan Tuhan. Seperti lazimnya, bila seseorang bersalaman dengan yang sangat dihormatinya, ia mencium tangan orang yang salaminya itu. Karenanya, kalau tak berhasil menciumnya, orang melakukan isti’lam, yakni melambaikan tangannya (seperti halnya orang yang karena jarak, waktu, dan lain sebagainya, yang tak memungkinkan untuk bersalaman dengan yang hendak ia salami, ia kemudian melambaikan tangannya), dan kemudian mencium tangannya itu.

 

Pak Quraish Shihab, ustaz yang sangat saya kagumi itu, menafsirkan bahwa mencium atau beristi’lam terhadap Hajar Aswad, melambangkan perjanjian orang yang tawaf dengan Tuhan. Jadi, seseorang yang selesai bertawaf, mengikat janji dengan Tuhan, untuk selalu berusaha dalam lingkungan Ilahi, melaksanakan perintan-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta mengikuti perjanjian luhur yang pernah dilakukannya dengan Allah.

 

Dulu, sebelum keberangkatan hingga ketika masuk kota Makkah, ada keinginan kuat untuk mencium the black stone, Hajar Aswad ini. Bagaimana tidak, Nabi yang mulia saja pernah mengecupnya. “So…, pasti, ini tidak sembarang batu,” pikir saya. Tetapi, sesaat setelah masuk Masjidilharam, keinginan itu sirna. Mengapa? Berjejalnya jamaah yang mengitari Kakbah, mengisyaratkan sangat tidak mudahnya untuk mencapai Hajar Aswad. Dan, hampir semua jamaah  -yang padat mengitari Kakbah itu-, menginginkan hal yang sama, sehingga orang akan terakumulasi pada satu titik.  Adalah sangat mungkin kalau kita bersikeras untuk menciumnya, akan menimbulkan pelbagai gesekan, sikutan, dan bahkan tabrakan antar sesama jamaah. Sebut saja, misalnya, pada akhirnya, kita bisa mendapatkan itu batu, tetapi hasilnya  -boleh jadi- tidak akan impas untuk membayar dosa-dosa kita atas orang-orang yang terdesak, tersikut, atau tertabrak tadi. Walhasil, bukan pahala yang kita dapat, melainkan dosa! Lagi pula, keberhasilan mencium Hajar Aswad, dengan susah payah atau pun dengan mudah, dapat berpotensi untuk timbulnya rasa bangga diri, bahwa telah berhasil mencium Hajar Aswad! Dalam situasi seperti itu, menurut hemat saya, berusaha untuk tidak menciumnya –karena khawatir orang lain terzalimi, seperti disebutkan di atas- dapat lebih utama daripada berusaha menciumnya. 

 

Waktu itu, salat zuhur akan segera tiba. Sesuai anjuran Nabi SAW, ketika salat, saya berusaha mendapatkan saf terdepan. Saya mendapatkan tempat di saf  kedua belakang Maqam Ibrahim, salah satu tempat makbul untuk berdo’a. Selesai salat, saya mohon kepada Allah agar dimudahkan untuk bisa lebih mendekat ke Kakbah dan bisa berdo’a di Multazam.

 

Dinding Kakbah saya gapai. Saya peluk. Saya ciumi berulang kali. “Ya Allah, Kau benar-benar telah mengundangku. Aku hadir memenuhi undangan-Mu. Allahu Akbar.”  Kakbah yang selama ini aku lihat hanya pada lembar-lembar almanak atau sebagai hiasan dinding di rumah-rumah besar, kini kusalami, kuciumi! Kulepas rinduku padanya. Kerinduan yang sebelumnya tak pernah terbayang akan terpuaskan. Tak terasa, tetes-tetes air mata berjatuhan  ke bumi, mengalir semakin deras. Inilah tangis kerinduan hamba pada Sang Kekasih.

 

Di kanan-kiri, kulihat para jamaah dari pelbagai negeri, juga menempel dan mengusap-usapkan tangannya ke dinding Kakbah. Mereka maratap, menangis. Semua tenggelam dalam nikmatnya tangisan. Menangis bahagia bisa berjumpa dengan rumah Kekasih.  Aku bergeser ke arah kiri. Di Multazam, kembali aku tenggelam dalam nikmatnya do’a. “Tuhan, kini aku bersimpuh di pintu rumah-Mu. Bukakan pintu rahmat-Mu, untukku. Ampunkan dosaku dan dosa ibu-bapakku, dosa guru-guruku, dan dosa orang-orang yang telah berjasa padaku. Ringankan penderitaan saudara-saudara kami di Aceh. Ya Allah, bagi mereka yang Kau panggil lewat musibah itu, jadikan mereka sebagai penghuni surga-Mu. Yang Kau luputkan dari maut, kuatkan iman mereka. Sejahterakan dan berkahilah hidup mereka.”*  Setelah puas menyampaikan pelbagai permintaan, sampai habis kata-kata, saya keluarkan buku kecil, catatan permohonan do’a-do’a titipan dari kawan, tetangga, dan saudara. Titipan do’a itu menempati dua puluh enam halaman dari buku kecil itu (Kemarin, sebelum berangkat, untuk tiap kawan yang titip do’a, saya tulis. Di rumah, buku itu diletakkan di ruang tamu dan setiap yang titip do’a, khawatir lupa, saya minta mereka menulisnya di buku tersebut. Jadilah dua puluh enam halaman itu.  Di tempat-tempat mustajab, saya bacakan satu persatu). Kusampaikan kepada-Nya do’a-do’a titipan itu. Sebagai do’a penutup, aku mohon agar Tuhan memudahkanku untuk bisa salat dan  berdo’a di Hijir Ismail. Itu saja permintaanku. Allah memperkenankannya. Dengan mudah saya masuk Hijir Ismail. Saya salat dua rakaat dan berdo’a di situ. Hendak keluar, jamaah berjejal, macet total, sangat sulit keluar. Ruang yang agak kosong, ya di tempat tadi saya salat. Saya salat dua rakaat lagi, terus sedikit bergerak dan macet lagi. Seseorang, menempel pada pundak kiri saya, jelas terdengar berdo’a dengan menangis sambil menengadah ke atas. Ketika saya ikut melihat ke arah atas, rupanya persis di atas kepala saya adalah pancuran emas! Salah satu tempat yang diperebutkan orang, untuk berdo’a. Seketika saya tengadahkan tangan, berdo’a, “Ya Allah, kalau Engkau berkenan, aku ingin mencium batu yang pernah dikecup Rasulullah, dengan tidak menzalimi orang lain.”  Ini do’a dadakan. Karena, hingga beberapa menit sebelumnya, seperti saya uraikan di atas, tak adalah lagi minat untuk mencium batu itu. Do’a ini muncul tiba-tiba ketika saya “terperangkap” di bawah Pancuran Emas. Saya keluar dari Hijir Ismail, lalu persis seperti dalam KRL JABOTABEK, rangkaian pendek,  pada Senin pagi hari, saya terhimpit dan terbawa arus gelombang manusia yang sedang tawaf. Saya benar-benar tak berdaya; tak berkekuatan. Sambil mengikuti arus, saya baca hasbunallaahi wa ni’mal wakiel, ni’mal maulaa wa ni’man_nashier, laa haula walaa quwwata illaa billaahil_aliyyil_adziem, laa ilaaha illaa anta subhaanaka innie kuntu minadz_dzolimien, berulang-ulang. Setelah beberapa saat terombang-ambing dalam gelombang manusia yang demikian berjejal, saya kemudian terhenti, tepat di depan Hajar Aswad. Dengan mengucap Allahu Akbar, saya kecup itu batu! Segala puji baginya. Sambil sedikit mundur, saya persilakan orang di belakang saya untuk mendapat bagian; saya keluar lingkaran tawaf, kembali ke penginapan untuk makan siang dan sedikit istirahat.

 

Dua orang, keduanya teman sekamar, pukul 01.00 dini hari, menuju Masjidilharam. Kabarnya, ingin salat di Hijir Ismail. Dan, kalau memungkinkan cium Hajar Aswad. Esoknya, mereka bercerita, “Jangankan Hajar Aswad, ke Hijir Ismail saja, kami tak berhasil. Penuh sekali!” katanya.  Saya kira, untuk mendapatkan sesuatu, di tanah yang sensitivitasnya ekstra tinggi ini, selain usaha dan niat yang kuat, perlu kepasrahan total kepada-Nya. Keakuan akan sangat diuji di sini. Kalimat-kalimat yang sering kita dengar pada khutbah-khutbah Ied, seperti, hanya Allahlah yang Maha Besar. Lainnya kecil, sangat kecil. Sangat terasa di sini!

 

Kembali ke hal Hajar Aswad, saya cerita kepada istri bahwa saya barusan salat di Hijir Ismail dan bahkan diperkenankan-Nya mencium Hajar Aswad. “Mau dong!” katanya. “Bagi perempuan, untuk mencapai Hajar Aswad, pada saat-saat musim haji seperti ini, sangatlah sulit. Dan, bisa lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Tetapi, kalau mau ke Hijir Ismail, nanti subuh kita bareng,” ajak saya. Esoknya, dua-tiga jam sebelum azan subuh, kami sudah di pelataran Kakbah, tetapi masih jauh jarak ke Kakbah, karena lebih dari  tigaperempat bagian dari pelataran Kakbah dipenuhi jamaah yang sedang tawaf. Di saf yang kami tempati, mulanya relatif agak lenggang. Tak sampai 30 menit, sudah penuh sesak. Tak ada tempat kosong. Belakangan, setelah semua jamaah menempati tempat salat masing-masing, baru kami sadar, rupanya istri saya, adalah satu-satunya wanita di situ. Kiri-kanan, belakang-depan, tak ada wanita lain. Seorang Pakistan yang duduk dua baris di belakang saya, menyeru agar istri saya keluar dari situ. Saya pura-pura tak dengar, tetapi dia beteriak lebih keras lagi. Sambil menarik istri agar lebih mendekat, saya menoleh ke belakang, dengan bahasa Arab nekat (ada kawan mengira saya bisa Bahasa Arab, padahal sebenarnya, sama sekali, tidak! Bahasa Arab yang saya faham hanyalah dari-ke, atas-bawah, kiri-kanan, jauh-dekat, depan-belakang, atau, kata para santri, huruful_jarr. Itu saja!), “Hiya Azwaji,” seruku, agak keras. Orang Pakistan itu kemudian diam. Tenanglah kami. Eeeh, …beberapa menit sebelum ikamah, jauh di belakang kami, ada seorang tua berjubah, entah dari mana dia berasal, teriak-teriak. Keras-keras, lagi. Ia minta istri saya segera keluar dari situ. Saya biarkan. Tetapi, seorang yang duduk tepat di belakang saya, menarik-narik pundak saya memberi tahu bahwa orang yang berteriak di belakang itu ditujukan kepada saya (padahal saya sebenarnya tahu juga, dan –seperti sebelumnya- pura-pura tidak dengar saja). Saya bilang sama istri, “Selama bukan askar, biarkan saja. Tak usah dituruti!”  Wong, hal yang hampir sama juga terjadi di saf-saf belakang. Walaupun memang, wanita atau pria yang berada dalam kumpulan jamaah lawan jenisnya itu, tidak sendirian, biasanya beberapa orang. Tetapi, walau sendiri, istri saya, kan, ada muhrimnya, di sebelahnya. Dan, ini mah darurat, atuh! Namanya juga suasana di Masjidilharam. Walaupun dia bermaksud baik, hemat saya dia terlalu sibuk ngurusin pekerjaan yang bukan urusannya (mungkin juga dia merasa ini urusan dia juga: amal makruf nahi munkar!). Maka, ketika dia bersikukuh bahwa istri saya harus angkat kaki dari situ, sementara ikamah dalam hitungan menit, akan sangat sulit untuk cari tempat lain, sekali lagi, saya menoleh ke belakang, juga dengan suara agak keras, “Hadza darurah, wa hiya azwaji!” Alhamdulillah, saya berhasil lagi mendiamkan orang-orang yang suka sibuk mengatur orang lain itu!

 

Segera setelah selesai salat, saya raih dan tarik tangan istri ke arah Kakbah, “Wiridnya sambil jalan saja,” seru saya. Kami berdo’a agar dimudahkan mencapai Hijir Ismail. Mula-mula, istri saya antarkan untuk menggapai dan mencium dinding Kakbah, seperti yang sebelumnya saya lakukan. Oh ya, sekedar tahu saja, istri saya, hatinya lebih sensitif dibanding saya. Dia lebih mudah tersentuh; lebih mudah menangis. Menangislah ia sepuasnya di dinding Kakbah. Kuraih tangannya menuju Hijir Ismail. Alhamdulillah, dimudahkan-Nya,  kami salat di Hijir Ismail.

 

Hari berikutnya, sepasang suami-istri yang lebih senior daripada kami, kawan satu rombongan, minta diantar untuk bisa ke Hijir Ismail. Kami berdo’a agar Yang MahaKuasa memudahkannya. Sekali lagi, alhamdulillah, pasangan itu menikmati Hijir Ismail. Pertama,  salat dua rakaat pada area yang lapang di bagian belakang. Mau keluar, tak ada jalan. Mereka salat lagi. Mereka puas. Bahagia, kami bisa menyertainya.

 

 

Calo Hajar Aswad

Orang Indonesia, di mana pun berada, selalu “kreatif”, tak terkecuali di sekitar Rumah Allah. Ketika para jamaah mengelilingi Kakbah, bertawaf, ternyata tak hanya  Allah dan  para Malaikat-Nya yang memperhatikan kita. Ada pihak lain; pihak ketiga. Ketika kita tawaf, mereka mendekati kita sambil menawarkan “jasa baiknya” membantu kita mendapatkan Hajar Aswad.  Kalau Allah memberikan ganjaran bagi mereka yang tawaf, mencium atau tidak mencium Hajar Aswad; yang menawarkan bantuan kepada kita ini, malah minta ganjaran dari kita, berupa riyal. Bisa 60 riyal, 100 riyal, bisa kurang atau lebih dari angka-angka itu, tergantung persetujuan. Mereka adalah para calo Hajar Aswad. Calo yang membantu ”kliennya” untuk  mencium Hajar Aswad. Mereka terdiri atas beberapa orang dalam satu tim. Senantiasa siap sedia ”menolong” siapa pun yang mau mencium Hajar Aswad, dengan pelbagai cara, yang penting kliennya berhasil.

 

Seorang kawan menceritakan bahwa ketika ada seorang hendak mencium Hajar Aswad, si Calo tadi dengan cepat menarik dan memukul-mukul orang tersebut supaya menjauh dari Hajar Aswad, lalu mendorong kliennya ke depan, mendekat Hajar Aswad. Ini sungguh “mengagumkan”. Demikian berani mereka itu! Berbisnis kotor di depan Rumah Allah! Saya sendiri, pernah beberapa kali ditawari, tentu saja saya tolak. Ada-ada saja orang kita ini! Semoga mereka segera insaf; kembali ke jalan yang benar.

 

Sejarah Yang Berkaitan dengan Hajar Aswad

Pada tahun ke-16, sebelum Hijriah, setelah Kakbah terkena banjir, dindingnya retak-retak, Kakbah kemudian direnovasi. Dalam melaksanakan pekerjaan mulia ini orang-orang Quraish membagi Kakbah menjadi empat bagian. Bagian pertama, yaitu bagian yang dekat dengan pintu Kakbah, diserahkan pengerjaannya kepada Bani Abdu Manaf dan Bani Zuhrah. Bagian kedua, yaitu antara Rukun Aswad dan Rukun Yamani diserahkan pengerjaannya kepada Bani Makhzum dan beberapa suku Quraish lainnya. Bagian ketiga, yaitu bagian belakang Kakbah, diserahkan kepada Bani Jamh dan Bani Sahm. Bagian keempat, Hijir Ismail atau Al-Hatim, diserahkan pengerjaannya kepada Bani Abdud-Dar bin Qusyaiy, Bani Asad bin Qusaiy dan Bani Adiy bin Kaabin

 

Pembangunan dimulai lagi dengan penembokan dari fondasi. Sesudah bangunan itu setinggi sekitar satu setengah meter, tibalah saatnya untuk memasang kembali Hajar Aswad di tempat semula. Masing-masing kabilah merasa paling berhak untuk memasangnya. Timbullah perselisihan di antara kaum Quraish, siapa yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu di tempatnya. Perselisihan itu memuncak dan nyaris menimbulkan perang saudara. Keluarga Abdud-Dar dan keluarga ‘Adi bersepakat tidak akan membiarkan kabilah mana pun campur tangan dalam peletakan batu hitam ini. Kedua kabilah ini mengangkat sumpah bersama. Kabilah Abdud- Dar membawa sebuah baki berisi darah. Mereka memasukkan tangannya ke dalam baki itu guna memperkuat sumpah mereka.

 

Selama lima hari lima malam, ketegangan ini tak mau surut. Akhirnya muncul gagasan dari Abu Umayah bin Mughirah dari Banu Makhzum. Ia adalah orang paling tua di antara mereka, dihormati dan dipatuhi. Ia berkata, “Serahkanlah putusan kamu ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Safa ini.” Semua sepakat. Ternyata, orang yang pertama kali masuk masjid dari pintu Safa itu adalah Muhammad, mereka berseru, “Ini al-Amin; kami dapat menerima keputusannya.” Saat itu, Muhammad bin Abdullah belum menjadi nabi, tetapi karena kejujurannya, tidak pernah berbohong, tak pernah ingkar janji, dan sifatnya ini sudah diketahui secara luas oleh penduduk Makkah, sehingga mereka menjulukinya al-Amin, artinya orang yang dipercaya. Mereka menceritakan kepada Muhammad, apa yang terjadi. Muhammad berpikir sebentar, lalu, “Kemarikan sehelai kain,” katanya. Setelah sehelai kain diterima, Muhammad menghamparkannya, dan kemudian Muhammad meletakkan batu itu dengan tangannya sendiri, kemudian berkata : “Hendaklah setiap kabilah memegang ujung kain  ini.” Mereka kemudian bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu akan diletakkan. Muhammad lalu mengeluarkan batu itu dari kain dan meletakkan di sudut Kakbah. Perselisihan pun, terelakkan! Adapun usia Muhammad waktu itu, terdapat perbedaan pendapat. Menurut Ibnu Ishaq usia Muhammad waktu itu adalah 35 tahun.

 

Peristiwa lain yang berkaitan dengan Hajar Aswad terjadi pada 317 H. Abu Thahir Al-Qurmuthy, seorang kepala suku Jazirah Arab bagian timur, bersama dengan 700 orang tentaranya, mendobrak Hijir dan membongkar Kakbah secara paksa. Mereka lalu mengambil Hajar Aswad dan membawanya ke negaranya di kawasan Teluk Persia. Setelah 22 tahun, dengan ditebus uang 30.000 dinar oleh Khalifah Abbasiyah Al-Muthi’lillah, batu itu baru kembali ke Makkah.

 

Dikisahkan bahwa ketika Abdullah bin Akim, utusan Khalifah Abbasiyah Al-Muthi’lillah, menerima batu itu dari Abu Thahir, pemimpin suku Qurmuth. Dia langsung memasukkan itu batu ke dalam air. Batu itu tenggelam. Lalu ia membakarnya, ternyata pecah, maka ia menolak batu itu. Pemimpin suku Qurmuth kemudian memberikan batu yang kedua yang sudah dilumuri minyak wangi dan dibungkus kain sutra yang indah. Abdullah melakukan hal yang sama. Dan, ternyata hasilnya sama dengan batu yang pertama. Ia mengembalikannya dan minta diberikan batu yang asli. Pemimpin suku Qurmuth itu lalu memberikan batu yang ketiga. Abdullah memasukannya ke dalam air. Dan, apa yang terjadi? Batu itu tidak tenggelam. Abdullah membakarnya; batu itu tidak panas dan tidak pecah. Ia lalu berkata, “Nah, inilah batu kita!”

 

Menyaksikan hal itu, Abu Thahir Al-Qurmuthy, terheran-heran. “Dari mana kamu mendapat ilmu itu?” tanyanya. Abdullah menjawab, “Nabi pernah bersabda bahwa Hajar Aswad adalah tangan kanan Allah yang ada di bumi. Pada hari kiamat nanti tampak mempunyai mulut dan menyaksikan siapa-siapa yang pernah menyalaminya dengan niat baik atau buruk; tidak akan tenggelam dalam air dan tidak akan panas dalam api; ….”

 

Abu Thahir Al-Qurmuthy, kemudian terserang penyakit lepra yang sangat ganas selama bertahun-tahun hingga semua persendiannya saling berlepasan. Dia tak dapat disembuhkan sampai akhirnya meninggal.

 

Muhammad Ilyas Abdul Ghani dalam Sejarah Makkah menyebutkan bahwa pada mulanya, batu itu satu bongkah batu saja, sekarang berkeping-keping menjadi delapan bagian, karena pernah pecah. Kedelapan keping tersebut kemudian direkat dengan timah dan dibingkai dengan perak.

 

Keutamaan Hajar Aswad

Merupakan batu yang berasal dari surga yang diberikan kepada Ibrahim a.s. agar diletakkan di salah satu sudut Kakbah. Nabi SAW, pada saat renovasi, mengambil dan meletakkannya di tempat semula. Nabi mencium itu batu sebagaimana dilakukan nabi-nabi sebelumnya, sehingga Hajar Aswad menjadi tempat bertemunya bibir para nabi, orang-orang saleh, dan para haji sepanjang sejarah. Ia juga merupakan tempat dimulai dan diakhirinya tawaf, dan juga merupakan salah satu tempat mustajab untuk berdo’a.

 

Pada hari kiamat kelak, Hajar Aswad akan memberikan kesaksiannya bagi orang-orang yang telah menyalaminya dengan benar, seperti yang diriwayatkan oleh Tirmidzi bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Demi Allah, Dia akan mengutusnya pada hari kiamat kelak, dengan dua matanya dia akan melihat; dengan lidahnya ia memberi kesaksian atas siapa yang telah menyalaminya dengan benar.”

 

Aktivitas di Masjidilharam dan Sekitarnya

Kegiatan utama di Masjidilharam adalah salat, salat, dan salat; baru kemudian tadarus, membaca Alquran; atau membaca buku-buku yang sengaja dibawa dari Indonesia. Kok, salatnya banyak? Ya, memang, mumpung di rumah-Nya, kami berusaha memanfaatkan kesempatan untuk berdekat-dekat dengan-Nya. Salat apa saja yang bisa kita lakukan di Masjidilharam? Banyak. Salat-salat sunat, tentunya.

 

Salat-salat Sunat

 

Salat Tasbih.

Salat empat rakaat. Setiap rakaat,

  • setelah membaca al-Fatihah dan surat, membaca

 

subhanallaah, walhamdulillaah, wa laa ilaaha illallah wa Allahu Akbar 15 X

  • setelah  , membaca

 

 

 

 

 

sebanyak lima belas kali

–          Hadits salat tasbih (Q Shihab) & hadis yg disampaiika ke Jafar bin abd Mthollib ketika baru datang dari Ethifia

 

Berziarah ke Ma’la

Adalah sebuah komplek pemakaman, terletak sekitar …km arah ……………… dari Makkah. Khadijah, istri terkasih Rasulullah SAW, dimakamkam di tempat ini. Khadijah adalah istri Rasulullah yang paling utama. Semasa hidupnya, ia mengorbankan seluruh hartanya untuk kepentingan Islam. Dihiburnya suaminya tatkala tantangan datang bertubu-tubi. Diteguhkannya imannya ketika kekecewaan demi kekecewaan menimpa Nabi. Begitu besarnya jasa Khadijah kepada Rasulullah SAW dan kepada Islam sehingga lama setelah Khadijah meninggal dunia, ada saat-saat Rasulullah tenggelam dalam kenangan terhadapnya. Pernah suatu saat Siti Aisyah tak anggup menahan cemburunya walaupun  Khadijah sudah tiada, “Kau sebut-sebut juga wanita itu? Padahal  Allah telah memberi ganti yang lebih baik.” Nabi menjawab, “Tidak, Khadijah tidak dapat digantikan. Dialah yang memberikan hartanya ketika orang lain mengharamkan hartanya bagiku. Dialah yang menemaniku ketika orang lain menjauhiku. Dia pula istri yang memberikan kepadaku keturunan yang tidak diberikan oleh yang lain.”

Search more di internet & buku2 tentang Khadijah & Ma’la

 

 

 

Tip-1, dalam musim haji yang jatuh pada musim dingin, seperti beberapa tahun terakhir dan yad, ada baiknya para jamaah membawa bekal, sbb ;

Kaos kaki yang banyak

Pakaian ihram > 2 stel                                                                               

Kain sarung >1

Kupluk>1

Baju hangat>1

Untuk Apa? Banyak jamaah haji dari negeri tetangga Saudi, datang dengan perbekalan seadanya. Mereka tidur di emper-emper toilet, di teras toilet bawah tanah, dan di kaki lima. Mereka kedinginan. Shadaqoh anda dengan barang-barang tersebut, membahagiakan mereka. Bukankah sebaik-baik amal adalah memberikan rasa bahagia kepada orang lain?

 

 

Tip-2,  Ada baiknya bawa uang yang banyak

 

 

 

 

Madinah

Begitu mau masuk Madinah, saya terbayang ketika Rasulullah tiba di kota itu dan dielu-elukan penduduknya yang telah lama menanti kedatangan beliau. Penduduk Madinah sejak mendengar Rasulullah pergi dari Makkah menuju Madinah, setiap pagi mereka ke luar rumah menuju tanah lapang menunggu kedatangan sang kekasih, Rasulullah SAW. Ketika panas matahari menyengat mereka, sedang Rasul belum muncul juga, mereka baru pulang ke rumah masing-masing. Begitu mereka lakukan setiap hari.

 

Setelah menempuh perjalanan yang panjang, panas dan gersang, Rasulullah SAW dan Abu Bakar, akhirnya sampai di Quba. Penduduk menyambutnya dengan gembira. Rasul tinggal di rumah Kaltsum bin Hidam selama beberapa hari sambil menunggu Ali bin Abi Thalib dari Makkah seusai menunaikan tugas pengembalian barang-barang amanat yang dititipkan kepada Rasulullah SAW oleh sejumlah orang sebelum beliau meninggalkan Makkah. Di Quba Rasulullah SAW membangun sebuah masjid yang kemudian dikenal sebagai Masjid Quba.

 

Dari Quba, Rasulullah SAW melanjutkan perjalanan menuju Madinah. Pada mulanya kota ini bernama Yatsrib, setelah kedatangan Rasul nama kota diganti menjadi Madinatul Rasul atau lebih dikenal dengan Madinah. Penduduk Madinah, seperti disebutkan di atas, sejak lama menanti kedatangan Rasulullah SAW. Sebagian dari mereka naik ke atap-atap rumahnya, sebagian lainnya naik ke pohon-pohon kurma sambil melihat ke kejauhan barangkali Rasul sudah masuk kota Madinah.

 

Sampailah Rasul di Madinah, semua penduduk berhamburan menghampiri Rasulullah SAW. Masing-masing berusaha memegang tali kekang unta Rasul untuk dibawanya ke rumah mereka. Rasulullah SAW kemudian  berkata : ”Biarkan untaku ini, ia sudah mendapat perintah.” Unta itu terus berjalan melalui lorong-lorong hingga sampai di sebuah lapangan tempat penjemuran kurma milik dua orang anak yatim dari Bani An-Najjar, di depan rumah Abu Ayyub Al-Anshary. Saat itu beliau bersabda :”Di sinilah aku hendak membangun masjid, insya Allah.” Abu Ayyub keluar dari rumah menjemput Rasulullah SAW.

 

Ini adalah hari monumental bagi penduduk Madinah. Semua orang bersuka cita. Para anak gadis mendendangkan syair :

 

Thola’al_badru ‘alainaa

Merekahlah bulan purnama di tengah kita

 

Min Tsaniyyatil_Wadaa’i

Dari kelokan jalan Wada’i

 

Wajabasy_syukru ‘alainaa

Wajiblah kita mengucap syukur

 

Maa da’aa lillahidaa’i

Atas ajakan kepada Allah kita kembali

 

Ayyuhal_mab’uutsu fienaa

Hai Utusan yang datang ke tengah kami

 

Ji’ta bil_amril_muthoo’i

Agama yang kau bawakan kami taati

 

Anta ghoutsunaa jamie’aa

Engkaulah penolong kami semua

 

Yaa mujammaluth_thibaa’i

Hai Nabi berperangai indah dan berakhlak tinggi

 

Suasana itu, seakan di depan mata. Seolah belum lama terjadi. Tetes air mata, kembali membasahi pipi. Kerinduan menjadi-jadi. “Ya, Rasulullah, kini aku datang ke kotamu. Rindu untukmu. Terimalah kedatanganku.”

 

Bersama-sama dengan orang-orang Yahudi, Nasrani, dan lainnya, Nabi Muhammad SAW membangun sebuah negara kota di Madinah dan membuat konstitusi tertulis atas persetujuan bersama. Inilah negara kota pertama di dunia yang memiliki konstitusi tertulis. Selain tentang struktur pemerintahan, konstitusi itu mengakui kebebasan beragama, meletakkan prinsip-prinsip pertahanan, kebijakan luar negeri, dan jaminan sosial. Konstitusi tersebut juga menjalin persahabatan dan perjanjian dengan suku-suku yang tinggal di sekitar Madinah. Konstitusi itu kelak dikenal sebagai Piagam Madinah

 

 

Masjid Nabawi

Di Madinah al Munawarah, yang menjadi tujuan utama seluruh jamaah adalah Masjid Nabawi. Masjid ini dibangun Rasululllah beserta para shahabatnya dalam dua tahapan. Pertama, segera setelah Hijirah pada tahun 1 H (622 M), luasnya sekitar 31,5 m x 27 m, tinggi atap 2,25 m. Kedua, setelah penaklukan Khaibar (629 M). Pada kali yang kedua ini, Rasulullah memperluas ukuran masjid menjadi 45m x 45 m, tinggi atap 31,5 m. Atap masjid terbuat dari pelepah dan daun pohon kurma, tanpa perekat tanah di bagian atasnya, sehingga kalau turun hujan, air mengalir ke dalam masjid. Pintu masjid berjumlah empat, pintu timur, pintu barat, pintu selatan, dan pintu utara.

 

Pada saat ini, Masjid Nabawi terdiri dari dua lantai. Lantai I, kecuali area tempat terdapat kubah payung yang pada waktu-waktu tertentu menutup dan pada waktu yang lain membuka, tertutup bagian atasnya. Lantai II, sebagian besar terbuka, tanpa atap. Masjid ini mempunyai 23 buah pintu utama, 81 pintu biasa. Bersama-sama teras halamannya,  Masjid Nabawi bisa menampung 1 juta jamaah.

 

Masjid dalam bentuk dan ukuran yang sekarang ini adalah hasil renovasi beberapa kali, sejak zaman Umar bin Khatab hingga zaman Raja Fahd. Jadi, Masjid Nabawi pada masa Rasulullah hanyalah sebagian kecil dari Masjid Nabawi sekarang. Lantas, bagaimana

kalau sekarang kita salat di masjid bagian paling belakang, yang tentu saja, bila dikompilasi dengan Masjid Nabawi zaman Rasul, berada di luar masjid, apakah tidak berarti kita salat di luar masjid? Anda tetap dihitung sebagai salat di dalam Masjid Nabawi. Rasul yang mulia pernah bersabda :”Seandainya masjid ini diperluas hingga ke San’a (Yaman), maka ia tetap sebagai masjidku.”

 

Keistimewaan Masjid Nabawi

Apa keistimewaan Masjid Nabawi? Banyak, tentunya. Masjid itu adalah masjid yang Rasulullah SAW melakukan salat padanya. Jejak para artis saja diziarahi, sedangkan ini, jejak Rasul, tempat salat Rasul! Jejak orang yang membawa kita dari gulita malam ke cerahnya mentari pagi. Masa, tidak istimewa! Dan, ini adalah masjid pertama di Kota Madinah. Memang, sebelumnya, Rasulullah pernah membangun sebuah masjid, yakni  Masjid Quba, tetapi masjid itu berada di luar Madinah, yaitu di Desa Quba, beberapa kilometer di luar Kota Madinah. Rumah Nabi SAW termasuk bagian dari area Masjid Nabawi. Antara rumah itu dan mimbar Nabi SAW, terdapat raudhah, yang akan kita bicarakan kemudian. Salat di Masjid Nabawi dinilai sama dengan salat 1000 kali di masjid lain.

 

Apabila kita telentang di dalam masjid, menatap bagian paling atas dari ruangan masjid itu, akan tampak atap masjid yang dihiasi desain-desain sangat indah! Luar biasa! Tiang-tiang masjid, pada bagian atasnya, dilapisi emas. Kubah yang bisa tutup-buka, juga menambah indahnya masjid ini. Namun, ada satu hal yang saya tak mengerti dengan masjid ini. Pada pukul 22.00 hingga menjelang pukul 03.00, pintu masjid ditutup. Mengapa harus ditutup? Bukankan waktu-waktu itu, justru waktu-waktu paling baik untuk itikaf? Perlu dibersihkan? Tiap saat juga dibersihkan. Sepanjang siang juga, masjid ini tampak bersih. Para petugas kebersihan sangat sigap menjalankan tugasnya. Kalau perlu, sebagian dari mereka bisa tugas malam. Soal biaya untuk menggaji para karyawan, pemerintah Saudi yang kaya raya, tentu saja, sangat-sangat berkecukupan untuk menggaji mereka. Tak masalah! Dengan adanya waktu tutup itu, kemakmuran masjid, jelas berkurang. Kalau berbicara kurang atau lebih, orang suka menggunakan persentase. Untuk kasus ini, berapa persen waktu yang hilang, yakni waktu ketika masjid tak digunakan, shut in period. Apabila bapak-bapak/ibu-ibu ada waktu luang, bolehlah hitung waktu yang hilang tersebut. Hasilnya? Saya percaya, akan sangat signifikan! Nabi SAW memerintahkan untuk memakmurkan masjid. Dan, pada kenyataannya, tidak mudah kita datang ke masjid –untuk salat berjamaah, pengajian  atau untuk keperluan lainnya. Ada saja halangan yang menghadang. Di Madinah ini, orang sudah datang untuk salat, mengaji, itikaf, dan ibadah lainnya, tetapi masjidnya ditutup! Benar juga bahwa sebagian dari jamaah, karena kelelahan atau kurang tidur pada waktu yang lain, kemudian memanfaatkannya untuk istirahat/tidur, tetapi setelah bangkit dari tidur, mereka kembali akan menggempur waktu yang ada untuk beribadah kepada-Nya.

 

Ada kawan mencoba memberikan jawaban atas ketidakmengertian saya tentang hal ini dengan mengatakan bahwa mungkin pemerintah khawatir kalau-kalau ada yang mencuri tiang-tiang berlapis emas itu, atau untuk keperluan keamanan lainnya. Saya, tetap tak mengerti. Saya tetap keukeuh berpendapat, dengan adanya waktu-waktu tutup tersebut, fungsi utama masjid –menerima kemakmuran, terkurangi.

 

Masjid Sederhana

Semua muslim pasti tahu, apa yang pertama kali Nabi SAW dirikan ketika beliau sampai di Quba? Kegiatan apa yang Rasulullah SAW pertama kali lakukan di Kota Madinah? Beliau membangun masjid dan memakmurkannya! Masjid dibangun dengan bahan yang sangat sederhana, tetapi makmur. Sederhana bukan karena Nabi SAW dan para shahabatnya tidak mampu untuk membangun masjid yang lebih bagus. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi diceritakan bahwa kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah SAW seraya berkata, “Ya Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?” Beliau menjawab, “Aku mau seperti saudaraku Nabi Musa ‘alaihi salam, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa ‘alaihi salam. Ukuran arisy Musa A.S. adalah apabila Rasulullah SAW mengangkat tangannya, maka atapnya akan tersentuh.

 

Mas Bambang Pranggono, ustaz yang setiap katanya penuh makna, menyampaikan, “Kisah ini membuktikan bahwa kesederhanaan arsitektur Masjid Nabawi yang asli bukanlah karena kurang biaya. Tetapi memang disengaja oleh Rasulullah SAW untuk diteladani umat Islam.” Beliau mengutip beberapa hadits, antara lain, Rasulullah SAW bersabda, “Aku tidak diutus untuk menghias-hias masjid.”  Dalam hadist lain Rasulullah SAW, juga pernah bersabda, “Tidak datang saat kehancuran sampai manusia berlomba bermegah-megahan dengan masjid-masjid.”

 

Ketika Anas r.a menyertai Rasulullah dalam suatu perjalanan, Rasulullah SAW bertanya, “Apa itu?” Para shahabat menjawab bahwa itu adalah kubah milik si Fulan, orang Anshar. Rasulullah SAW bersabda, ”Semua bangunan megah akan menjadi beban bagi pemiliknya di hari kiamat.” Maka shahabat Anshar itu dengan patuh meruntuhkan kubah itu. Lalu Rasulullah SAW mendo’akannya dua kali, “Yarhamullah, yarhamullah.” (Semoga Allah merahmati dia, Semoga Allah merahmati dia). Ustaz yang dianugrahi qoulan syadieda ini, lebih jauh menjelaskan, “Prinsip bangunan masjid sederhana ini dipegang teguh Rasulullah SAW hingga beliau wafat. Hal ini juga diteruskan oleh para khilafah ar-rasyidah : Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali r.a.. Di zaman para khalifah ini wilayah Islam meluas dengan pesat meliputi Kerajaan Mesir, Persia, dan Romawi. Di tengah melimpahnya harta dari segala penjuru   – walaupun ukuran masjid mengalami perluasan berkali-kali-  arsitektur Masjid Nabawi tetap sederhana!

 

 

Masjid Menjadi Megah

Baru setelah Muawiyah bin Abi Sufyan menjadi khalifah (sesaat setelah memegang tapuk kekhalifahan, Abi Dzar al-Ghifari, shahabat yang hidup sangat sederhana, namun tak pernah takut mengemukakan pendapatnya, sekalipun terhadap penguasa, berkata, “Selamat, wahai raja.” Lho! kamu panggil saya raja,” seru Muawiyah keheranan. “Ya, Anda raja, bukan khalifah!), negara diubah menjadi kerajaan dan ibu kota pindah dari Madinah ke Damaskus. Muawiyah dan keturunannya hidup bermewah-mewah, membangun istana pribadi dengan berkubah hijau, dan juga membangun Masjid Umayah yang megah. Pelanggaran prinsip ini berlangsung sepanjang sejarah Islam. Masjid-masjid dibangun dengan arsitektur semakin mewah di seluruh dunia.

 

Mas Bambang, da’i  yang arsitek super sibuk ini (di luar kesibukannya memberikan ceramah, betapa banyak jabatan yang dipegangnya di bidang kearsitekturan, namun beliau senantisa menyempatkan diri untuk mengisi ceramah atau dijemput diwaktu sahur untuk menyampaikan renungan di depan para mahasiswa), melanjutkan, “Bila sejarah diteliti, maka akan terungkap bahwa sebagian besar istana masjid-masjid monumental itu, dibangun oleh penguasa yang perilakunya tidak terlalu islami. Barangkali untuk mengimbangi rasa bersalah kemewahan hidupnya, mereka membangun juga masjid yang megah. Raja-raja yang saleh biasanya tidak meninggalkan arsitektur masjid yang mewah. Arsitek masjid megah terdapat di banyak negara, dari Maroko sampai Merauke.

 

Memang, Allah  itu indah dan  menyukai keindahan. Innallahi jamielun, yuhibbu jamal. Namun, apabila keindahan itu harus dibayar mahal (misal, karena megahnya dan khawatir terjadi sesuatu pada masjid yang megah  ini, sehingga perlu menutupnya dari jam 22.00 hingga menjelang jam 03.00), apakah perbuatan itu tidak dikategorikan sebagai isrof, berlebih-lebihan? Dan, Allah tidak suka terhadap orang yang berlebih-lebihan.

 

Kita hanya mengagumi tampilan fisiknya, tetapi lupa akan jiwa, niat dan aktivitas masjid. Padahal, Allah tidak melihat penampilanmu dan kekayaanmu, melainkan Dia melihat hatimu dan amalmu. Jadi, yang lebih penting adalah bukan bentuk fisik masjid, tetapi keikhlasan pengurus, kemakmuran salat berjamaah, kesucian sumber dana, efektivitas dakwah yang dirasakan masyarakat sekitarnya, dan kepekaan sosial para aktivisnya. Apabila hal itu telah terpenuhi,  – kalau masih ada dana tersisa-  saya kira, bolehlah kita mempercantik masjid.

 

 

Aktivitas di Masjid Nabawi

Alhamdulillah kami mendapat peginapan tak jauh dari Masjid Nabawi. Nyaman benar ini masjid. Kami biasa pergi ke masjid sekitar pukul 04.00 (azan subuh pukul 06.00 lebih); kadang juga pukul 03.00 atau pukul 05.00. Gerbang atau pintu masuk halaman masjid yang paling dekat ke penginapan kami adalah Gate No. 25. Dari Gate 25 ini, istri saya berjalan lurus terus masuk menuju masjid; saya dan banyak jamaah pria lainnya harus belok kanan dulu, karena Gate 25 lurus ke depan dan ke kiri adalah area khusus kaum ibu, baru kemudian belok kiri lagi menuju masjid. Oh ya, di masjid ini, lain dengan di Masjidilharam. Di sini kaum bapa dan kaum ibu dipisah. Tidak hanya pintu masuknya saja, melainkan terus sampai ke dalam masjid. Di dalam masjid ada pemisah antara jamaah pria dan jamaah wanita , yakni kain berwana putih, sangat tebal dan kuat. Kalau dalam petroleum system (istilah yang biasa ditemui hari-hari dan digunakan oleh para geologiawan perminyakan) ini kain bisa dikelompokkan sebagai an effective sealing cap rock. Begitulah kira-kira.

 

Pasangan suami istri, apabila hendak pergi dan pulang bersama, bisa janjian bertemu di gate nomor tertentu. Kalau saya, sih, biasa janjian di Gate 25 tadi. Jadi, selesai salat subuh, saya menuju Gate 25; di situ istri saya sudah menunggu. Sebelum kembali ke penginapan, kami biasanya ziarah dulu ke Makam Nabi SAW dan ke Baqi, menyampaikan salam kepada Rasulullah SAW dan para shahabat rodhiallahu anhum.

 

Kalau tak janjian, saya biasa santai-santai di masjid, dan baru kembali ke penginapan untuk mandi dan sarapan menjelang pukul 09.00. Setelah istirahat sejenak dan mengobrol santai dengan teman-teman sekamar, pada sekitar pukul 11, siap-siap ke masjid untuk salat zuhur. Selesai salat zuhur kembali ke penginapan untuk makan siang. Pukul 15.00, kembali ke masjid untuk salat ashar, dan kembali ke penginapan bakda isya, menjelang tutup masjid. Kadang lebih awal, tergantung kebutuhan. Aturable, bisa diatur.

 

Seperti halnya di Masjidilharam, di Masjid Nabawi di antara waktu salat, saya tadarus atau baca buku, atau mengobrol dengan teman-teman jamaah dari pelbagai negeri. Kegiatan terakhir nampaknya lebih dominan ketimbang baca buku, apalagi tadarus. Setiap ke masjid, saya bawa buku bacaan, booklet untuk mencatat yang sekiranya perlu dicatat, dan Alquran Semula, saya ingin khatam di Masjidilharam atau paling tidak, di Masjid Nabawi ini, tetapi karena lebih banyak mengobrol tadi, Alquran ini tak tamat-tamat dibaca.

 

Sangat menyenangkan bisa bertemu dan berdialog dengan saudara-saudara dari negeri yang berbeda. Di antara mereka ada yang dari Aljazair, Iran, Pakistan, Sudan, Singapura, Australia, Bangladesh, Fiji, Somalia, Afrika Selatan, Nigeria, Turki, dan banyak lagi.

 

Orang Aljazair

Bertemu di dalam masjid, di bawah kubah payung yang bisa buka-tutup, di saf belakang, tepat lurusan raudhah. Adalah seorang kakek, tetapi kelihatan masih tegap dan sehat, berjenggot panjang dan berjubah. Semula saya menduga, ia orang Iran. Ternyata bukan. Kami berkenalan dan berbicara tentang banyak hal. Yang menarik adalah dia tidak begitu mengerti bahasa Inggris dan saya tidak bisa berbahasa Arab. Saya menggunakan bahasa campuran, Bahasa Inggris dan sedikit Bahasa Arab nekat, dibantu isyarat. Dia bilang bahwa di negerinya, dia adalah Imam. Kurang jelas, apakah imam  suatu jamaah atau imam masjid. Waktu itu saya menangkap, dia imam masjid. Maka ketika dia bilang, “Fi Aljazair, ana imam.” Saya jawab, ”Fi Indonesi, ana ma’mum.” Dia pun tertawa. Sekedar ingin tahu, dari pemahaman mana ia berasal, saya “deteksi” dengan melontarkan beberapa pertanyaan. Dari obrolan itu, bisalah sedikit terbaca. Tetapi, untuk konfirmasi, saya melantunkan suatu nadhom selawat, ia kemudian meneruskan pembacaan selawat itu. OK, saya bisa menduga-duga mazhab apa yang ia ikuti. Ia lalu menyampaikan keinginannya untuk mendapatkan peci Indonesia. Seperti diketahui, di Makkah dan Madinah, kita jumpai pelbagai jenis peci dari negera berbeda. Yang paling jelas bedanya dengan peci dari negara lain, ya peci kita. Beda yang mencolok adalah warnanya yang hitam itu. Peci negeri lain, hampir bisa dikatakan, semuanya berwarna putih atau warna terang. Tak ada yang hitam. Itu sepanjang pengamatan saya. Boleh jadi ada yang mirip peci kita, tetapi, misalnya, pas saya tak berjumpa dengan orang yang memakai peci dimaksud.   Oleh karena itulah, saya dengar, jamaah dari negera lain, suka peci Indonesia. Demikian juga dengan kawan dari Aljazair ini. Tetapi sayang, saya sudah tak punya. Satu-satunya peci hitam Indonesia yang saya punya  -pemberian dari Nizar waktu masih bekerja di Gedung Annex, sebrang Istiqlal,-  jatuh ketika hendak mencium Hajar Aswad. Lalu, saya teringat Gus Har, kawan saya yang sebelum keberangkatan ke Tanah Suci, pernah cerita mau bawa peci yang banyak, untuk dibagi-bagikan di tanah Suci. “Kata orang, para jamaah haji dari negara-negara lain, menyukai peci Indonesia. Jadi, Saya mau bawa banyak. Mau saya bagi-bagi,” begitu dia bilang sama saya. Saya ingat dia, barangkali masih ada sisa. Mau minta itu peci untuk kawan Aljazair ini! Tetapi, saat itu dia sedang di Makkah. “Waduh, bagaimana, ya?” pikir saya. Saya coba kirim pesan singkat via telefon seluler kepada kawan yang berada di Madinah. Mereka seragam menjawab, “ Hanya satu-satunya, yang saya pakai ini!”  Ya, sudah. Apa boleh buat. Tetapi, saya tak kehilangan upaya untuk mendapatkan peci itu. Saya akan temui kawan yang lain barangkali salah satu dari kawan itu rela melepas peci yang dipakainya. Saya bilang sama kawan dari Aljazair ini, “Saya akan mencari kawan yang lain. Mudah-mudahan berhasil, “ hibur saya. Kami pun janjian untuk kembali bertemu di tempat yang sama, esok hari, bakda salat isya. Setelah bertemu teman-teman, tetap saya tak berhasil mendapatkan peci dimaksud. Menjelang isya, esok harinya, saya berusaha mendekat lokasi janjian, tetapi dia tak tampak. Yaaa, wabillahi taufik wal hidayah, kami tak bertemu. Tamatlah cerita Aljazair ini.

 

Orang Australia

Rombongan jamaah haji Australia ini, unik. Mereka tidak berasal dari satu negera, seperti halnya kebanyakan jamaah dari negara lain, melainkan berasal dari pelbagai  bangsa. Kok, bisa? Ya, selain dari Australia sendiri, mereka berasal dari beberapa negara sekitar Australia, Asia dan Afrika. Sebagian sudah menjadi “WNA”, warga negara Australia; sebagian lainnya masih memegang kewarganegaraan negara asalnya. Mereka antara lain, berasal dari Fiji, New Zealand, Bangladesh, Indonesia, Lebanon, dan Singapura. Seorang ibu, lupa namanya, ketika sedang mencari tempat duduk untuk makan, di kantin penginapan, saya persilakan untuk duduk  pada sedikit space di sebelah saya. Semula saya menduga, dia orang Indonesia. Ternyata, orang Singapura, tinggal di Perth, Australia. Kendatipun sudah lama tinggal di negeri Kanguru ini, si Ibu tetap masih memegang kewarganegaran Singapura. Dia pernah punya butik di Singapura. Beberapa pelanggannya banyak dari Indonesia. Dia menyebut beberapa nama public figure yang sering belanja di butiknya. Dia seorang business woman, sering bepergian ke beberapa negara lain untuk bisnis, termasuk ke Indonesia. Orangnya supel sekali;  enak diajak bicara. Dia banyak berbicara tentang indahnya Perth, tempat dia dan keluarganya tinggal. Punya anak satu, belum lama lulus dari sebuah perguruan tinggi di Canada. Dan, sekarang, putrinya itu, mengajar di sebuah sekolah Islam di Perth. Bila dia cerita tentang nyamannya Perth, saya tak mau kalah, cerita tentang sejuk dan hijaunya puncak (macetnya, sih, tidak saya sebut-sebut). Nampaknya, dia tertarik. Pada suatu kesempatan, juga waktu makan, saya perkenalkan ia dengan seorang kawan yang, alhamdulilah, punya villa di Puncak. Mereka berbincang-bincang dan saling mengundang; mengajak mampir, apabila suatu saat ke Australia atau ke Puncak.

 

Dari rombongan Australia ini, ada sepasang suami-istri yang biasa datang telat ke tempat makan. Karena sama-sama sering telat makan ini, kami seringkali bertemu.  Suami istri yang selalu nampak ceria ini berasal dari Bangladesh, sudah lama menetap di Australia. Seperti umumnya orang Indonesia, mereka –orang-orang yang berasal dari Bangladesh juga senang bermasyarakat, kendatipun di negeri orang. Maka, setiap obrolan dengan keduanya, menarik terus.

 

Masih rombongan Australia. Seorang tua dari Fiji yang kelihatannya tidak banyak bicara, saya dekati. Setelah kenalan, kalau berbicara, ternyata dia, lebih mendominasi pembicaraan. Rupanya, senang sekali dia diajak bincang-bincang. Ketika saya tanya, sendirian atau dengan keluarga, dia menjawab, “Istri saya sudah duluan pergi ke surga.” Istrinya sudah tidak ada, meninggal. Kalau cuti dari pekerjaannya, dia sering ke Jakarta dan belanja di pasar Senen. “Murah-murah,“ katanya. Dia sangat akrab dengan saya.

 

Berbicara tentang orang-orang dari pelbagai negara yang kemudian menetap di Australia, nampaknya tak lengkap kalau tak menyebut orang Indonesia. Pada suatu malam, seperti biasa, saya makan malam agak telat. Seseorang mendekat, “Boleh duduk di sini?” tanyanya. “Mengapa tidak,” jawab saya. “Saya, kan, merokok. Banyak orang tak suka asap rokok,” sambungnya. “Saya juga tak suka asap rokok. Tetapi, ini kan, tempatnya tidak tertutup rapat. Asap bisa terbang jauh keluar,” seru saya. Kami pun berbicara tentang pelbagai hal. Beliau berasal dari Jakarta dan tinggal belasan tahun di Australia. Ketika masing-masing cerita tempat asal tinggal, dia bilang, “Saya punya teman dekat di Bandung, tetapi…tiba-tiba saya lupa namanya.” Setelah lama bicara, “Oh,…saya ingat sekarang, Ahmad Subagja namanya!” “Dia mah saya juga kenal, Kang Bepi!”seru saya. “Ya, ya, benar, si Bepi. Sudah lama saya tak jumpa dia. Waktu ke Ustrali, dia pernah mampir ke rumah saya,” seru Bapak pakar IT ini, bersemangat. Dia kemudian berbicara tentang kedermawan kawan lamanya ini. Setelah agak lama kami bicara ke sana kemari, dan asap rokoknya mulai mengitari lubang hidung saya, saya pamitan untuk istirahat. Mudah-mudahan kalau kapan-kapan ke Perth, bisa bertemu, ya!

 

Orang Iran

Akan halnya orang Iran, lain lagi ceritanya. Waktu itu saya duduk di bagian depan masjid pada sayap kanan. Pintu keluar terdekat dari tempat saya duduk adalah berdekatan dengan pintu Abu Bakar. Apabila berniat menuju Raudhah menjelang dibukanya pintu masjid, sebelum pukul 03.00, maka pintu Abu Bakar adalah pitu terdekat padanya. Dari pintu itu hanya tinggal lurus saja, jaraknya ke Raudhah sekitar 10-15 meteranlah. Pintu itu juga merupakan pintu paling strategis untuk ziarah ke makam Nabi SAW.

 

Ketika sedang duduk membaca buku, datanglah tiga orang berpakain necis, berjas, rapi. Mereka duduk di sebelah kiri saya. Saya sudah menduga, ini pasti orang Iran. Dari pengalaman selama di tanah suci, setahu saya, orang-orang Iran di dalam masjid, kalau tidak berjubah panjang, mareka pasti berjas rapi. Setelah berkenalan, benarlah dugaan saya. Dua dari tiga orang itu aktif bertanya banyak hal tentang Islam di Indonesia. Salah seorang di antaranya adalah profesor farmasi di University of Tehran. “Kebanyakan orang Indonesia, bermazhab apa?” tanya seorang yang duduknya paling dekat dengan saya. “Syafei,” jawab saya. Mereka tampak berseri. Menurut mereka mazhab ini, agak dekat dengan Syiah. “Saya baca beberapa buku Ali Shariati dan Muthahhari. Sependek saya pernah membaca buku-buku haji, buku Shariati adalah yang terbaik. Tak ada bandingannya. Dan, Fatima is Fatima sungguh menggetarkan”, saya meneruskan. “Kamu Sunni atau Syiah?” “Saya tak tahu, kapan seseorang disebut Suni atau Syiah.” Tak lama kemudian waktu salat tiba, saya hamparkan sajadah ke tempat sujudnya. Dia sangat berterima kasih. Selesai salat, bagian sajadah yang seharusnya menjadi tempat sujud kawan Iran ini, bergeser ke depan. Saya tahu, dia tak menggunakan sajadah itu. Sebelum saya bertanya mengapa, dia sudah duluan menerangkan bahwa menurut mereka, bersujud dengan dahi langsung ke lantai, tanpa alas kain sajadah atau apa pun adalah lebih baik daripada menggunakan “kain penghalang”. “Kain ini buatan manusia, sedangkan batu buatan Allah. Jadi lebih baik menggunakan buatan Allah,” katanya. Mereka menyarankan saya untuk juga membaca Jauhsyan Kabier. “Saya punya bukunya,” seru saya. Kebetulan belum lama dikasih Nura, walaupun hingga saat itu, nyaris tak pernah dibaca. Seorang di antara mereka memperlihatkan buku kecil tebal, “Ini adalah buku kumpulan do’a terbaik di Iran.” “Punya dua?” pinta saya. “Nanti, saya kirim via pos ke rumahmu di Indonesia. Minta alamatnya saja,” katanya. Selesai salat, kami pun berpisah.

 

 

Orang Sudan

Saya sering tertarik dengan anak-anak kecil yang ada di dalam atau sekitar masjid. Satu hari, selesai salat isya, ketika hendak keluar masjid, saya melihat anak usia tujuh tahunan, sedang duduk di sebelah bapaknya. Saya hampiri. Ternyata meraka berasal dari Sudan, sebuah negara di Afrika bagian Utara. “Anak ini, datang ke sini untuk haji?” tanya saya. “Ya, dia ingin ikut,” kata sang bapak. “ Kami bertiga: saya, anak dan itu (sambil menunjuk kepada seorang anak muda yang sedang bicara ke arah yang tak ada orang) adik saya. Dia kena gangguan jiwa. Saya membawanya ke Tanah Suci ini, berharap Allah menyembuhkannya,” tambah si bapak tadi. Kebetulan, saya punya teman yang pernah tinggal agak lama di Sudan, nyambunglah pembicaraan. Setelah pembicaraan panjang lebar, saya pamit, “Saya mau cari apel.”

“Buat apa apel?” tanyanya.

“Untuk dibagi-bagikan kepada fakir miskin di sekitar masjid, sebagai sedekah,” jawab saya.

“Kalau kamu percaya saya, saya akan membawa anak dan adik saya ini ke Makkah. Dan, saya perlu bantuan untuk biaya transformasi. Kamu boleh sedekah sama saya,” tambah dia.

“Berapa kamu perlu?” saya balik bertanya.

“Paling tidak, 500 riyal,” katanya.

“Saya akan kasih kamu sebagian daripadanya,” sambung saya.

“OK,” dia menyahut.

Uang riyal untuk membeli apel itu pun berpindah tangan kepada orang Sudan ini.

Saya lihat dia kayaknya memerlukan pakaian hangat,“Kamu perlu jaket?” tanya saya.

“Boleh, tetapi kamu bagaimana?” dia balik bertanya.

“Gampanglah,” jawab saya sambil melepas dan menyerahkan jaket tebal itu.  Si anak lucu yang dari tadi memperhatikan obrolan kami, mencoba mengenakan itu jaket yang, tentu saja, baginya jauh terlalu besar. Si anak, menciumi pipi saya, beberapa kali . Mungkin tanda terima kasih.

“Jaket ini, ada topinya. Besok saya kasihkan kamu. Di mana kita bisa bertemu?”

“Di tempat ini.”

Keesokan harinya, dengan mudah saya menemukan mereka. Setelah menyerahkan topi jaket itu, saya pamit, “Nanti, sekitar bakda isya, insya Allah, kami mau meninggalkan Madinah, menuju Aziziyah.” Saya kemudian menyampaikan salam perpisahan. Dia berdo’a agak panjang untuk saya. “Kami, nanti, akan ke penginapanmu,” katanya.

Ternyata, rombongan berangkat lebih awal. Kami pun tak bertemu lagi. Semoga Allah, kelak, mempertemukan kita, hai saudaraku dari Sudan!

 

 

Rumah Nabi SAW

Rasulullah,  di atas lahan yang sempit, dengan bahan bangunan berupa batu bata dan pelepah daun kurma, membangun rumahnya sangat sederhana. Rumah itu, mempunyai dua pintu, di bagian barat dan di utara. Atap rumahnya dapat dijangkau oleh tangan. Ukuran rumahnya, pada dinding bagian selatan (arah kiblat), dari timur ke barat panjangnya 4,80m (empat koma delapan puluh meter), dinding bagian utara 4,68 m (empat koma enam puluh delapan meter). Sedangkan  lebarnya dari utara ke selatan, pada dinding timur dan barat adalah 3,43 m (tiga koma empat puluh tiga meter). Inilah besarnya rumah seorang pemimpin negara!

 

Setelah berpulang, jasad Nabi SAW dikuburkan di dalam kamar rumahnya yang sederhana itu. Di sebelah utara makam Nabi SAW, berturut-turut dimakamkan pula Abubaka Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattabin Kini, makam Rasulullah, Abu Bakar dan Umar menempati bagian depan kiri Masjid Nabawi.

 

Mimbar Nabi SAW

Pada mulanya, apabila berkhutbah, Rasulullah bertelekan pada batang pohon kurma. Seorang pengunjung menawarkan pembuatan mimbar untuk Nabi berkhutbah, beliau setuju. Dibangunlah mimbar itu. Rasul memerintahkan membangun tiga atau empat tangga di mimbar itu. Seperti halnya masjid, mimbar ini pun mengalami beberapa kali perbaikan.

 

 

Raudhah

Di antara rumah/makam Nabi SAW dan mimbar beliau, adalah suatu area yang dikenal sebagai raudhah. Di Masjid Nabawi, raudhah merupakan tempat paling makbul untuk berdo’a. Semua jamaah berkeinginan bisa salat dan berdo’a di sini.

 

Hari itu hari Jum’at, rombongan berhenti di depan sebuah penginapan. Setelah masing-masing mendapat kamar, semua berkumpul sejenak untuk mendengarkan pengarah dari ustaz pembimbing. Rencananya, rombongan akan ke masjid sekitar pk. 10.00.

 

Bersama Pak Sumitro, Pak Sa’ad, dan Pak Ayyub, sekitar pk 08.00, kami bermaksud melakukan survei pendahuluan ke masjid, lalu kembali ke penginapan untuk kemudian bersama rombongan berangkat kembali ke masjid. Kami masuk dari Gerbang/Gate No. 25, belok kanan (Gate 25 lurus dan ke kiri adalah tempat jamaah wanita), belok kiri lagi, terus masuk masjid. Pikiran saya tertuju ke Raudhah. “Nanti di Raudhah, kata Ustaz Rudy, teman saya di Ciomas, tengoklah ke sebelah kiri. Itulah makan Rasulullah SAW.”

 

Ketika bertemu seorang Indonesia yang sedang jalan cepat menuju ke luar masjid, saya tanya, “ Di mana Raudhah?”   “Terus saja jalan ke depan. Di sana Raudhah,” jawabnya. Kami mengikuti orang yang antri masuk bagian depan masjid. Agak lama antrian itu. Karena penuhnya jamaah, dan tidak memungkinkan untuk bergerak ke arah luar kembali, rencana untuk kembali dulu ke penginapan, batal. Kami akhirnya, mendapat tempat di salah satu bagian depan masjid. Saya salat tahyatul masjid. Setelah duduk, saya lihat sekeliling masjid, mencari-cari, di mana itu Raudhah. Dalam hati berkata, “Mestinya sekitar sini.” Saya tanya seorang kulit putih yang duduk di sebelah kiri saya, “Where is the Raudhah?”This is Raudhah!” jawabnya. Alhamdulillah. Rasa penasaran terus menyuruh saya konfirmasi ke seorang Afrika yang duduk di sebelah kanan. Ia menjawab hal yang sama. Ia menambahkan, “Lihatlah warna karpet dan tiang-tiang masjid!” Memang ada perbedaan antara warna karpet di area itu dengan di bagian luarnya. Demikian juga tiang-tiang masjid. Di area ini, karpet berwarna cerah (ada yang menyebutnya berwarna hijau muda; ada yang bilang abu-abu; ada juga yang melihatnya sebagai putih), sedangkan tiang-tiang masjidnya memiliki tanda khusus berupa bulatan hitam. Saya tambah yakin, inilah raudhah. Setelah agak lama duduk, pada figura di atas pintu keluar ke arah kiblat, saya baca tulisan hadits Nabi SAW yang menerangkan tentang posisi raudhah itu. Tarjamah hadits itu adalah “Di antara rumah dan mimbarku adalah taman dari taman-taman surga, dan mimbarku di atas telagaku.” Jelas sudah, ini memang raudhah. Seperti keterangan dari Ustaz Rudy, saya menengok ke kiri. Dalam hati saya berkata,  “Ini pasti lokasi makam Rasulullah SAW.” Saya sampaikan salam padanya, juga titipan salam dari beberapa kawan.

 

Pendapat tentang hadits raudhah.. perlu uraian

 

Baqi

Adalah kompleks pemakaman dekat Masjid Nabawi. Apabila kita telah melakukan ziarah ke makan Nabi SAW, dari dalam masjid ke arah luar, maka tepat di seberang pintu keluar tersebut terdapat Baqi. Di pemakaman ini nampaknya sulit untuk mendapatkan bahwa ini makam si A, dan itu makan si BIN Ketika berada di Baqi, saya melihat banyak orang bertanya kepada para petugas, ini makam siapa, itu makam siapa? Atau dimana makam si A, dimana makam si B, para petugas menjawab seragam, “Berdo’a saja untuk semua!” Ada kesan, mereka merahasiakan identitas para ahli kubur. Barangkali mereka mengkhawatirkan pengkultusan ke salah satu atau beberapa makam tertentu.

 

Para peneliti sejarah menyebutkan bahwa di Baqi dimakamkan para istri Rasul (kecuali Khadijah dan Maimunah), para putri Rasul (Ummu Kultsum, Ruqoyyah, dan Zainab), Abbas bin Abdul Muthallib, Hasan bin Ali bin Abu Thalib, Fatimah binti Rasulullah SAW (menurut sebagian sejarawan, sebagian yang lain berpendapat Fatimah tidak dimakamkam di Baqi), Muhammad bin Al-Baqir bin Zainal Abidin, Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir, dan Kepala Husen bin Ali bin Abu Thalib (Yazid bin Muawiyah mengirim kepala Al-Husen kepada Umar bin Sa’ad bin Al-Ash, gubernurnya untuk Madinah. Ia menguburkannya di Baqi). Ada yang berpendapat bahwa jasad Ali bin Abu Thalib dipindahkan ke Baqi. Usman bin Affan dan sekitar 10.000 orang shahabat lainnya, juga dimakamkan di sini.

 

  

Memenuhi Panggilan dengan Ketabahan

Apabila kita datang ke masjid dini hari, beberapa jam sebelum azan subuh, kita akan melihat, di pelataran masjid, dekat dinding-dinding toilet, banyak jamaah yang tidur di situ. Mereka, tentu saja, inginnya tidak tidur di tempat sejenis itu. Mereka juga lebih senang, kalau bisa tidur di penginapan. Tetapi, mereka tak cukup bekal untuk itu. Mereka tidur di lantai dekat dinding toilet, di pelataran toilet, dan emper-emper toko. Jika bapak-bapak dan ibu-ibu yang tidur di hotel/penginapan saja merasa kedinginan, mereka tentu, lebih merasakan dinginnya malam Kota Madinah, di musim dingin ini. Pakaian mereka sangat sederhana, kusut dan lusuh (waktu di Makkah, beberapa jamaah, kami lihat pakaian ihramnya terbuat dari kain kasar dan tidak cukup tebal). Tetapi, wajah mereka ceria. Mereka datang dari pelbagai negara. Mereka datang memenuhi panggilan Ilahi untuk berhaji ke tanah suci. Dengan bekal ketabahan, mereka sampai di Makkah dan Madinah.

 

Saya membawa dua setengah stel kain ihram (lima lembar). Empat lembar dari Yayasan tempat kami dibimbing, satu lebar dikasih tetangga. Dua lembar kain ihram itu, saya berikan kepada dua orang yang baru bangun dari tidur di dekat dinding toilet, di pelataran masjid Nabawi. Saya berkata dalam hati, “Silakan saja, mau dipakai sebagai pakaian ihram, dipakai selimut atau alas tidur. Kau lebih perlu daripada aku.”

 

 

Masjid Quba

Rombongan berangkat menuju Masjid Quba. Kami salat sunnah tahyatul masjid dan berdo’a sejenak. Saya tidak banyak tahu tentang masjid ini, kecuali bahwa Masjid Quba adalah masjid yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah dan Rasul sering salat di masjid ini. Almarhum guru kami (Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu) pernah menyampaikan bahwa ketika sedang membangun masjid ini, Rasulullah berkata kepada seorang shahabat yang bernama Ammar bin Yasir :” Engkau akan terbunuh oleh al-fiatul baghiyah.”

 

Masjid Quba terletak di Desa Quba, 3 km arah selatan Madinah, adalah masjid yang pertama kali dibangun Rasulullah SAW. Dalam perjalanan Hijirahnya dari Makkah ke Madinah, Rasulullah singgah di Desa Quba. Beliau menginap di keluarga Bani ‘Amr bin Auf selama beberapa hari dan membangun masjid ini. Beliau ikut mengangkut batu-batu bersama shahabat yang lain. Ath-Tharani meriwayatkan dari Asy-Syamus bin An-Nu’man, “Saya melihat Rasulullah SAW ketika beliau datang, menginap dan membangun masjid ini, Masjid Quba. Saya melihat beliau mengambil batu-batu besar sampai-sampai batu-batu besar itu membuat beliau berjalan miring. Saya melihat bekas-bekas tanah yang memutih di perut dan pusat beliau. Lalu datang seorang dari kalangan para shahabatnya yang segera mengatakan :”Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, aku saja cukup sebagai penggantimu!” Rasul menjawab:”Tidak!, ambillah batu-batu besar seperti itu agar masjid ini segera selesai dibangun.”

 

Pada setiap Hari Sabtu, Rasulullah senantiasa menyempatkan diri untuk salat di masjid ini, dengan berkendaraan atau pun jalan kaki. Kadang pada hari lain,  Senin dan Kamis, Rasulullah juga datang ke sini. Sepeninggal Rasul pun, para shahabat senantiasa menziarahinya. Ibu Majah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang bersuci di rumahnya, kemudian ia datang ke Masjid Quba, lalu ia menunaikan salat di dalamnya, maka ia meraih pahala seperti pahala ibadah umroh.”

 

Ada kisah yang saya ingat tentang yang ada kaitannya dengan Masjid Quba. Saat itu, ada seorang shahabat Anshar menjadi Imam di Masjid Quba ini. Shahabat tadi, setiap salat, setelah selasai membaca surah al-Fatihah, ia membaca surah al-Ikhlas, Qulhu, lalu disambungnya dengan surah yang lain. Begitu ia lakukan selama menjadi imam di masjid ini. Para shahabat yang lain, yang menjadi makmumnya protes, tak setuju. Sang imam hanya menjawab, “Aku hanya ingin mengimami kalian secara demikian. Kalau kalian tak setuju silakan cari imam yang lain.” Tetapi, karena tidak ada shahabat lain yang lebih utama untuk menjadi imam dari shahabat satu ini, para makmum tetap menjadikannya sebagai imam. Suatu hari datanglah Rasulullah ke tempat ini. Para shahabat pun mengadukannya. Rasul kemudian memanggil sang imam, “ Mengapa kamu setiap selesai membaca surah al-Fatihah menyambungnya dengan surah al-Ikhlas dan baru membaca surah yang lain. Dan mengapa kamu tak mengikuti saran yang para shahabatmu?”, tanya Rasulullah SAW. Shahabat tadi menjawab, “Saya mencintainya, ya Rasulullah!” Rasul yang mulia kemudian menjawab, “Cintamu padanya akan membawamu ke surga.” Sang imam itu, insya Allah, akan masuk surga karena mencintai surah al-Ikhlas.

 

                                                                                   

Masjid ini juga menjadi salah satu momentum sejarah dalam tarikh Khilafah Rasyidah. Ketika membangun masjid ini, Rasul pernah berkata kepada Ammar bin Yasir bahwa Amar akan terbunuh oleh fiatul baghiyah. Siapakah Ammar ? Dia adalah anak dari keluarga syahid dan syahidah pertama dalam sejarah Islam,Yasir dan Sumuyah. Satu keluarga itu, Yasir, Sumuyah dan Amar, dibakar hidup-hidup oleh Abu Jahal. Apa salah mereka? Mereka berbuat kesalahan besar, yaitu meninggalkan kepercayaan lamanya, dan kemudian memeluk agama yang dibawa Muhammad. Yasir menghembuskan napasnya di pembakaran itu. Sedangkan Sumuyah, setelah mengalami pembakaran, ditusuk dengan tombak hingga menembus tubuhnya, juga oleh Abu Jahal. Ammar, setelah dibakar, dalam kondisi mengenaskan, ditebus dan dimerdekakan oleh Abu Bakar.

 

Waktu itu, Sayyida Ali berangkat dari Irak dan Muawiyah dari Syam. Keduanya bertemu di suatu tempat yang bernama Shiffin, di tepi barat Sungai Furath. Pasukan Muawiyah lebih dulu datang ke tempat itu, mereka menguasai air Sungai Furath dan melarang pasukan Ali mengambil air dari sana. Pasukan Ali berhasil memerangi dan mengusir mereka dari situ. Setelah itu Ali memerintahkan kepada pasukannya agar mengambil air secukupnya dan membiarkan pasukan Muawiyah mengambil air sesuka hati mereka.

 

Pada permulaan Dzulhijjah, sebelum terjadinya pertempuran, Ali r.a. mengutus beberapa orang ke Markas Muawiyah demi menyempurnakan hujjahnya atas mereka. Namun Muawiyah menjawab: ”Pergilah kamu dari sini. Tidak ada sesuatu antara aku dan kalian kecuali pedang!”

 

Berkecamuklah pertempuran antara kedua pihak sampai kemudian mereka setuju untuk menundanya hingga akhir Muharram tahun 37 H. Pada waktu itu Sayyidina Ali mengutus Adi bin Hatim untuk mengepalai suatu delegasi yang menyatakan kepada Muawiyah bahwasannya seluruh rakyat sudah sepakat mengangkat Ali sebagai khalifah mereka dan tak seorang pun akan menyimpang dari hal ini kecuali Anda dan teman-teman Anda. Jawab Muawiyah : ”Biarkan Ali menyerahkan kepada kami pembunuh Usman agar kami membunuh mereka, dan setelah itu, kami aka memenuhi permintaan kalian untuk masuk dalam ketaatan dan bergabung dengan jamaah.” Kemudian Muawiyah mengutus satu delegasi kepada Ali yang dipimpin oleh Habib bin Maslamah al-Fihri, ia berkata kepada Sayyidina Ali :”Serahkan kepada kami para pembunuh Usman bila Anda mengaku tak membunuhnya, setelah itu jangan turut campur dalam urusan rakyat, sehingga dengan demikian akan terbukalah bagi mereka pintu permusyawaratan antara mereka, dan mereka dapat mengangkat siapa saja yang mereka sepakati.”

 

Bulan Muharram berlalu, dan mulailah pertempuran yang menentukan di bulan Safar tahun 37 H. Pada permulaan peperangan itu Sayyidina Ali mengumumkan di hadapan tentaranya : ”Jangan memerangi mereka sebelum mereka memulai, sebab, alhamdulillah, kalian berjuang atas dasar hujjah dan alasan yang benar. Membiarkan mereka sampai mereka memulai dahulu merupakan tambahan hujjah bagi kalian atas mereka. Bila mereka telah terpukul mundur dengan izin Allah, jangan membunuh orang yang melarikan diri, jangan menyerang yang tidak lagi berdaya, jangan menghabisi nyawa orang         yang terluka dan jangan menyentuh wanita dengan gangguan, sekalipun jika mereka mencerca kehormatan kalian atau mencaci-maki pemimpin-pemimpin kalian dan orang-orang yang baik di antara kalian.”

 

Di tengah-tengah pertempuran itu, Ammar bin Yasir r.a. terbunuh. Orang-orang ribut, “ Ammar terbunuh!  ”Ammar terbunuh!” Ada apa dengan Ammar? Bukankah yang lain juga banyak yang terbunuh? Ketika itu para shahabat teringat hadits Rasulullah SAW tentang Ammar bin Yasir, dan ucapan Rasul ini terdengar oleh orang banyak dan tersebar luas di kalangan para shahabat. Ucapan yang Rasul sampaikan saat membangun Masjid Quba :”Wahai Ammar, engkau akan dibunuh oleh al-fiatul baghiyah (kelompok durhaka). Hadits ini diriwayatkan oleh a.l.: Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasai,

.dan Abi Dawud.

 

Banyak kalangan shahabat dan tabi’in yang pada mulanya ragu-ragu mengenai perang antara Ali dan Muawiyah ini, telah menjadikan peristiwa shahidnya Ammar bin Yasir sebagai alamat jelas yang memisahkan antara kelompok yang berada di atas kebenaran dan kelompok yang berada atas kebatilan.

 

Hadits ini begitu mutawatir, sehingga Muawiyah sendiri tidak mampu mengingkarinya ketika Abdullah bin Umar menyebutkan hadits ini kepadanya. Tetapi Muawiyah berdalih :”Sesungguhnya yang membunuh Ammar adalah orang yang telah mendatangkannya dan meletakkannya di antara lembing-lembing kita.”  

 

Ibnu hajar berkata :”Telah nyata, dengan terbunuhnya Ammar, bahwa kebenaran berada di pihak Ali. Dan telah sepakat akan hal ini seluruh Ahlus-Sunnah kini, setelah mereka di masa lalu pernah berbeda pendapat.”

 

Peristiwa sejarah itu seolah belum lama berlalu. Al-Maududi mencatatnya secara runtut,   analitis, dan kritis dalam Khilafah wal Mulk (Khilafah dan Kerajaan).

 

 

Uhud

 

Kami, kemudian, menuju Bukit Uhud. Ketika kami tiba, sudah banyak rombongan lain berada di sana. Sebagian berada di bukit-bukit, lainnya berada di depan Pemakaman Uhud. Siapa pun tak akan lupa apa yang terjadi di Uhud. Saya berusaha mengorelasikan tarikh Nabi yang ditulis Haekal atau yang lebih rinci dari Munawar Khalil. Bayangan saya, seperti yang terbaca dalam tarikh, ada dua perbukitan mengapit lokasi Perang Uhud. Ada lokasi strategis ketika Rasul menempatkan pasukan panah. Ada bukit yang dikitari Khalid bin Walid ketika memperdaya pasukan muslim, saat pasukan panah lengah dari perintah Rasul. Kala itu Rasul memerintahkan untuk tidak beranjak sebelum ada perintah. Melihat pasukan Quraish kocar-kacir, pasukan panah tergoda ghonimah. Mereka turun dari bukit-bukit. Saat asyik memilah ghonimah, Walid bin Walid, yang diduga telah lari kembali ke arah Makkah, dengan pasukannya menyerang kembali dari belakang. Pasukan Islam tercerai-berai. Rasul pun terluka. Saya juga ingin tahu, di mana Hamzah ditombak Wahsy. Saya menerawang ke perbukitan itu, mencari-cari lokasi-lokasi itu. Tak berhasil. Saya coba tanya Ustaz Husen, dimana lokasi-lokasi itu? Beliau menjawab, “Sulit menerangkannya, karena sebagian bukit telah dibuldozer!” Memang, di bukit sana kami melihat beberapa buldozer sedang aktif bekerja, meratakan tanah. Kembali, saya tak mengerti. Lokasi sejarah yang tak ternilai ini, akan sirna atas dalih menghindari syirik dan bid’ah! Ada pepatah popular di negeri kita, ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah.” Dalam kaidah ushul fiqih ada mafhum mukholafah. Bagaimana dengan case ini?

 

Kami mendekat ke kompleks pemakaman Uhud, berdo’a untuk para syuhada. Dalam buku ”Do’a dan Dzikir Haji” terbitan Departemen Agama, selain do’a untuk semua syuhada Uhud, ada terpisah do’a khusus untuk Hamzah dan Mush’ab bin Umair. Siapakah Hamzah dan Mush’ab bin Umair itu? Hamzah, semua orang sudah tahu.  Beliau adalah paman Nabi shalallahu alaihi wa salam, sekaligus saudara sepersusuan, serta kerabat dekatnya dari jalur ibu. Hamzah terkenal dengan sebutan Asadullah (singa Allah) dan Sayyidusy-Syuhadaa’ (penghulu para syuhada). Dalam perang badar Hamzah berhasil menghempaskan beberapa tokoh musyrikin. Seperti Syaibah bin Rabi’ah, Thu’aimah bin Adi dan ‘Utbah bin Rabi’ah. Begitu pula pada perang Uhud. Beliau berhasil menewaskan 30 orang lebih. Sebelum akhirnya gugur di tangan Wahsyi, seorang budak Ethiopia milik Hindun bin Utbah, istri dari Abu Sufyan bin Harb, yang ayahnya dibunuh oleh Hamzah pada Perang Badar. Hindun menjanjikan kebebasan untuk Wahsyi bila ia mampu membalaskan dendam Hindun dengan membunuh Hamzah. Setelah ditombak dan dirobek perutnya, lalu hati Hamzah dikeluarkan oleh Hindun kemudian dikunyahnya tetetapi tidak tertelan dan segera dimuntahkannya.

Ketika Rasulullah melihat keadaan tubuh pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib, Rasulullah sangat sedih dan marah. Allah menurunkan firmannya ,” Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar (Qs; an Nahl 126).

 

Lalu, siapakah Mush’ab bin Umair?

Mush’ab adalah seorang anak muda yang serba kecukupan, biasa hidup mewah dan manja, menjadi buah-bibir gadis-gadis Makkah dan menjadi bintang di tempat-tempat pertemuan. Ia masuk Islam di rumah Arqam bin Arqam, walaupun ditentang keras ibunya

, sampai  dipenjarakan di dalam rumah. Setelah berhasil kabur dari penjara ibunya, Mush’ab pergi ke Habsyi, kemudian pulang ke Makkah dan kemudian ia pergi lagi hijrah kedua kalinya bersama para shahabat atas titah Rasulullah. Setelah bergabung dengan Islam, Mush’ab yang kaya raya menjadi sangat miskin, pakaiannya usang, banyak tambalan pada bajunya.  Rasulullah bersabda, “Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi daiam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya hepada Allah dan Rasul-Nya.”

Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah sambil berkata: “Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi,” maka Mush’ab pun menghampiri ibunya sambil berkata: “Wahai ibu, telah kusampaikan nasihat kepada ibu, dan aku menaruh kasihan kepada ibu. Karena itu saksikanlah bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

Dengan sangat marah ibunya menyahut, “Demi bintang! Sekali-kali aku takkan masuk ke dalam agamamu itu. Otakku bisa jadi rusak, dan buah pikiranku takkan diindahkan orang lagi!”

Rasulullah mengutus Mush’ab melakukan suatu tugas maha penting saat itu. Ia menjadi duta atau utusan Rasulullah ke Madinah untuk mengajarkan seluk beluk agama kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan bai’at kepada Rasulullah di bukit ‘Aqabah. Di samping itu mengajak orang-orang lain untuk menganut Agama-Allah, serta mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijratul Rasul.

Mush’ab memikul amanat itu dengan bekal karunia Allah kepadanya, berupa fikiran yang cerdas dan budi yang luhur. Dengan sifat zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati, walau pernah juga hampir dibunuh oleh seorang pemuka Madinah, karena merasa kaumnya dibawa meninggalkan keyakinan lama yang sudah turun temurun,  ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka beuduyun-duyun masuk Islam.

Pada perang Uhud, Rasulullah memilih Mush’ab sebagai  pembawa bendera. Berkata Ibnu Sa’ad: “Diceritakan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad bin Syurahbil al-‘Abdari dari bapaknya, ia berkata: Mush’ab bin Umair adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala barisan kaum muslimin pecah, Mush’ab bertahan pada kedudukannya. Datanglah seorang musuh berkuda, lalu menebas tangannya hingga putus, sementara Mush’ab mengucapkan: “Muhammad itu tiada lain hanyaIah seorang rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa rasul,” kemudian dipegangnya bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kiri Mush’ab hingga putus pula. Mush’ab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraihnya ke dada sambil mengucaphan: “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang rasul dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa rasul,” Lalu orang berkuda itu menyerangnya ketiga kali dengan tombak, dan menusukkannya hingga tombak itu pun patah. Mush’ab pun gugur, dan bendera jatuh!.

Setelah pertempuran usai, ditemukanlah jasad pahlawan ulung yang syahid itu terbaring dengan wajah menelungkup ke tanah digenangi darahnya yang mulia. Rasulullah bersama para shahabat datang meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya jasad Mush’ab, bercucuranlah air mata Rasulullah SAW. Berkata Khabbah ibnul’Urrat:

Kami hijrah di jalan Allah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengharap keridhaan-Nya, hingga pastilah sudah pahala di sisi Allah. Di antara kami ada yang telah berlalu sebelum menikmati pahalanya di dunia ini sedikit pun juga. Di antaranya ialah Mush’ab bin Umair yang gugur di perang Uhud. Tak sehelai pun kain untuk menutupinya selain sehelai burdah. Apabila ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan dahinya tutupilah dengan rumput idzkhir!”

Rasulullah berdiri di depan Mush’ab bin Umair dengan pandangan mata yang pendek bagai menyelubunginya dengan kesetiaan dan kasih sayang, dibacakannya ayat:
“Di antara orang-orang mu’min terdapat pahlawan-pahlawan yang telah menepati janjinya dengan Allah” (Q.S. 33 al-Ahzab: 23).

Kemudian dengan lirih Rasulllah memandangi burdah yang digunakan untuk kain tutupnya, seraya bersabda : “Ketika di Mekah dulu, tak seorang pun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya daripadamu. Tetetapi sekarang ini, rambutmu kusut masai, hanya dibalut sehelai burdah.

Setelah melayangkan pandang, tatatapn sayu ke arah medan serta para syuhada kawan-kawan Mush’ab yang tergeletak di atasnya, Rasulullah berseru:
“Sungguh, Rasulullah akan menjadi saksi nanti di hari kiamat, bahwa kamu semua adalah syuhada di sisi Allah.”

Kemudian sambil berpaling ke arah shahabat yang masih hidup, sabdanya:
Hai manusia! Berziarahlah dan berkunjunglah kepada mereka, serta ucaphanlah salam Demi Allah yang menguasai nyawaku, tak seorang muslim pun sampai hari kiamat yang memberi salam kepada mereka, pasti mereka akan membalasnya.

 

 

 

 

 

 

Mengapa Perlu Ziarah ke Uhud?

Uhud adalah gunung yang membentang sepanjang lebih kurang 7 km, dengan ketinggian puncaknya 1.050 meter,  sekitar 6 km arah utara atau sedikit condong ke arah baratlaut dari Masjid Nabawi. Jabal Uhud, begitu orang Arab menyebutnya, adalah gunung yang terpisah dari rangkaian pegunungan di sekitarnya. Para jamaah haji yang telah sampai Madinah, tidaklah lengkap kalau tidak berziarah ke Gunung Uhud.

 

Gunung Uhud menjadi terkenal karena peristiwa perang antara kaum muslimin dari Madinah dan kaum musyrikin Quraish dari Makkah. Perang itu terjadi pada tanggal 15 Syawal, tahun ke-3 Hijriah.

 

 

Uhud Savaşı – The Battle of Uhud غزوة أحد‎

     

 

Uhud Savaşı – The Battle of Uhud (Arabic: غزوة أحد‎) , Mart 23 625 (3 Şevval 3 HS İslâmi takvimde) Uhud Dağı’nda yapıldı. was fought on 23 March, 625 (3 Shawwal 3 AH in the Islamic calendar) at Mount Uhud.

 

 

 

 

Pasukan Quraish dipimpn oleh Abu Sofyan. Keberangkatan Quraish dengan tujuan Madinah yang disiapkan dari Dar’n-Nadwa itu terdiri dan tiga brigade. Brigade terbesar dipimpin oleh Talha bin Abi Talha terdiri dari 3000 orang, 200 orang di antaranya adalah pasukan berkuda yang tangguh, dibawah komando pasukan Khalid bin Walid; dan  700 orang dari mereka berbaju besi. Kecuali 100 orang saja dari Thaqif, selebihnya semua dari Mekah, termasuk pemuka-pemuka, sekutu-sekutu serta golongan Ahabisynya. Perlengkapan dan senjata tidak sedikit yang mereka bawa, dengan 200 pasukan berkuda dan 3000 unta, di antaranya 700 orang berbaju besi.

 

Kaum musrrikinQuraish meneruskan perjalanan sampai di ‘Aqiq, kemudian; mereka berhenti di kaki gunung Uhud, dalam jarak lima mil dari Madinah.

Bagaimana Rasulullah mengetahui orang dari Ghifar yang diutus oleh Abbas bin Abd’l-Muttalib membawa surat ke Madinah itu telah sampai. Setelah diketahuinya berada di Quba’, ia langsung pergi ke sana dan dijumpainya Rasulullah di depan pintu mesjid sedang menunggang keledai

Diserahkannya surat itu kepadanya, yang kemudian dibacakan oleh Ubay bin Ka’bin Rasulullah minta isi surat itu supaya dirahasiakan, dan ia kembali ke Madinah langsung menemui Sa’d ibn’l-Rabi’ di rumahnya. Diceritakannya apa yang telah disampaikan ‘Abbas kepadanya itu dan juga dimintanya supaya hal itu dirahasiakan.

 

Dua orang anak-anak Fudzala, yaitu Anas dan Mu’nis, oleh Rasulullah ditugaskan menyelidiki

keadaan Quraish. Menurut pengamatan mereka kemudian ternyata Quraish sudah mendekati Madinah. Kuda dan unta mereka dilepaskan di padang rumput sekeliling Madinah. Di samping dua orang itu kemudian Rasulullah mengutus lagi Hubab ibn’l-Mundhir bin’l-Jamuh. Setelah keadaan mereka itu disampaikan kepadanya seperti dikabarkan oleh ‘Abbas, Nabi s.a.w. jadi terkejut sekali. Ketika kemudian Salama bin Salama keluar, ia melihat barisan depan pasukan kuda Quraish sudah mendekati Madinah, bahkan sudah hampir memasuki kota. Ia segera kembali dan apa yang dilihatnya itu disampaikannya kepada masyarakatnya. Sudah tentu pihak Aus dan Khazraj, begitu juga semua penduduk Madinah merasa kuatir sekali akan akibat serbuan ini, yang dalam sejarah perang, Quraish belum pernah mengadakan persiapan sebaik itu. Pemuka-pemuka Kaum muslimin dari penduduk Madinah malam itu berjaga-jaga dengan senjata di mesjid guna menjaga keselamatan Nabi. Sepanjang malam itu seluruh kota dijaga ketat.

Kaum muslimin bermusyawarah: bertahan di Madinah atau menyongsong musuh di luar

Keesokan harinya orang-orang terkemuka dari kalangan kaum muslimin dan mereka yang pura-pura Islam -atau orang-orang munafik seperti disebutkan waktu itu dan seperti dilukiskan pula oleh Qur’an – oleh Nabi diminta berkumpul; lalu mereka sama-sama bermusyawarah, bagaimana seharusnya menghadapi musuh Nabi ‘alaihi’s-salam berpendapat akan tetap bertahan dalam kota dan membiarkan Quraish di luar kota. Apabila mereka mencoba menyerbu masuk kota maka penduduk kota ini akan lebih mampu menangkis dan mengalahkan mereka. Abdullah bin Ubay bin Salul mendukung pendapat Nabi itu dengan mengatakan:

“Rasulullah, biasanya kami bertempur di tempat ini, kaum wanita dan anak-anak sebagai benteng kami lengkapi dengan batu. Kota kami sudah terjalin dengan bangunan sehingga ia merupakan benteng dari segenap penjuru. Apabila musuh sudah muncul, maka wanita-wanita dan anak-anak melempari mereka dengan batu. Kami sendiri menghadapi mereka di jalan-jalan dengan pedang. Rasulullah, kota kami ini masih perawan, belum pernah diterobos orang. Setiap ada musuh menyerbu kami ke dalam kota ini kami selalu dapat menguasainya, dan setiap kami menyerbu musuh keluar, maka selalu kami yang dikuasai. Biarkanlah mereka itu. Rasulullah. Ikutlah pendapat saya dalam hal ini. Saya mewarisi pendapat demikian ini dari pemuka-pemuka dan ahli-ahli pikir golongan kami.”

 

Apa yang dikatakan oleh Abdullah bin Ubayy itu adalah merupakan pendapat terbesar shahabat-shahabat Rasulullah – baik Muhajirin ataupun Anshar, mereka sependapat dengan Rasul a.s. Akan tetetapi pemuda-pemuda yang bersemangat yang belum mengalami perang Badar – juga orang-orang yang sudah pernah ikut dan mendapat kemenangan disertai hati yang penuh iman, bahwa tak ada sesuatu kekuatan yang dapat mengalahkan mereka – lebih suka berangkat keluar menghadapi musuh di tempat mereka berada. Mereka kuatir akan disangka segan keluar dan mau bertahan di Madinah karena takut menghadapi musuh. Seterusnya apabila mereka ini di pinggiran dan di dekat kota akan lebih kuat dari musuh. Ketika dulu mereka di Badar penduduk tidak mengenal mereka samasekali.

Salah seorang diantara mereka ada yang berkata:

“Saya tidak ingin melihat Quraish kembali ketengah-tengah golongannya lalu mengatakan: Kami telah mengepung Rasulullah di dalam benteng dan kubu-kubu Yathribin Ini akan membuat kaum Quraish lebih berani. Mereka sekarang sudah menginjak-injak daun palm kita. Kalau tidak kita usir mereka dari kebun kita, kebun kita tidak akan dapat ditanami lagi. Orang-orang Quraish yang sudah tinggal selama setahun dapat mengumpulkan orang, dapat menarik orang-orang Arab, dari badwinya sampai kepada Ahabisynya. Kemudian, dengan membawa kuda dan mengendarai unta, mereka kini telah sampai ke halaman kita. Mereka akan mengurung kita di dalam rumah kita sendiri? Di dalam benteng kita sendiri?

Lalu mereka pulang kembali dengan kekayaan tanpa mengalami luka samasekali. Kalau kita turuti, mereka akan lebih berani. Mereka akan menyerang kita dan menaklukkan daerah-daerah kita. Kota kita akan berada dibawah pengawasan mereka. Kemudian jalan kitapun akan mereka potong.”

 

Selanjutnya penganjur-penganjur yang menghendaki supaya keluar menyongsong musuh masingmasing telah berbicara berturut-turut. Mereka semua mengatakan, bahwa bila Tuhan memberikan kemenangan kepada mereka atas musuh itu, itulah yang mereka harapkan, dan itu pula kebenaran yang telah dijanjikan Tuhan kepada Rasul-Nya. Kalaupun mereka mengalami kekalahan dan mati syahid pula, mereka akan mendapat surga.

Kata-kata yang menanamkan semangat keberanian dan mati syahid ini, sangat menggetarkan hati

mereka. Jiwa mereka tergugah semua untuk sama-sama menempuh arus ini, untuk berbicara dengan nada yang sama. Waktu itu, bagi orang-orang yang kini sedang berhadap-hadapan dengan Rasulullah, orang-orang yang hatinya sudah penuh dengan iman kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada Qur’an dan Hari Kemudian, yang tampak di hadapan mereka hanyalah wajah kemenangan terhadap musuh aggressor itu. Pedang-pedang mereka akan mencerai-beraikan musuh itu, akan membuat mereka. Centang perenang, dan rampasan perang akan mereka kuasai. Lukisan surga adalah bagi mereka yang terbunuh di jalan agama. Di tempat itu akan terdapat segala yang menyenangkan hati dan mata, akan bertemu dengan kekasih yang juga sudah turut berperang dan mati syahid.

 

Mereka tidak mendengar di dalamnya petrkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, akan tetetapi mereka mendengar ucapan salam (Qur’an, 56: 25-26).

 

“Mudah-mudahan Tuhan memberikan kemenangan kepada kita, atau sebaliknya,  kita mati syahid,” kata Khaithama Abu Sa’d bin Khaithama. “Dalam perang Badar saya telah meleset. Saya sangat mendambakannya sekali, sehingga begitu besarnya kedambaan saya sampai saya bersama anak saya turut ambil bagian dalam pertempuran itu. Tetapi kiranya dia yang beruntung; ia telah gugur, mati syahid. Semalam saya bermimpi bertemu dengan anak saya, dan dia berkata: Susullah kami, kita bertemu dalam surga. Sudah saya terima apa yang dijanjikan Tuhan kepada saya. Ya Rasulullah, sungguh rindu saya akan menemuinya dalam surga. Saya sudah tua, tulang sudah rapuh. Saya ingin bertemu Tuhan.”

 

Setelah jelas sekali suara terbanyak ada pada pihak yang mau menyerang dan menghadapi musuh di luar kota, Rasulullah berkata kepada mereka: “Saya kuatir kamu akan kalah.” Tetetapi mereka ingin berangkat juga. Tak ada jalan lain ia pun menyerah kepada pendapat mereka. Cara musyawarah ini sudah menjadi undang-undang dalam kehidupannya. Dalam sesuatu masalah ia tidak mau bertindak sendiri, kecuali yang sudah diwahyukan Tuhan kepadanya.

 

Hari itu hari Jum’at. Nabi memimpin salat jamaah, dan kepada mereka diberitahukan, bahwa atas ketabahan hati mereka itu, mereka akan beroleh kemenangan. Lalu dimintanya mereka bersiap-siap menghadapi musuh.

 

Selesai sembahyang Ashar Rasulullah masuk ke dalam rumahnya diikuti oleh Abu Bakr dan Umar. Kedua orang ini memakaikan sorban dan baju besinya dan ia mengenakan pula pedangnya. Sementara ia tak ada di tempat itu orang di luar sedang ramai bertukar pikiran. Usaid bin Hudzair dan Sa’d bin Mu’adh – keduanya termasuk orang yang berpendapat mau bertahan dalam kota berkata kepada mereka yang berpendapat mau menyerang musuh di luar:

 

“Mu-mu mengetahui, Rasulullah berpendapat mau bertahan dalam kota, lalu mu-mu berpendapat lain lagi, dan memaksanya bertempur ke luar. Dia sendiri enggan berbuat demikian. Serahkan sajalah soal ini di tangannya. Apa yang diperintahkan kepadamu, jalankanlah. Apabila ada sesuatu yang disukainya atau ada pendapatnya, taatilah.”

Mendengar keterangan itu mereka yang menyerukan supaya menyerang saja, jadi lebih lunak. Mereka menganggap telah menentang Rasul mengenai sesuatu yang mungkin itu datang dari Tuhan. Setelah kemudian Nabi datang kembali ke tengah-tengah mereka, dengan memakai baju besi dan sudah pula mengenakan pedangnya, mereka yang tadinya menghendaki supaya mengadakan serangan berkata: “Ya, Rasulullah, bukan maksud kami hendak menentangmu. Lakukanlah apa yang engkasu kehendaki. Juga kami tidak bermaksud memaksamu. Soalnya pada Tuhan, kemudian pada mu.”

“Ke dalam pembicaraan yang semacam inilah saya ajak saudara- saudara tetapi saudara- saudara menolak,” kata Rasulullah. “Tidak layak bagi seorang nabi yang apabila sudah mengenakan pakaian besinya lalu akan menanggalkannya kembali, sebelum Tuhan memberikan putusan antara dirinya dengan musuhnya.

 

Perhatikanlah apa yang saya perintahkan kepada kamu sekalian, dan ikuti. Atas ketabahan hatimu, kemenangan akan berada di tanganmu.” Demikianlah prinsip musyawarah itu oleh Rasulullah sudah dijadikan undang-undang dalam kehidupannya. Apabila sesuatu masalah yang dibahas telah diterima dengan suara terbanyak, maka hal itu tak dapat dibatalkan oleh sesuatu keinginan atau karena ada maksud-maksud tertentu. Sebaliknya ia harus dilaksanakan, tetapi orang yang akan melaksanakannya harus pula dengan cara yang sebaik-baiknya dan diarahkan ke suatu sasaran yang yang akan mencapai sukses.

 

Nabi berangkat dari Madinah

Sekarang Rasulullah berangkat memimpin kaum Kaum muslimin menuju Uhud. Di Syaikhan ia berhenti. Dilihatnya di tempat itu ada sepasukan tentara yang identitasnya belum dikenal. Ketika ditanyakan, kemudian diperoleh keterangan, bahwa mereka itu orang-orang Yahudi sekutu Abdullah bin Ubayy. Lalu  kata Nabi ‘alaihi’ssalam: “Jangan minta pertolongan orang-orang musyrik dalam melawan orang musyrik, – sebelum mereka masuk Islam.”

 

Dalam pada itu orang-orang Yahudi itupun kembali ke Madinah. Lalu kata sekutu Ibn Ubayy itu: “Kau sudah menasehatinya dan sudah kauberikan pendapatmu berdasarkan pengalaman orang-orang tua dahulu. Sebenarnya dia sependapat dengan kau. Lalu dia menolak dan menuruti kehendak pemuda-pemuda yang menjadi pengikutnya.”

Percakapan mereka itu sangat menyenangkan hati Ibn Ubayy. Keesokan harinya ia berbalik menggabungkan diri dengan pasukan teman-temanya itu. Tinggal lagi Alabi dengan orang-orang yang benar-benar beriman, yang berjumlah 700 orang, akan berperang menghadapi 3000 orang terdiri dan orang-orang Quraish Mekah, yang kesemuanya sudah memikul dendam yang tak terpenuhi ketika di Badar. Semua mereka ingin menuntut balas.

 

Pagi-pagi sekali; kaum Kaum muslimin berangkat menuju Uhud. Lalu mereka memotong jalan sedemikian rupa sehingga pihak musuh itu berada di belakang mereka. Selanjutnya Rasulullah mengatur barisan para shahabat. Lima puluh orang barisan pemanah ditempatkan di lereng-lereng gunung, dan kepada mereka diperintahkan:

“Lindungi kami dari belakang, sebab kita kuatir mereka akan mendatangi kami dari belakang. Dan bertahanlah kamu di tempat itu, jangan ditinggalkan. Kalau kamu melihat kami dapat menghancurkan mereka sehingga kami memasuki pertahanan mereka, kamu jangan meninggalkan tempat kamu. Dan jika kamu lihat kami yang diserang jangan pula kami dibantu, juga jangan kami dipertahankan. Tetetapi tugasmu ialah menghujani kuda mereka dengan panah, sebab dengan serangan panah kuda itu takkan dapat maju.”

 

Selain pasukan pemanah, yang lain tidak diperbolehkan menyerang siapa pun, sebelum ia member perintah menyerang.

 

Adapun pihak Quraish mereka pun sudah menyusun barisan. Barisan kanan dipimpin oleh Khalid bin’l-Walid, sedangkan sayap kiri dipimpin oleh ‘Ikrima bin Abi Jahl. Bendera diserahkan kepada Abd’l ‘Uzza Talha bin Abi Talha. Wanita-wanita Quraish sambil memukul tambur dan genderang berjalan di tengahtengah barisan itu. Kadang mereka di depan barisan, kadang di belakangnya. Mereka dipimpin oleh Hindun binti’Utba, isteri Abu Sufyan, seraya bertenak-teriak:

Ayo, Banu Abd’d-Dar Hayo,

Ayo pengawal barisan belakang

Hantamlah dengan segala yang tajam.

Kamu maju kami peluk

Dan kami hamparkan kasur yang empuk

Atau kamu mundur kita berpisah

Berpisah tanpa cinta.

Berhadapan dengan lawan

 

Kedua belah pihak sudah siap bertempur. Masing-masing sudah mengerahkan pasukannya. Yang selalu teringat oleh Quraish ialah peristiwa Badar dan korban-korbannya. Yang selalu teringat oleh kaum Kaum muslimin ialah Tuhan serta pertolongan- Nya. Rasulullah berpidato dengan memberi semangat dalam menghadapi pertempuran itu. Ia menjanjikan pasukannya akan mendapat kemenangan apabila mereka tabah. Sebilah pedang dipegangnya sambil ia berkata:

“Siapa yang akan memegang pedang ini guna disesuaikan dengan tugasnya?”

Beberapa orang tampil. Tetapi pedang itu tidak pula diberikan kepada mereka. Kemudian Abu Dujana  dari Banu Sa’ida tampil seraya berkata: “Apa tugasnya, Rasulullah?”

“Tugasnya ialah menghantamkan pedang kepada musuh sampai ia bengkok,” jawabnya.

Abu Dujana seorang laki-laki yang sangat berani. Ia mengenakan pita merah. Apabila pita merah itu sudah diikatkan orang pun mengetahui, bahwa ia sudah siap bertempur dan waktu itu pun ia sudah mengeluarkan pita mautnya itu.

Pedang diambilnya, pita dikeluarkan lalu diikatkannya di kepala. Kemudian ia berlagak di tengah-tengah dua barisan itu seperti biasanya apabila ia sudah siap menghadapi pertempuran.

Cara berjalan begini sangat dibenci Allah, kecuali dalam bidang ini,” kata Rasulullah setelah dilihatnya orang itu berlagak.

 

Orang pertama yang mencetuskan perang di antara dua pihak itu adalah Abu ‘Amir ‘Abd ‘Amr bin Shaifi al-Ausi (dari Aus). Orang ini sengaja pindah dari Madinah ke Mekah hendak membakar semangat Quraish supaya memerangi Rasulullah. Ia belum pernah ikut dalam perang Badar. Sekarang ia menerjunkan diri dalam perang Uhud dengan membawa lima belas orang dari golongan Aus. Ada juga budak-budak dari penduduk Mekah yang juga dibawanya. Menurut dugaannya, apabila nanti ia memanggil-manggil orang-orang Islam dari golongan Aus yang ikut berjuang di pihak Rasulullah, niscaya mereka akan memenuhi panggilannya, akan berpihak kepadanya dan membantu Quraish.

 

“Saudara-saudara dari Aus! Saya adalah Abu ‘Amir!” teriaknya memanggil-manggil.

Tetetapi Kaum muslimin dari kalangan Aus itu membalas: “Tuhan takkan memberikan kesenangan kepadamu, durhaka!”

 

Perang pun lalu pecah. Budak-budak Quraish serta ‘Ikrima bin Abi Jahl yang berada di sayap kiri, berusaha hendak menyerang Kaum muslimin dari samping, tetapi pihak Kaum muslimin menghujani mereka dengan batu sehingga Abu ‘Amir dan pengikut-pengikutnya lari tunggang-langgang. Ketika itu juga Hamzah bin Abd’l-Muttalib berteriak, membawa teriakan perang Uhud: “Mati, mati!” Lalu ia terjun ketengah-tengah tentara Quraish itu. Ketika itu Talha bin Abi Talha, yang membawa bendera tentara Mekah berteriak pula:

“Siapa yang akan duel?”Lalu Ali bin Abi Talib tampil menghadapinya. Dua orang dari dua barisan itu bertemu. Cepat-cepat Ali memberikan satu pukulan, yang membuat kepala lawannya itu belah dua. Nabi merasa lega dengan itu. Seketika itu juga kaum kaum muslimin bertakbir dan melancarkan serangannya. Dengan pedang Nabi di tangan

dan mengikatkan pita maut di kepala, Abu Dujana pun terjun ke depan. Dibunuhnya setiap orang yang dijumpainya. Barisan orang-orang musyrik jadi kacau-balau. Kemudian ia melihat seseorang sedang mencencang-cencang sesosok tubuh manusia dengan keras sekali. Diangkatnya pedangnya dan diayunkannya kepada orang itu. Tetetapi ternyata orang itu adalah Hindun binti’Utba. Ia mundur. Terlalu mulia rasanya pedang Rasul akan dipukulkan kepada seorang wanita.

Dengan keras sekali pihak Quraish pun menyerbu pula ke tengah-tengah pertempuran itu.

Darahnya sudah mendidih ingin menuntut balas atas pemimpin-pemimpin dan pemuka-pemuka mereka yang sudah tewas setahun yang lalu di Badar. Dua kekuatan yang tidak seimbang itu, baik jumlah orang maupun perlengkapan, sekarang berhadap-hadapan. Kekuatan dengan jumlah yang besar ini motifnya adalah balas-dendam, yang sejak perang Badar tidak pernah reda. Sedang jumlah yang lebih kecil motifnya adalah: pertama, mempertahankan akidah, mempertahankan iman dan agama Allah; kedua, mempertahankan tanah air dan segala kepentingannya.

 

Mereka yang menuntut bela itu terdiri dari orang-orang yang lebih kuat dan jumlah pasukan yang lebih besar. Di belakang mereka itu kaum wanita turut pula mengobarkan semangat. Tidak sedikit di antara mereka yang membawa budak-budak itu menjanjikan akan memberikan hadiah yang besar apabila mereka dapat membalaskan dendam atas kematian seorang bapak, saudara, suami atau orang-orang yang dicintai lainnya, yang telah terbunuh di Badar.

 

 Hamzah bin Abd’l-Muttalib adalah seorang pahlawan Arab terbesar dan paling berani. Ketika terjadi perang Badar Hmzah berhasil menewaskan banyak tentara kafir Quraish, di antaranya, ayah dan saudara Hindun, juga kerabat lainnya dari Hindun. Seperti juga dalam perang Badar, dalam perang Uhud ini pun Hamzah adalah singa dan pedang Tuhan yang tajam. Ditewaskannya Arta bin ‘Abd Syurahbil, Siba’ bin ‘Abd’l-‘Uzza al-Ghubsyani, dan setiap musuh yang dijumpainya nyawa mereka tidak luput dari renggutan pedangnya.

 

Sementara itu Hindun binti’Utba telah pula menjanjikan Wahsyi, seorang budak berasal darai Abisinia  akan diberikan hadiah besar apabila ia berhasil membunuh Hamzah. Begitu juga Jubair bin Mut’im sendiri, yang pamannya telah terbunuh di Badar, mengatakan kepadanya: “Kalau Hamzah paman Rasulullah itu kau bunuh, maka engkau kumerdekakan.” Wahsyi sendiri dalam hal ini bercerita sebagai berikut: “Kemudian aku berangkat bersama rombongan. Aku adalah orang Abisinia yang apabila sudah melemparkan tombak cara Abisinia, jarang sekali meleset. Ketika terjadi pertempuran, kucari Hamzah dan kuincar dia.

Kemudian kulihat dia di tengah-tengah orang banyak itu seperti seekor unta kelabu sedang membabati orang dengan pedangnya. Lalu tombak kuayunkan-ayunkan, dan sesudah pasti sekali kulemparkan. Ia tepat mengenai sasaran di bawah perutnya, dan keluar dari antara dua kakinya. Kubiarkan tombak itu begitu sampai dia mati. Sesudah itu kuhampiri dia dan kuambil tombakku itu, lalu aku kembali ke markas dan aku diam di sana, sebab sudah tak ada tugas lain selain itu. Kubunuh dia hanya supaya aku dimerdekakan saja dari  perbudakan. Dan sesudah aku pulang ke Makkah, ternyata aku dimerdekakan.”

 

Adapun mereka yang berjuang mempertahankan tanah-air, contohnya terdapat pada Quzman, salah seorang munafik, yang hanya pura-pura Islam. Ketika kaum Kaum muslimin berangkat ke Uhud ia tinggal di belakang. Keesokan harinya, ia mendapat hinaan dari wanita-wanita Banu Zafar. “Quzman,” kata wanita-wanita itu, “Tidak malu engkau dengan sikapmu itu. Seperti perempuan saja kau. Orang semua berangkat kau tinggal dalam rumah.”

Dengan sikap berang Quzman pulang ke rumahnya. Dikeluarkannya kudanya, tabung panah dan pedangnya. Ia dikenal sebagai seorang pemberani. Ia berangkat dengan memacu kudanya sampai ke tempat tentara. Sementara itu Nabi sedang menyusun barisan Kaum muslimin. Ia terus menyeruak sampai ke barisan terdepan. Dia adalah orang pertama dari pihak kaum muslimin yang menerjunkan diri, dengan melepaskan panah demi panah, seperti tombak layaknya.

 

Hari sudah menjelang senja. Tampaknya ia lebih suka mati daripada lari. Ia sendiri lalu membunuh diri sesudah sempat membunuh tujuh orang Quraish di Suway’a – selain mereka yang telah dibunuhnya pada permulaan pertempuran. Tatkala ia sedang sekarat itu, Abu’l-Khaidaq lewat di tempat itu. “Quzman, beruntung kau akan mati syahid,” katanya.

“Abu ‘Amr,” kata Quzman. “Sungguh saya bertempur bukan atas dasar agama. Saya bertempur hanya sekadar menjaga jangan sampai Quraish memasuki tempat kami dan melanda kehormatan kami, menginjak-injak kebun kami. Saya berperang hanya untuk menjaga nama keturunan masyarakat kami. Kalau tidak karena itu saya tidak akan berperang.”

 

Sebaliknya mereka yang benar-benar beriman, jumlahnya tidak lebih dari 700 orang. Mereka bertempur melawan 3000 orang. Kita sudah melihat, tindakan Hamzah dan Abu Dujana yang telah memperlihatkan suatu teladan dalam arti kekuatan moril yang tinggi pada mereka itu. Suatu kekuatan yang telah membuat barisan Quraish jadi lemas seperti rotan, membuat orang-orang perkasa Quraish, yang tadinya di kalangan Arab keberaniannya dijadikan contoh dalam keberanian, telah mundur dan surut. Setiap panji mereka lepas dari tangan seseorang, panji itu diterima oleh yang lain di belakangnya. Setelah Talha bin Abi Talha tewas di tangan Ali datang ‘Uthman bin Abi Talha menyambut bendera itu, yang juga

kemudian menemui ajalnya di tangan Hamzah. Seterusnya bendera itu dibawa oleh Abu Sa’d bin Abi Talha sambil berkata: “Kamu mendakwakan bahwa koban-korban kamu dalam surga dan korban-korban kami dalam neraka! Kamu bohong! Kalau kamu benar-benar orang beriman majulah siapa saja yang mau melawanku”: Entah Ali atau Sa’d bin Abi Waqqash ketika itu menghantamkan pedangnya dengan sekali pukul hingga kepala orang itu terbelah.

Berturut-turut pembawa bendera itu muncul dari Banu Abd’d Dar. Jumlah mereka yang tewas telah mencapai sembilan orang, yang terakhir ialah Shu’ab orang Abisinia, budak Banu Abd’d-Dar. Tangan kanan orang itu telah dihantam oleh Quzman, maka bendera itu dibawanya dengan tangan kiri. Tangan kiri ini pun oleh Quzman dihantam lagi dengan pedangnya. Sekarang bendera itu oleh Shu’ab dipeluknya dengan lengan ke dadanya, kemudian ia membungkuk sambil berkata: Hai Banu Abd’d-Dar, sudahkah kau maafkan? Lalu ia ditewaskan entah oleh Quzman atau oleh Sa’d bin Abi Waqqash, sumbernya masih berbeda-beda. Setelah mereka yang membawa bendera itu tewas semua, pasukan orang-orang musyrik itu hancur. Mereka sudah tidak tahu lagi bahwa mereka dikerumuni oleh wanita-wanita, bahwa berhala yang mereka mintai restunya telah terjatuh dari atas unta dan pelangking yang membawanya.

 

Kemenangan kaum muslimin dalam perang Uhud pada pagi hari itu sebenarnya adalah suatu mujizat. Adakalanya orang menafsirkan, bahwa kemenangan itu disebabkan oleh kemahiran Rasulullah mengatur barisan pemanah di lereng bukit, merintangi pasukan berkuda dengan anak panah sehingga mereka tidak dapat maju, juga tidak dapat menyergap kaum muslimin dari belakang. Ini memang benar. Tetetapi juga tidak salah, bahwa 600 orang kaum muslimin yang menyerbu musuh yang jumlahnya sebanyak lima kali lipat dari pasukan muslim itu pun, dengan perlengkapan yang juga demikian, motifnya adalah iman, iman yang sungguh-sungguh, bahwa mereka dalam kebenaran. Barangsiapa yang telah beriman kepada kebenaran, ia takkan goncang oleh kekuatan materi, betapapun besarnya. Semua

kekuatan batil yang digabungkan sekalipun, takkan dapat menggoyahkan kebulatan tekad itu. Kekuatan terbesar, ialah kekuatan konsepsi, kekuatan akidah, kekuatan iman yang sungguh-sungguh akan adanya Kebenaran Tertinggi. Kekuatan inilah yang takkan dapat ditaklukkan selama orang masih teguh berpegang kepada kebenaran itu.

Karena itulah, 3000 orang pasukan berkuda Quraish jadi hancur menghadapi serangan 600 orang kaum muslimin. Dan hampir-hampir pula wanita-wanita mereka pun akan menjadi tawanan perang yang hina dina.

 

Kaum muslimin kini mengejar musuh itu sampai mereka meletakkan senjata dimana saja asal jauh dari bekas markas mereka. Kaum muslimin sekarang mulai memperebutkan rampasan perang. Alangkah banyaknya jumlah rampasan perang itu! Hal ini membuat mereka lupa mengikuti terus jejak musuh, karena sudah mengharapkan kekayaan duniawi. Mereka ini ternyata dilihat oleh pasukan pemanah yang oleh Rasulullah diminta jangan meninggalkan tempat di gunung itu, sekalipun mereka melihat kawan-kawannya diserang. Demi melihat rampasan perang itu, kepada satu sama lain mereka berkata: “Kenapa kita masih tinggal disini juga dengan tidak ada apa-apa. Tuhan telah menghancurkan musuh kita. Mereka, saudara-saudara kita itu, sudah merebut markas musuh. Ke sanalah juga kita, ikut mengambil rampasan itu.” Yang seorang lagi tentu menjawab: “Bukankah Rasulullah sudah berpesan jangan meninggalkan tempat kita ini? Sekalipun kami diserang janganlah kami dibantu.” Yang pertama berkata lagi: “Rasulullah tidak menghendaki kita tinggal di sini terus-menerus, setelah Tuhan menghancurkan kaum musyrik itu.” Lalu mereka berselisih. Ketika itu juga tampil Abdullah bin Jubair berpidato agar jangan mereka itu melanggar perintah Rasul. Tetetapi mereka sebagian besar tidak patuh. Mereka berangkat juga. Yang masih tinggal hanya beberapa orang saja, tidak sampai sepuluh orang. Seperti kesibukan Kaum muslimin yang lain, mereka yang ikut bergegas itu pun sibuk pula dengan harta rampasan. Pada waktu itulah Khalid bin’l-Walid mengambil kesempatan. Sebagai komandan kavaleri Makkah – pasukannya dikerahkan ke tempat pasukan pemanah, dan mereka inipun berhasil dikeluarkan dari sana. Tindakan ini tidak disadari oleh pihak kaum muslimin. Mereka sangat sibuk untuk memperhatikan soal itu atau soal apapun, karena sedang menghadapi harta rampasan perang yang mereka keduk habis-habisan itu, sehingga tiada seorang pun yang membiarkan apa saja yang dapat mereka ambil. Sementara mereka

sedang dalam keadaan serupa itu, tiba-tiba Khalid bin’l-Walid berseru sekuat-kuatnya, dan sekaligus pihak Quraishpun mengerti, bahwa ia telah dapat membalikkan anak buahnya ke belakang tentara Kaum muslimin. Mereka yang tadinya sudah terpukul mundur sekarang kembali lagi maju dan mendera kaum muslimin dengan pukulan maut yang hebat sekali. Di sinilah giliran bencana itu berbalik. Setiap muslim telah melemparkan kembali hasil renggutan yang sudah ada di tangan itu, dan kembali pula mereka mencabut pedang hendak bertempur lagi. Tetetapi sayang, sayang sekali! Barisan sudah centang-perenang, pahlawan-pahlawan teladan dari kalangan kaum muslimin telah dihantam oleh pihak Quraish. Mereka yang tadinya berjuang dengan perintah Tuhan hendak mempertahankan iman, sekarang berjuang hendak menyelamatkan diri dari cengkaman maut, dari lembah kehinaan. Mereka yang tadinya berjuang dengan bersatu-padu, sekarang mereka berjuang dengan bercerai-berai. Tak tahu lagi haluan hendak ke mana. Tadinya mereka berjuang di bawah satu pimpinan yang kuat dan teguh, sekarang berjuang tanpa pimpinan lagi.

 

Dalam pada itu terdengar pula ada suara orang berteriak-teriak, bahwa Rasulullah sudah terbunuh. Keadaan makin panik, makin kacau-balau. Kaum Kaum muslimin jadi berselisih, jadi saling bunuh-membunuh, satu sama lain saling hantam-menghantam, dengan tiada mereka sadari lagi karena mereka sudah tergopoh-gopoh, sudah kebingungan. Kaum muslimin telah membunuh sesama Muslim, Husail bin Jabir membunuh Abu Hudhaifa karena sudah tidak diketahuinya lagi. Yang paling penting bagi setiap muslim ialah menyelamatkan diri; kecuali mereka yang telah mendapat perlindungan Tuhan, seperti Ali

bin Abi Talib misalnya. Akan tetetapi begitu Quraish mendengar Rasulullah telah terbunuh, seperti banjir mereka terjun mengalir ke jurusan tempat dia tadinya berada. Masing-masing ingin supaya dialah yang membunuhnya atau ikut memegang peranan di dalamnya, suatu hal yang akan dibanggakan oleh generasi kemudian. Ketika itulah kaum muslimin yang dekat sekali dengan Nabi bertindak mengelilinginya, menjaga dan melindunginya. Iman mereka telah tergugah kembali memenuhi jiwa, mereka kembali mendambakan mati, dan hidup duniawi ini dirasanya sudah tak ada arti lagi. Iman mereka makin besar, keberanian

mereka makin bertambah bilamana mereka melihat batu yang dilemparkan Quraish itu telah mengenai diri Nabi. Gigi gerahamnya terkena lemparan batu itu, wajahnya pecah-pecah dan bibirnya luka-luka. Dua keping lingkaran rantai topi besi yang menutupi wajahnya, telah menusuk pula menembusi pipinya. Batu-batu yang menimpanya itu dilemparkan oleh ‘Utba bin Abi Waqqash. Sekarang Rasul dapat menguasai diri. Ia berjalan sambil dikelilingi oleh shahabat-shahabat. Tetapi tiba-tiba ia terperosok ke dalam sebuah lubang yang sengaja digali oleh Abu ‘Amir guna menjerumuskan kaum muslimin. Cepat-cepat Ali bin Abi Talib menghampirinya, dipegangnya tangannya, dan Talha bin ‘Ubaidillah mengangkatnya hingga ia berdiri kembali. Ia meneruskan perjalanan dengan shahabat-shahabatnya itu, terus mendaki Gunung Uhud, dan dengan demikian dapat menyelamatkan diri dari kejaran musuh. Pada waktu itu juga Kaum muslimin berkumpul di sekitar mereka. Dalam membela Rasul dan menjaga keselamatannya, mereka bersedia mati.

 

Hari itu menjelang tengah hari, Umm ‘Umara seorang wanita Anshar, berangkat pula membawa air berkeliling dengan membagi-bagikan air itu kepada kaum muslimin yang sedang berjuang itu. Setelah melihat kaum muslimin terpukul mundur, dilemparkannya tempat air itu dan dengan menghunus pedang wanita itu terjun pula ikut bertempur, ikut melindungi Rasulullah dengan pedang dan dengan melepaskan anak panah, sehingga karenanya dia sendiri mengalami luka-luka.

 

Sementara Abu Dujana membuat dirinya sebagai perisai melindungi Rasulullah, dengan

membungkukkan punggungnya, sehingga lemparan anak panah musuh mengenai dirinya. Sedangkan di samping Rasulullah Sa’d bin Abi Waqqash melepaskan pula panahnya dan Rasulullah memberikan anak panah itu seraya berkata: “Lepaskan (anak panah itu). kupertaruhkan ibu-bapaku untukmu.” Sebelum itu Rasulullah melepaskan sendiri anak panahnya, sampai-sampai ujung busurnya itu patah. Adapun mereka yang mengira Rasulullah telah tewas termasuk di antara mereka itu Abu Bakr dan Umar pergi ke arah gunung dan mereka ini sudah pasrah. Hal ini diketahui oleh Anas bin’n-Nadzr yang lalu berkata kepada mereka: “Kenapa kamu duduk-duduk di sini?”

“Rasulullah sudah terbunuh,” jawab mereka. “Perlu apa lagi kita hidup sesudah itu? Bangunlah! Dan biarlah kita juga mati untuk tujuan yang sama.” Kemudian ia maju menghadapi musuh. Ia bertempur mati-matian, bertempur tiada taranya. Akhirnya ia

menemui ajalnya setelah mengalami tujuh puluh pukulan musuh, sehingga ketika itu orang tidak dapat lagi mengenalnya, kalau tidak karena saudara perempuannya yang datang dan dapat mengenal dia dari ujung jarinya.

 

Karena sudah percaya sekali akan kematian Rasulullah, bukan main girangnya pihak Quraish waktu itu, Abu Sufyanpun sibuk pula mencarinya di tengah-tengah para korban. Hal ini didukung oleh para pengawal keselamatan Rasulullah yang  tidak membantah berita kematiannya itu, sebab memang diperintahkan demikian oleh Rasul, dengan maksud supaya pihak Quraish jangan sampai memperbanyak lagi jumlah pasukannya yang berarti akan memberikan kemenangan kepada mereka. Akan tetetapi tatkala Ka’b bin Malik datang mendekati Abu Dujana dan anak buahnya, ia segera mengenal Rasulullah waktu dilihatnya sinar mata Rasul yang berkilau dari balik topi besi penutup mukanya itu. Ka’b bin Malik memanggil-manggil dengan suara yang sekeras-kerasnya: “Saudara-saudara kaum Kaum muslimin! Selamat, selamat! Ini Rasulullah!” Ketika itu Nabi memberi isyarat kepadanya supaya diam. Tetetapi begitu Kaum muslimin mengetahui hal itu, Nabi segera mereka angkat dan berjalan pula bersama mereka ke arah celah bukit didampingi oleh Abu Bakr, Umar, Ali bin Abi Talib, Zubair bin’l-‘Awwam dan yang lain.

 

Teriakan Ka’b itu pada pihak Quraish juga ada pengaruhnya. Memang benar, bahwa sebahagian besar mereka tidak mempercayai teriakan itu, sebab menurut anggapan mereka itu hanya untuk memperkuat semangat kaum muslimin saja. Tetetapi dari mereka itu ada juga yang lalu segera pergi mengikuti Rasulullah dan rombongannya itu dari belakang. Ubayy bin Khalaf kemudian dapat menyusul mereka, dan lalu bertanya: “Mana Rasulullah?” Aku tidak akan selamat kalau dia yang masih selamat,” katanya. Waktu itu juga oleh Rasul ia ditetaknya dengan tombak Harith bin’sh-Shimma demikian rupa, sehingga ia terhuyung-huyung di atas kudanya dan kembali pulang kemudian mati di tengah jalan.

 

 Sesampainya kaum muslimin di ujung bukit itu, Ali pergi lagi mengisi air ke dalam perisai kulitnya. Darah yang  ada pada wajah Rasulullah dibasuhnya; disirami kepala Rasulullah dengan air. Dua keping pecahan rantai besi penutup muka yangmenembus wajah Rasul itu oleh Abu ‘Ubaida bin’l-Jarrah dicabut sampai dua buah gigi serinya tanggal.

 

Hadis riwayat Sahal bin Sa`ad ra.:
Bahwa dia ditanya tentang luka Rasulullah saw. dalam perang Uhud, Sahal menjawab: Wajah Rasulullah saw. terluka, gigi seri beliau patah serta topi perang beliau juga hancur. Fatimah putri Rasulullah saw. lalu membersihkan darah beliau sementara Ali bin Abu Thalib menuangkan air ke atas luka dengan menggunakan perisai. Ketika Fatimah melihat ternyata air hanya menambah pendarahan, ia lalu mengambil sepotong tikar dan membakarnya hingga menjadi abu. Kemudian Fatimah menempelkan abu tersebut pada luka beliau hingga berhentilah aliran darah itu 

 

Selama mereka dalam keadaan itu tiba-tiba Khalid bin’l-Walid dengan pasukan berkudanya sudah berada di atas bukit. Tetetapi Umar bin’l-Khattab dengan beberapa orang shahabat Rasul segera menyerang dan berhasil mengusir mereka. Sementara itu orang-orang Islam sudah makin tinggi mendaki gunung. Tetetapi keadaan mereka sudah begitu payah, begitu letih tampaknya, sampai-sampai Nabi melakukan salat dhuhur sambil duduk – juga karena luka-luka yang dideritanya, – demikian juga kaum muslimin yang lain melakukan salat makmum di belakangnya, sambil duduk pula. Sebaliknya pihak Quraish dengan kemenangannya itu mereka girang sekali. Terhadap peristiwa perang Badar mereka merasa sudah sungguh-sungguh dapat membalas dendam. Seperti kata Abu Sufyan: “Yang sekarang ini untuk peristiwa perang Badar. Sampai jumpa lagi tahun depan!” Tetetapi isterinya, Hindun binti ‘Utba tidak cukup hanya dengan kemenangan, dan tidak cukup hanya dengan tewasnya Hamzah bin Abd’l-Muttalib, malah bersama-sama dengan wanita-wanita lain dalam rombongannya itu ia pergi lagi hendak menganiaya mayat-mayat kaum muslimin; mereka memotongi telinga-telinga dan hidung-hidung mayat itu, yang oleh Hindun lalu dipakainya sebagai kalung dan anting-anting. Kemudian diteruskannya lagi, dibedahnya perut Hamzah, dikeluarkannya jantungnya, lalu dikunyahnya dengan giginya; tetapi ia tak dapat menelannya. Begitu kejinya perbuatannya itu, begitu juga perbuatan wanita-wanita anggota rombongannya, bahkan kaum prianya pun turut pula melakukan kejahatan serupa itu, sehingga Abu Sufyan sendiri menyatakan lepas tangan dari perbuatan itu. Ia menyatakan, bahwa dia sama sekali tidak memerintahkan orang berbuat serupa itu, sekalipun dia sudah

terlibat di dalamnya. Bahkan ia pernah berkata, yang ditujukan kepada salah seorang Islam. “Mayat-mayatmu telah mengalami penganiayaan. Tetapi aku sungguh tidak senang, juga tidak benci; aku tidak melarang, juga tidak memerintahkan.”

 

Selesai menguburkan mayat-mayat dari pihak mereka,. kaum musyrik Quraish pun pergi. Sekarang kaum Kaum muslimin kembali ke garis depan guna menguburkan mayat-mayat nya pula. Kemudian Rasulullah pergi hendak mencari Hamzah, pamannya. Ketika ia melihat jenazah Hamzah sudah dianiaya dan perutnya sudah dibedah, ia merasa sangat sedih sekali, sehingga ia berkata: “Takkan pernah ada orang mengalami malapetaka seperti kau ini. Belum pernah aku menyaksikan suatu peristiwa yang begitu menimbulkan amarahku seperti kejadian ini.” Lalu katanya lagi: “Demi Allah, kalau pada suatu ketika Tuhan memberikan kemenangan kepada kami melawan mereka, niscaya akan kuaniaya mereka dengan cara yang belum pernah dilakukan oleh orang Arab”  

 

Dalam kejadian inilah firman Tuhan turun:

 

Dan kalau kamu mengadakan pembalasan, balaslah seperti yang mereka lakukan terhadap kamu. Tetetapi kalau kamu tabah hati, itulah yang paling baik bagi mereka yang berhati tabah (sabar). Dan hendaklah kau tabahkan hatimu, dan ketabahan hatimu itu hanyalah dengan berpegang kepada Tuhan. Jangan pula engkau bersedih hati terhadap mereka, jangan engkau bersesak dada menghadapi apa yang mereka rencanakan itu.” (Qur’an, 16: 126 – 127)

 

Lalu Rasulullah memaafkan mereka, ditabahkannya hatinya dan ia melarang orang melakukan penganiayaan. Diselubunginya jenazah Hamzah itu dengan mantelnya lalu disembahyangkannya. Ketika itu Safia bt Abd’l-Muttailb – saudara perempuannya – juga datang. Ditatapnya saudaranya itu, lalu ia pun menyembahyangkannya dan mendoakan pengampunan baginya  Nabi memerintahkan supaya korban-korban itu dikuburkan di tempat mereka menemui ajalnya dan Hamzah juga dikuburkan.

Setelah melayangkan pandang, tatatapan sayu ke arah medan serta para syuhada yang tergeletak di atasnya, Rasulullah berseru: “Sungguh, Rasulullah akan menjadi saksi nanti di hari kiamat, bahwa kamu semua adalah syuhada di sisi Allah.”  Kemudian sambil berpaling ke arah shahabat yang masih hidup, sabdanya:

Hai manusia, berziarahlah dan berkunjunglah kepada mereka, serta ucaphanlah salam Demi Allah yang menguasai nyawaku, tak seorang muslim pun sampai hari kiamat yang memberi salam kepada mereka, pasti mereka akan membalasnya.

 

Catatan kaki:

2 Ahabisy ialah suatu gabungan kabilah-kabilah dan suku-suku kecil, dengan al-Harith bin ‘Abd Manaf

bin Kinana sebagai pemukanya. Hubungan mereka dekat sekali dengan Quraish (A).

3 Juhfa sebuah tempat sepanjang jalan Madinah-Mekah, tiga atau empat hari perjaianan dari Mekah;

juga merupakan tempat pertemuan orang-orang Mesir dan Syam.

4 Sebuah kabilah dari Ta’if (A)

5 Syaikhan nama sebuah tempat; pada masa Jahiliah konon di tempat itu terdapat dua buah kubu untuk

dua orang tua yang buta, pria dan wanita, yang sedang bercakap-cakap. Maka tempat itu dinamai asy-

Syaikhan (harfiah berarti dua orang tua).

6 Namanya Nasiba, isteri Zaid bin ‘Ashim (A). 7 Diucapkan sebagai tanda cinta dan mendoakan

kebaikan kepadanya (A). 8 Sebuah tempat sejauh 8 mil dari Madinah.         Dari: tutorial.smkn6dki.or.id/

 

 

 
  

 
 

 

 

  

 

Perintah nNabi SAW kepada pasukannya pada waktu perang:

  • Jangan menganiaya pihak musuh yang tak berdaya atau sakit
  • Jangan merusak rumah penduduk yang tak mampu melakukan perlawanan
  • Jangan menghancurkan sumber-sumber penghidupan dan pohon buah-buahan mereka.
  • Jangan merusak pohon kurma

 

 

Masjid Qiblatain (Lihat munawar khalil, haekal, almustafa, dll.) 

Rombongan melanjutkan perjalanan, ziarah ke sebuah masjid bersejarah dalam penentuan arah kiblat. Masjid ini terletak sekitar 4 kilometer arah baratlaut Madinah.  Apa yang istimewa dari masjid ini? Banyak. Paling tidak, inilah satu-satunya masjid, yang padanya Nabi SAW pernah melakukan shalat dengan menghadap ke 2 kiblat dalam sekali shalat. Itulah Masjid Qiblatain, masjid dua kiblat. Masjid ini mempunyai dua menara putih?, menjulang ke langit tinggi. Di masjid inilah, untuk pertamakalinya, shalat menghadap Kakbah. Sebelumnya, baik di masjid Nabawi maupun di masjid Quba, shalat dilakukan dengan menghadap Masjidilaksa di Palestina.

 

Mengapa kiblatnya ada dua? Mengapa mesti berubah dari menghadap ke Masjidilaksa di Palestina menjadi menghadap ke Kakbah di Makkah? Sejak kapan berubahnya?

 

Ummi Basyar, seorang shahabat yang tinggal di Kampung Bani Salamah, tertimpa musibah: anaknya meninggal dunia. Kehilangan seorang yang kita cintai, apalagi kehilangan anak yang lahir dari rahim sendiri, diasuh dan dibesarkan sendiri, bagi siapa pun, pasti akan sedih tak tertandingi. Rasulullah beserta para shahabat lainnya datang melayat untuk bertakziah, menghibur dan menyampaikan belasungkawa. Kedatangan Rasulullah ini, tak ayal lagi membuat tuan rumah sangat gembira. Karena gembiranya itu, Ummi Basyar menjamu Nabi SAW dengan menyembelih seekor kambing dan meminta Nabi SAW berkenan makan siang di sana.

 

Datanglah waktu salat zuhur, Rasululllah dan para shahabat salat berjamaah, dengan menghadap kiblat ke Masjidilaksa. Ketika salat memasuki rakaat kedua, turunlah firman Allah yang memerintahkan agar salat menghadap Kakbah. Rasulullah- diikuti para shahabat yang menjadi makmum, seketika, memutarkan tubuhnya menghadap Kakbah! Untuk menjaga agar posisi tetap di belakang imam, para shahabat, melakukan gerakan berjalan.

 

Barangkali karena nilai sejarah tempat salat ini, yakni rumah Ummi Basyar, para shahabat berniat membelinya untuk dijadikan masjid. Sang pemilik, malah mewakafkannya. Dibangunlah masjid ditempat tersebut. Masjid ini diberi nama, sesuai dengan peristiwa sejarah yang terjadi di sini: Masjid Qiblatain. Masjid dua kiblat.

 

Pada bagian dalam masjid, di bagian belakang, berlawanan arah dari arah kiblat yang sekarang, dapat Anda lihat tulisan kaligrafi dari ayat yang turun ketika itu, yakni surat Albaqarah ayat 144

 

 

ô‰s% 3“ttR |==s)s? y7Îgô_ur ’Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ( y7¨YuŠÏj9uqãYn=sù \’s#ö7Ï% $yg9|Êös? 4 ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ωÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ß]øŠymur $tB óOçFZä. (#q—9uqsù öNä3ydqã_ãr ¼çntôÜx© 3 ¨bÎ)ur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# tbqßJn=÷èu‹s9 çm¯Rr& ‘,ysø9$# `ÏB öNÎgÎn/§‘ 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ètƒ ÇÊÍÍÈ  

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit. Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidilharam itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.

 

Pesan Singkat dari Depan Kakbah

Seorang kawan dari Makkah mengirim pesan singkat lewat telepon genggamnya : ”Kang, saya sedang di depan Kakbah. Ada seorang Indonesia (dia sebut nama tempat dari mana orang Indonesia dimaksud berasal) baca Yasin keras-keras, sehingga banyak orang terganggu. Saya tegur dia. Apakah Saya berdosa?” Ketika jawaban hendak saya kirim, sms kedua datang : ”Saya merasa dilema. Di satu sisi, dia sedang baca ayat suci; di sisi lain ada orang lain terganggu ….dst.” Saya kemudian kirim jawaban, agak panjang, antara lain : ”Yang menegurnya (dengan baik-baik), insya Allah, mendapat pahala. Dalam Ilmu Fiqih, ibadah secara garis besar dibagi dua : ibadah mahdhoh dan ibadah ghoir mahdhoh. Ibadah mahdhoh lebih populer disebut sebagai ibadah, dan ibadah ghoir mahdhoh lebih dikenal sebagai muamalah. Jadi, ada ibadah, ada muamalah. Padahal keduanya, sama-sama ibadah. Ibadah mahdhoh lebih bersifat vertikal atau biasa disebut sebagai habblum_minallah, sedangkan ibadah ghoir mahdhoh lebih mengarah ke horizontal dikenal sebagai habblum_minannas. Apabila keduanya datang pada saat bersamaan, Allah lebih suka kalau kita mendahulukan yang horizontal.”                                                                                                               

 

 

Do’a Yang Membawa Kemudahan

Seluruh kegiatan haji tak pernah lepas dari do’a dan do’a. Mengapa demikian? Ya, selama ini kita berdo’a, baik pada waktu sebelum, ketika , dan setelah salat maupun do’a-do’a yang dipanjatkan pada waktu yang lain, tentu saja, kita ingin Allah mengabulkan segala permintaan kita. Karenanya, kita tempuh pelbagai cara untuk diijabahnya ibadah atau do’a kita itu.

 

Ada beberapa fasilitas yang Alah berikan kepada kita agar do’a yang kita sampaikan lebih mudah sampai ke tujuan dan kemudian mendapatkan jawaban. Pada dasarnya, semua do’a dikabulkan. Tiada do’a yang tidak dijawab Allah SWT. Soal cepat tidaknya do’a terjawab, hanylah masalah waktu saja. Allah akn kabulkan do’a setiap orang, pada waktu yang terbaik, menurut Allah. Sekali lagi, menurut Allah. Bukan menurut kita! Kalau pun ternyata, do’a yang telah kita kirim, sejak lama, terasa belum mendapat jawaban, boleh jadi masih diproses atau diberikan kelak, di sana. Kalaupun ada do’a yang ditolak, mungin ada “prosedur” yang tak diikuti.

 

 Kita dianjurkan untuk memper banyak membaca selawat atas Nabi SAW, karena selawat adalah ibarat jembatan yang menghubungkan suatu tempat dengan tempat lain si sebrang sana. Hati kita, tempat keluarnya itu do’a di satu tempat, dan Allah di tempat yang lain. Tanpa selawat, tanpa jembatan, akan sulit itu do’a bisa menyebrang, sampai tujuan. Orang-orang yang bergelut di dunia Eksplorasi migas, boleh memposisikan selawat sebagai migration pathway untuk berlalunya hidrokarbon dari source rock di kithchen area ke reservoir di atasnya.

 

Selawat yang disebutklan di atas, seyogyanya didahului dengah membaca Asma Allah, Asmaul Husna. Yang mana saja, sesuai dengan jenis permohonan yang kita sampaikan. Ini juga berarti, Allah suka kalau kita banyak membaca, menghayati dan belajar mengamalkan Asma Allah itu. Semua asma-Nya adalah kebaikan dan kita dianjurkan meniru kebaikan yang terkandung dalam asma-Nya tersebut. Adalah suatu ”SOP”, Standard Operating Procedure, bahwa kalau kita berdo’a, mulailah dengan membaca Asmaul Husna, selawat atas Nabi SAW, baru setelah itu kita panjatkan do’a. Akan lebih connect, apabila setelah membaca asmaul Husna dan selawat, sebelum kita sampaikan permohonan, kita sampaikan betapa lemahnya diri kita dan betapa maha kuasanya Allah; betapa banyaknya perintahnya yang telah kita langgar; betapa seringnya kita melalaikan titah-Nya; betapa cepatnya kita berbuat dosa;  tetapi Allah adalah Ghofurur_rahiem. Setelah itu, baru kita sampaikan keluh kesah kita kepada Yang Maha Kuasa.

 

Ada waktu-waktu yang sangat mustajab untuk berdo’a; ada tempat-tempat yang sangat dianjurkankita untuk tidak melewatkannya, tanpa berdo’a padanya. Tempat-tempat itu, terkumpul di tanah suci. Di tanah yang kita datang dari jauh untuk melaksanakan haji. Karenanya, seperti disebutkan di atas, pada seluruh bagian dari kegiatan haji tak pernah lepas dari do’a dan do’a. Rugilah orang yang pada  ibadah hajinya tidak memanfaatklannya untuk banyak berdo’a. Berbelas, bahkan, berpuluh tahun kita senantiasa berdo’a, eh,.. di tempat yang do’a paling mudah didengar Tuhan, kita tak berdo’a! Berdo’alah sebanyak-banyaknya. Untuk keperluan apa pun!

 

Ketika musim haji, ketika kita melaksanakan haji, ternyata, do’a tak hanya dipintakan oleh orang-orang yang pergi haji, para jamaah haji; melainkan pula do’a disampakan oleh orang-orang yang kita tinggalkan di tanah air- atau juga di negeri lain. Mereka mendo’akan anggota keluarganya yang pergi haji, baik itu orangtua, kakak, adik, anak, keponakan, guru, murid atau sekedar teman. Teman apa pun. Andai saja kita bisa melihat wujud do’a yang berseliweran di langit, yang dipanjatkan oleh para jamaah haji di tanah suci dan do’a yang disampaikan oleh kerabat atau keluarga jamaah di negeri yang lain, pastilah sangat ramai itu lalu lintas do’a.

 

Umumnya para jamaah memohon dido’akan agar dimudahkan dalam melaksanakan haji. Hal ini mungkin karena ibadah haji yang waktunya tertentu itu, dibanjiri jamaah dari pelbagai suku bangsa dari banyak negara di dunia dengan jumlah total jamaah mencapai jutaan, pada waktu dan tempat yang bersamaan. Wajar kalau muncul kekhawatiran kalau-kalau terdupak atau terinjak oleh orang-orang yang, katanya, hitam, tinggi besar! Atau, kadang terdengar, pengalaman haji dari seseorang yang selama di tanah suci mendapat kesulitan. Karenanya, para calon haji ini, daripada nanti di sana dapat kesulitan, mendingan dari sekarang, sebelum meninggalkan rumah dan tanah air, minta dido’akan agar tak menemukan itu kesulitan, melainkan malah, mendapat kemudahan.  Dan, puncak atau top of the tops dari permohonan para calon haji kepada keluarga dan kerabat yang akan ditinggalkan adalah mohon dido’akan agar diterima ibadah hajinya; menjadi haji yang mabrur, bukan yang mabur (tanpa huruf ”m”)!!!

 

Sejak kaki meninggalkan halaman rumah, naik bis menuju Bandara, di Bandara, selama di tanah suci, di pesawat dalam perjalanan pulang, kami merasakan banyak kemudahan. Di tanah suci, tentu saja tidak sekedar kemudahan yang kami rasakan, tetetapi juga kenikmatan beribadah. Hal seperti yang kami rasakan, tentunya, dirasakan juga oleh banyak jamaah. Belakangan, setelah kembali ke tanah air, setelah menerima banyak tamu di rumah, kami tahu, banyak orang berdo’a untuk kami. Selain keluarga, anak-anak yatim dan teman-teman sesama pengurus anak yatim, orangtua anak-anak yatim, ibu-bu pengajian dipimpin ustazahnya–yang setiap malam- belajar dan mengajar mengaji di kediaman kami, para ustaz (Tadinya, saya mau menyebut teman-teman ustaz. Enak saja! Saya bukan ustaz, kok!) dengan jamaahnya di beberapa pengajian, teman-teman mengaji, kawan-kawan di tempat kerja, mereka berdo’a untuk kami. Sangat boleh jadi, kemudahan dan kenikmatan yang kami dapatkan selama menjalankan ibadah haji adalah karena do’a-doa mereka.Itulah do’a-do’a yang membawa kemudahan. Kepada yang telah bertulus hati berdo’a untuk kami, semoga Allah membalasnya dengan yang lebih baik dan barokah!

 

 

 

AZIZIYAH

Dari Madinah, kami berangkat menuju Aziziyah. Tiba di Aziziyah sekitar pukul….. pagi. Aziziyah adalah sebuah kota kecil yang terletak di antara Makkah dan Mina, sekitar 12 km dari Makkah, dan 8 km dari Mina. Aziziyah dipenuhi bangunan yang berfungsi sebagai penginapan, disewakan pada musim haji kepada para jamaah. Saya tidak melihat adanya hotel bagus di kota ini.  Penginapan yang ada lebih mirip seperti apartemen sederhana atau rumah-rumah indekos mahasiswa. Bisa dikatakan semua atau paling tidak, sebagian besar, bangunan yang ada di sini bertingkat tinggi, empat atau lima lantai. Pada bagian paling atas, atapnya terbuka lebar, menganga ke langit luas.

 

Para jamaah, selepas mendapatkan kamar –satu kamar biasanya diisi beberapa orang, tergantung ukuran kamar- menyimpan tas, meletakkan barang bawaan, dan beristirahat sejenak, biasanya tergoda untuk naik menuju bagian paling atas bangunan. Ingin tahu ada apa di atas. Setelah mengetahui situasi dan kondisi yang ada di puncak gedung itu, para jamaah segera kembali ke kamar masing-masing, mengambil tali rapia atau tali plastik, yang memang sengaja dibawa dari tanah air. Tak berapa lama, terbentanglah belasan tali jemuran. Rupanya, di sinilah tali-tali itu mulai terasa sangat berguna. Juga, sabun cuci, yang selama ini selalu dibawa pergi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Banjir di Makkah, Mina, dan Aziziyah

Kabar banjir di Makkah sampai ke Indonesia sebelum kami tiba di ibu kota. Seorang saudara kami dari Bandung kirim sms, menanyakan keselamatan kami. Ariadi Subandrio, Sekjen IAGI waktu itu, minta konfirmasi tentang itu kabar. Teman-teman di Mina, juga kirim sms, minta dido’akan, karena hujan badai yang hebat.

 

Saat itu kami sedang berada di lokasi penyembelihan kambing untuk keperluan dam, di dekat kaki Jabal Nur, masih wilayah Makkah. Ceritanya begini. Pagi, ketika sarapan di penginapan di Aziziyah, seorang kawan menawari, “Barangkali mau ikut ke tempat penyembelihan kambing?” Pikir saya, tak jauh dari situ, saya pun turut. Eh,…ternyata tak dekat. Sesampainya di tempat tujuan, tak nampak kambing-kambing itu. Rupanya, tidak hanya manusia yang suka telat datang, kambing juga sama. Hampir dua jam kami menunggu kedatangan kambing-kambing itu. Akhirnya, dengan berkendaraan truk,  datang juga mereka.

 

“Pernah lihat kambing Arab?” Tak persis sama dengan kambing kita. Ayat yang mengatakan bahwa manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa, boleh jadi, juga berlaku bagi binatang, seperti halnya kambing-kambing Arab itu. Mereka punya ekor pendek, dan –maaf- pantatnya besar (Pak As’ad, bagaimana dengan kambing di Perth?). Menurut kawan-kawan, itu pantatnya, enak disate!

 

Angin bertiup kencang. Pasir beterbangan. Tetetapi  Ustaz Othman, Ustaz Husen, Pak Reza dan beberapa kawan tak menghiraukannya. Mereka tetap sibuk mengurus kambing-kambing yang harus segera selesai disembelih itu. Bersama Pak Andi, sang pengantin baru, saya bergegas kembali ke bis. Pak Bunyamin dan Pak As’ad, juga ada di bis. Sopir bis, yang Ustaz Husen biasa panggil Bus Muhandis (muhandis artinya insinyur), adalah seorang Mesir. Setelah mengobrol tentang keluarga, ia salat zuhur di trotoir, sebelah bis diparkir. Pak Andi, yang usianya lebih muda dari saya tetapi sudah beberapa kali ke Tanah Suci, ini mengajak saya salat di masjid, yang ternyata tak terlalu jauh dari tempat parkir bis. Kami salat dzhuhur dan ashar di masjid yang tak bersih itu. Keluar masjid, menuju bis lagi, kami berjalan dengan menempelkan lengan ke mata, melindunginya dari butir-butir pasir yang beterbangan. Kami sampai di bis. Angin tetap bertiup kencang. Karena terpaan angin, bis yang sedang diparkir itu sedikit bergoyang. Sekitar ashar, penyembelihan berakhir. Ada satu hal yang belum kami lakukan : makan siang. Pak Reza mentraktir kami makan siang (a very late lunch) di sebuah rumah makan. Saya makan satu nampan dengan salah seorang sopir bis (ada 2 sopir di bis kami, laiknya pilot dan co-pilot di pesawat) dan Pak Thabrani, seorang Banjar yang lama mukim di Makkah. Sementara kawan-kawan lain makan dengan agak pelan (mungkin ngeri lihat besarnya ayam yang dihidangkan), saya dan dua kawan tadi sangat tangkas membersihkan itu ayam. Enak juga!

 

Saat lunch itulah, kami lihat di luar sangat gelap, padahal belum masuk waktu maghribin Kami coba melihat ke atas, langit mendung. Tak lama kemudian, turun hujan lebat disertai angin kencang. Selesai makan, kawan-kawan yang belum salat, salat di rumah makan yang tak besar itu. Setelah urusan makan dan salat selesai, dan berpindahnya riyal dari tangan Pak Reza ke pihak rumah makan, dengan jari-jari bersilang menutup kepala, melindunginya dari hujan, saya, juga yang lain, kembali ke bis. Dari dalam bis, kami lihat arus air di jalan raya, sangat deras. Pertama, kami lihat rambu-rambu lalu lintas yang terbuat dari plastik tebal, berwarna orange itu, hanyut. Bahkan ada yang hanyutnya menyalip mobil di depan kami. Selanjutnya, kami lihat mobil-mobil yang diparkir, ‘tak mau ketinggalan’, ikut terbawa arus. Beberapa di antara mobil itu, ada yang naik ke mobil yang lain!. Ada yang berada dalam posisi  seperti orang sedang tidur dalam posisi miring, ada juga yang ‘terparkir’ di tanah yang lebih rendah dari jalan raya dalam posisi tidak wajar. Jalanan macet.

 

Pak Thabrani, yang telah lama mukim di Makkah dan Ustaz Husen, yang sudah sering ke Makkah, sibuk membantu sopir, menjadi navigator, mencari jalan alternatif untuk kembali ke Aziziyah. Setelah belok sana, belok sini, sekitar pukul 20.00, kami tiba di Mina. Bis jalan perlahan, pelan, dan makin pelan. Macet! Kecuali Pak Thabrani dan Pak Sopir, semua sepakat untuk turun dari bis dan meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Kami berjalan di depan tenda-tenda putih yang dibangun pemerintah Saudi. Dari luar, tenda-tenda itu tampak utuh (menurut informasi dari Bu Dokter, yang saat itu ada di dalam tenda, kondisi dalam tenda basah kuyup, banyak alas kaki yang tidak terselamatkan, hanyut dibawa arus air), akan tetetapi tenda-tenda dadakan yang dibuat oleh para jamaah, yang biasanya nampak di sepanjang pinggir jalan, di depan tenda-tenda putih itu, sudah tak satu pun terlihat. Beberapa bangkai tenda, kasur, dan perlengkapan jamaah lainnya, tampak berserakan di jalanan dalam kondisi, tentu saja, basah kuyup. Saya tak tahu kemana berlindungnya para jamaah yang kemarin memenuhi jalanan dan bermalam di situ dengan beratapkan langit. Banyak di antara para jamaah itu membawa anak kecil dan bahkan ada yang bawa bayi. Yang jelas, karena hujan lebat dan banjir ini, mereka pasti sangat menderita.

 

Di jalanan, walaupun sudah surut, air masih mengalir. Kami berjalan memilih jalan yang paling mudah, yang airnya sedikit. Seorang ibu, jamaah Thailand, yang sedang berdiri di atas genangan air di pinggir jalan, bercerita kepada saya bahwa ada beberapa korban terbawa air. Saya tak bisa memastikannya.

 

Seorang kawan yang saat turun hujan sedang dalam perjalanan dari Mina menuju Makkah lewat Mudzdalifa,  melihat Mudzdalifah sudah menjadi lautan. Kawan lain yang berada di Mina dan waktu itu sedang tepat di Terowongan Mina, menceritakan kepada saya bahwa air dengan ketinggian sampai lutut, mengalir dengan sangat deras dalam terowongan. Jamaah tidak bisa memotong, menyebrang sungai dadakan ini, karena arus yang sangat deras.

 

Kami terus melanjutkan perjalanan, sementara Pak Bunyamin harus rela berjalan kaki dalam genangan air tanpa alas kaki, karena sandalnya diajak oleh aliran air yang kencang untuk pergi bersama. Setelah agak lama berjalan kaki, keluar masuk genangan air, seorang kawan menengok ke arah belakang, “Itu bis kita!” Rupanya, bis yang tadi kami tinggalkan, sedang maju dengan tenang, nyaris mendahului kami. Kecuali yang sudah telanjur jalan jauh, yang dipanggil-panggil namanya, tak muncul jua, semua kembali ke bis. Beberapa kawan komentar, “Kalau tahu begini (bis bisa jalan, walaupun lambat, dan bisa menyusul kami yang berjalan kaki), mengapa tadi harus berbasah-basah seperti ini!”

 

Kini semua ceria di dalam bis melanjutkan perjalanan ke arah Aziziyah. Ketika bis mendekati lokasi jumrahtul_’Ula, sebagian kami turun lagi dari bis, hendak meneruskan perjalanan dengan mempersingkat jarak, dengan jalan kaki, sementara sebagian lainnya, tetap duduk di bis. Menjelang jam 21.00 kami tiba di penginapan di Aziziyah. Kedua ‘tim’ mencapai penginapan dengan selisih waktu belasan menit saja. Setelah mandi atau sekedar cuci muka, tangan dan kaki, kami meneruskan acara rutin, yang malam ini terlaksana agak terlambat (karena perjalanan tadi). Acara itu adalah makan malam lesehan, berjamaah. Nikmat, alhamdulillah.

 

 

Mengapa Terjadi Banjir?

Kota Makkah, Mina dan Aziziyah adalah lembah-lembah di antara perbukitan bermorfologi kasar yang mengitarinya. Bamu Dasar/Basement bamu beku, tersingkap di permukaan, baik diperbukitan maupun di pedataran, karenanya bisa dikatakan tidak ada daerah resapan di sini. Di negeri kita, ke arah manapun pergi, senantiasa kita akan  ketemu sungai. Di  Makkah, Mina dan Aziziyah, tak mudah menemukan sungai. Di Jakarta, atau di kota manapun di Indonesia, hampir bisa dipastikan, di pinggir jalan raya, ada selokan, sehingga kalau terjadi hujan, air dari jalan raya akan ditampung oleh selokan itu. Di  Makkah, Mina dan Aziziyah, di pinggir jalan raya,  saya tidak menemukan selokan. Pikir mereka, barangkali, buat apa bikin selokan, toh turun hujannya juga sangat jarang. Lagi pula, karena bamu dasar tersingkap di permukaan,  tidak mudah melakukan pekerjaan pembuatan selokan itu! Kondisi demikian menyebabkan, apabila turun hujan –apa lagi hujan lebat- air dari perbukitan itu turun ke jalan raya dengan kecepatan lumayan. Jalan, pada saat-saat seperti itu, berfungsi menjadi sungai. Ia meneruskan air yang ditampungnya ke daerah lebih rendah. Karena ia ‘sedang berfungsi’ sebagai sungai, maka ia akan menghanyutkan apa yang bisa dibawanya, tergantung besarnya air dan kuatnya arus. Kala itulah, mobil-mobil yang diparkir di pinggir jalan dan sekitarnya, dibawa serta oleh arus air. Jadilah seperti apa yang terjadi.

 

 

           

 

 

 

 

 

Aktivitas di Aziziyah

Seperti halnya di Makkah dan di Madinah, di Aziziyah pun dilakukan beberapa kegiatan, seperti: ceramah dari pembimbing haji, salat berjamaah, tadarus, diskusi atau ngobrol santai dengan sesama jamaah. Pada waktu-waktu makan, semua jamaah dan pembimbing haji mengambil makanan secara prasmanan, kemudian menikmati makanan secara lesehan. Ada yang bersila, ada juga yang selonjor duduknya. Pada waktu makan ini juga dimanfaatkan oleh para jamaah untuk bertanya banyak masalah agama kepada ustaz pembimbing haji. Suasananya sangat santai, sehingga tanya-jawab yang berisi berondongan pertanyaan dari jamaah kepada ustaz, tetapi ustaz menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan santai saja, namun diserta penjelasan yang lengkap, mudah dimengerti, enak didengar dan perlu!

 

-Ceramah2

  • banjir
  • Sebelum keberangkatan ke Arafah,
  • berdo’a: Siapa saja yg, minima,l perlu dido’akan : Diri, ortu, guru, org yg berjasa
  •       
  • Suami-istri bermaafan (hari terakhir di aziziyah, siap2 menuju arafah)
  • Menelpon orang tua.

 

ARAFAH

Dari Aziziyah kami menuju Arafah untuk menghadiri dan menjadi peserta pelantikan haji oleh Allah SWT.  “Al hajju Arafah, “ kata Nabi SAW. Haji adalah Arafah. Tanpa hadir di Arafah seorang yang datang walaupun dari negeri yang sangat jauh, tidak dinyatakan sebagai haji. Karenanya, jamaah yang sedang di rumah sakit sekalipun, dengan ambulan dan kelengkapannnya, diusahakan untuk hadir di Arafah untuk wukuf, untuk pelantikan.

 

Lama  di Arafah

 

Aktivitas: merenung, tafakur, berdo’a

 

Khutbah Nabi SAW di Arafah

Masih terngiang di telingaku ketika Nabi yang mulia menyampaikan khutbahnya yang mempesona …….:

 

“Wahai manusia, dengarkanlah penjelasanku baik-baik, kerna aku tak tahu apakah setelah tahun ini aku masih berada di tengah kalian atau tidak.

 

Wahai manusia, sebagaimana engkau menghargai bulan ini, hari ini dan kota ini sebagai sesuatu yang suci, maka hargailah pula jiwa dan harta sesama muslim sebagai amanat yang suci. Kembalika harta yang dititipkan kepadamu kepada pemiliknya yang sah. Jangnlah menyakiti sesama agar engkau tidak disakiti. Jangn makan riba kerna riba itu haram bagimu.

 

Tolonglah orang msikin dan berilah mereka pakaian sebagaimana engkau berpakaian.

 

Ingatlah! Suatu saat engkau akan menghadap Allah dan memepertanggungjawabkan semua amalmu. Jadi, waspadalah! Jangn menyimpang dari jalan yang benar setelah aku tiada.

 

Wahai manusia! Tak ada lagi nabi atau rasul sesudahku dan taak akan ada lagi agama baru yang lahir…Adalah benar bahwa kamu sekalian mempunyai hak atas istrimu, tetepai mereka pun memepunyai hak atas kamu. Berbuat baiklah kepada mereka karena mereka adalah tempatmu bersandar.

 

Ingatlah ucapanku. Kutinggalkan dua hal kepadamu, Walimatussafar dan Sunnah, jika kalian berpedoman pada kedua hal tersebut kalian tak akan tersesat.

 

Dengarkanlah baik-baik. Tegakkanlah salat, berpuasalah pada bulan Ramadhan, dan tunaikanlah zakat. Setiap muslim itu bersaudara, masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Tak seorangpun boleh mengambil sesuatu dari saudaranya jika saudaranya itu tidak ridha. Tak seorang pun lebih tinggi dari yang lain kecuali dalam amalannnya.

 

Mereka yang mendengar ucapanku ini hendaklah menyampaikan kepada yang lain, begitu seterusnya, dan yang terakhir harus mengerti lebih baik daripada mereka yang mendengar langsung dariku.”

 

Lalu Rasulullah menengadahkan wajahnya ke langit dan berkata, “Ya Allah, saksikanlah bahwa aku telah menhyampaika ajaran-Mu kepada umat-Mu.” “Ya, kami menyaksikan,” jawab hadirin terdengar menggema di lembah.

 

Setelah selesai menyampaikan khutbahnya, Rasulullah turun dari unta kesayangannya, al-Qashwa. Beliau masih di tempat itu juga sampai pada waktu sembahyang zuhur dan ashar. Kemudian Rasul menaiki lagi untanya menuju Shakharat. Rasul kemudian menyampaikan ayat kepada para shahabat:

 

“Maka pada hari ini Kusempurnakan agamamu untuk kamu sekalian, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku bagi kamu, dan kuridai Islam sebagai agama kamu.” (QS Almaidah:3).

 

Abu Bakar, begitu mendengar ayat itu, ia menangis. Ia sadar bila risalah sudah selesai. Selesai pulalah tugas Nabi SAW di dunia ini. Ini adalah isyarat. Isyarat Rasul tak akan lama lagi akan meninggalkan para shahabat, untuk menghadap Tuhan.

 

Rasul Wafat

 

 

Sepulang Haji

Memelihara kemabruran

Tamu Berdatangan

Ternyata Bekal Kesabaran Masih Tetap Diperlukan

 

Pembimbing Haji –Profesi Bergengsi

Dulu, ada suatu jenis pekerjaan atau kegiatan atau profesi atau dikelompokkan sebagai apalah itu, yang membuatku iri. Pernah aku punya cita-cita atau lebih tepat disebut angan-angan, karena rasanya, tak mungkinlah aku mendapatkannya. Aku tidak punya cukup ilmu; tidak mumpuni untuk itu; tak pernah mesantren. Bagaimana tidak membuat iri, dengan profesi itu, seluruh harinya dipersembahkan untuk memberi dan memberi ilmu. Ilmu agama lagi! Mereka, umumnya, hidup sederhana (walau tak sedikit yang kaya raya). Ilmunya  -menurut ukuranku- tak terhingga. Hidup tenang, di kota atau pun di desa. Kalaupun ada masalah yang dipikirkan, masalah umatnya. Merekalah para ustaz, para kiai. Guru-guru kita semua.

 

Sering terngiang di telingaku, nasihat almarhum salah seorang guru kami yang tinggal di sebuah rumah kecil, bahkan rumah sangat kecil, di Bandung bagian selatan (Allahumaghfirlahu warhamhu wa aafihi wa’fu anhu), “Masa depan itu, bukan sekedar masa tua kita! Masa depan adalah akhirat!” Aku sering merenungkan kata-kata itu. Ya, sekedar merenungkan, tanpa langkah nyata. Aku masih terkonsep dengan “pepatah” umum tentang definisi masa depan, baik itu masa depan cemerlang ataupun madesu, masa depan suram. Masih saja dibenakku tersimpan file, masa depan cerah-cemerlang itu adalah, punya rumah besar; punya kendaraan bagus; anak-anak sekolah di sekolah unggulan; teman, saudara, dan tetangga menaruh hormat; disegani kawan dan lawan. Tetapi, guru itu mengatakan, “Bukan itu! Masa tua mah tidak lama, dan akan segera ditutup dengan kematian! Setelah kematian, barulah masa depan dimulai. Itulah masa depan yang hakiki, yang sesungguhnya. Hidup di dunia, tidak lama. Dibanding kehidupan di alam nanti, nyaris tak berarti.” Aku lalu teringat ayat yang mengatakan bahwa sehari di alam nanti sama denga sekian ribu hari di bumi. Setelah agak tersadarkan inilah, aku selalu merasa iri kepada para ustaz dan para kiai. Kerjanya, memberi ilmu dan kemudian, dia mendapatkan kebahagiaan dari memberi tadi. Tuhan pun akan mencatatkan baginya pahala. Hidup tenang, bahagia, sementara credit point, nambah terus. Tak heran kalau orang-orang tua (umumnya orang tua yang berasal dari desa, yang sering kita anggap kampungan, tetetapi ternyata mereka berwawasan jauh ke depan), kaya atau pun hidup pas-pasan, berupaya keras agar anak-anaknya mengenyam pendidikan pesantren. Ilmu dari pesantren itu, akan menjadi bekal hidup bagi sang anak. Tidak saja untuk kehidupan dunia, melainkan sampai akhirat nanti. Manfaat ilmu itu, tidak hanya untuk dirinya, tetetapi juga untuk orang tua dan orang banyak. Bukankah sebaik-baik orang adalah orang yang paling manfaat bagi orang banyak?

 

Akan halnya pembimbing haji, tak jauh berbeda dengan para ustaz dan kiai. Mereka membimbing orang untuk mendekatkan diri pada Tuhan dengan mendatangi rumah-Nya. Kita datang ke baitullah yang ada di tempat yang sangat jauh. Kita tidak biasa dengan ibadah satu ini, ibadah haji. Haji adalah puncak dari segala ibadah. Hanya untuk haji, kita keluarkan harta yang banyak, niat yang kuat, dan tenaga yang prima. Kita tinggalkan kampung halaman, menempuh perjalanan beribu mil, lewat daratan atau pun udara. Kita tinggalkan saudara dan anak-anak tercinta. Entah bisa kembali atau tidak. Kita ingin perjalanan suci ini tak sia-sia. Kita perlu pembimbing! Memang, seperti halnya kita pergi Paris, misalnya. Bisa tanpa pembimbing. Banyak peta dan brosur yang bisa kita manfaatkan. Akan tetetapi perjalanan itu, akan lebih efektif dan efisien kalau ada guide, pemandu wisata. Perjalanan akan lebih terarah. Akan lebih banyak yang bisa kita dapat, dibanding tanpa pemandu wisata. Jadi, kendatipun sebenarnya bisa sendiri, tetapi untuk ibadah satu ini, kita tidak ingin ada yang mis. Kita belum tentu bisa ke sana lagi. Dan, boleh jadi, ini perjalanan terakhir! Sekali lagi, kita (paling tidak, saya dan istri) perlu pembimbing!

 

Bagaimana bisa disebut bergengsi? Jelas dong, bergengsi. Bahkan, bergengsi di sini adalah tidak sebatas di mata manusia, melainkan di sisi Allah swt! Ada sekian banyak dan sangat banyak orang menyerahkan dirinya untuk Allah. Hampir seluruhnya memerlukan orang yang bisa membimbingnya. Kemudian datanglah para pembimbing ini, lewat biro perjalanan, kelompok pengajian  ataupun pesantren. Para pembimbing ini – paling tidak -selama beberapa hari sebelum kepergian ke tanah suci dan selama di tanah suci, meninggalkan pekerjaannya, keluarganya, mencurahkan waktu, pikiran dan ilmunya untuk para jamaah yang dibimbingnya. Wajar kalau mereka mendapat bayaran. Karena itulah, bagi para pembimbing, belum selesai proses haji pun –alhamdulillah- sudah mendapatkan fiddunya hasanah. Dan, seperti halnya para ustaz dan kiai, sama-sama menularkan ilmunya cq. kepada para jamaah haji yang dibimbingnya (walau kenyataannya yang bukan bimbingannya pun, dalam beberapa acara berdo’a, baik diwaktu tawaf atau di Arafah, sering ikut bergabung), insya Allah, fil akhirati-nya juga hasanah. Apalagi yang dicita-citakan. Dunia dapat, akhirat…, insya Allah.

 

Ustaz, dengan pelbagai kapasitasnya, relatif  banyak. Kiai, tidak. Kiai termasuk “makhluk” langka yag perlu “ dilestarikan”, dijaga. Dan, perlu diketahui, setahu saya, tidak semua pembimbing haji, itu ustaz. Apalagi kiai! Tidak mudahlah mencari kiai. Kembali ke kalimat pembuka di atas, dulu hanya ustaz dan kiai yang membuat saya iri.  Kini, tambah satu: pembimbing haji. Bagaimana kalau pembimbing haji, itu ustaz atau kiai ? Oo… itu dia! Dialah yang menyandang profesi paling bergengsi! Siapa pun, laik iri!

 

 

 

 

Haji adalah Napak Tilas Sejarah

Perjalalan haji adalah perjalanan napak tilas sejarah. Sejarah Rasulullah dan para nabi sebelumnya serta sejarah para shahabat. Perjalanan haji akan terasa kering kalau kita tidak membaca sejarah. Disamping sering mendengar orang-orang yang mendapat suatu kenikmatan yang dia tak dapatkan di tempat lain, tak jarang saya mendengar kesan orang yang baru pulang dari tanah suci bahwa mereka merasa biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Tak ada derai air mata bahagia melihat Kakbah. Tak ada tangis ketika menziarahi makam kekasih di Masjid Nabawi. Saya menduga keras, pasti ada sesuatu yang mis pada orang-orang yang pergi haji tetetapi tidak mendapatkan kesan mendalam dari ibadah haji tersebut. Saya suudzon, mereka alfa sejarah. Sejarah Nabi dan para shahabatnya yang menjadi pemegang peran utama sejarah Makkah dan Madinah. Kealfaan ini menyebabkan kekosongan dalam pikiran dan hati ketika kita datang di kedua kota suci ini. Tanpa koneksitas sejarah, mana mungkin kita bisa faham dan nyambung dengan apa yang kita hadapi, kita ziarahi di haramain ini. Karenanya, dalam catatan ringan ini, saya senantiasa mengaitkannya semua obyek yang diziarahi dengan sejarah. Terutama bagi yang kebetulan tidak cukup waktu untuk membaca buku-buku sejarah Rasul dan para shahabatnya, juga bagi yang pernah membacanya tetapi sudah lama sekali dan agak-agak lupa, saya ingin membuka tulisan ini dengan –sekali lagi- sejarah, sebagai penghantar ke obyek bahasan. Dengan itu, semoga tulisan ini menjadi alat penyambung ketika pembaca, suatu hari, pergi haji. Semoga bermanfaat.

 

 

Makkah dan Sekitarnya Yang Syarat Sejarah

 

Makkah Sebagai Tanah Haram

Allah telah mensucikan seluruh kawasan Makkah dan sekitarnya, sebagai tanah yang disucikan Allah sejak diciptakannya bumi hingga kiamat nanti. Dikisahkan bahwa Malaikat Jibril memberi tahu Nabi Ibrahim tentang batas-batas tanah suci dan menyuruhnya untuk menandainya dengan menancapkan batu. Ibrahim pun melaksanakannya. Karena peristiwa itulah, Ibrahim disebut-sebut sebagai orang pertama yang menandai batas-batas kawasan suci Makkah, yaitu batas yang memisahkan antara daerah yang suci, Makkah, dengan daerah sekitarnya.

 

Setelah pembebasan Makkah (fath Makkah), Rasulullah saw mengutus Tamim ibn Asad al-Khazai untuk memperbaiki dan memperbaharui tanda-tanda tersebut. Pada masa para khalifah sepeninggal Rasulllah saw., pekerjaan ini terus dilanjutkan. Tanda-tanda batas tanah suci itu keseluruhannya berjumlah 943 buah yang ditancapkan di atas gunung, bukit, lembah, dan tempat-tempat yang tinggi.

 

Panjang kawasan Tanah Suci Makkah 127 km; luas kurang lebih 550 km2. Di kawasan ini Allah telah menjadikannya sebagai tempat kembali (matsabah), tempat bertemunya seluruh manusia, dan sebagai tempat yang aman. Adapun sebagian dari tempat-tempat yang membatasi Makkah sebagai tanah haram adalah sebagai berikut:

 

  • Hudaibiyah, terletak di sebelah barat, berjarak sekitar 22 km dari Makkah.
  • Arafah, terletak di sebelah timur; tepatnya pada arah antara timur dan tenggara, berjarak sekitar 22 km dari Makkah.
  • Wadi Nakhlah, terletak di utara, tepatnya pada arah antara utara dan baratlaut, berjarak sekitar 16 km dari Makkah.
  • Tan’im, terletak di baratlaut, berjarak 7,5 km dari Makkah.
  • Jiranah, terletak di utara; antara Wadi Nakhlah dan Tan’im, berjarak 22 km dari Makkah.
  • Adlat Laban (Aqisyiyah), terletak di selatan, berjarak 16 km dari Makkah.

 

 

“Hudaibiyah?” Ya, Hudaibiyah. Bagi peminat sejarah Islam, Hudaibiyah adalah suatu tempat yang tidak mungkin luput dari ingatan. Ia merupakan salah satu tonggak sejarah menuju, kelak, jatuhnya Makkah ke tangan Rasulullah dan para shahabatnya pada fath Makkah. Hudaibiyah, saat itu, menjadi kunci strategi berbalik, kembali “menyerang”, dan, menang! Saya tidak ingin melewatkan peristiwa sejarah yang teramat penting, yang direkam oleh tempat bersejarah ini, Hudaibiyah. Ceritanya sangat panjang, tetapi saya akan berusaha, sebisa mungkin, memendekkannya. Mudah-mudahan, tidak mengurangi nilai sejarah yang dikandungnya.  Dan, karena Hudaibiyah ini berhubungan dengan bahasan Tanah Haram, saya ingin mendahulukannya sebelum menulis lebih banyak tentang Tanah Haram itu sendiri atau Makkah pada umumnya.

 

Hari itu, Senin bulan Dzulhijah, Rasulullah beserta para shahabatnya, dan sedikit kaum musyrikin Madinah, berangkat menuju Makkah untuk melaksanakan haji. Rombongan berjumlah sekitar 1500 orang. Sebelum berangkat, seperti biasanya, Nabi menyerahkan kepemimpinan di Madinah selama beliau meninggalkannya, kepada salah seorang shahabatnya (dunia perkantoran saat ini, menyebut apa yang dilakukan Nabi sebagai penunjukan pejabat sementara, Pjs.). Shahabat yang pilih saat itu adalah Abdullah bin Ummi Maktum.

 

Sesampainya di Zul Hulaifah, beliau memerintahkan pengikutnya untuk memakai pakaian ihram. Masing-masing mulai berniat hendak mengerjakan umrah, sambil membaca talbiyah. Nabi kemudian mengutus Basyar bin Sufyan untuk membaca situasi Makkah dan penduduknya dan bagaimana reaksi mereka atas rencana haji Rasulullah dan shahabatnya ini. “Ya Rasulullah, Basyar melaporkan, “kaum Quraish telah mendengar berita keberangkatan engkau dari Madinah. Mereka sekarang telah keluar dari Makkah dengan sangat marah. Mereka hendak menghancurkan engkau. Sekarang ini, mereka telah sampai di Zi Thuwan. Mereka berjanji dengan nama Allah bahwa engkau sekali-kali tidak akan diperkenankan masuk ke kota Makkah. Barisan kuda yang dipimpin oleh Khalid bin walid sudah diperintahkan supaya berangkat ke Qura’il Ghamim.”

 

Dengan tenang, Rasulullah mendengarkan laporan Basyar, kemudian beliau bersabda,

Oh, kasihan kaum Quraish. Sesungguhnya mereka telah dilumpuhkan oleh peperangan. Apakah mereka tidak lebih baik membiarkan saja antara saya dan bangsa Arab lain? Jika mereka (bangsa Arab lain) telah membahayakan saya, yang demikian ini yang mereka inginkan. Jika Allah memberi kemenangan kepada saya atas mereka, maka mereka memeluk Islam dengan megah. Dan , jika mereka tidak mau mengikutinya, maka mereka memerangi karena mempunyai kekuatan. Apakah kaum Quraish menyangka bahwa dengan perbuatan yang demikian itu, saya akan mundur begitu saja? Demi Allah, saya tidak akan berhenti berjuang atas dasar saya diutus Allah karenanya, sehingga Allah memberi kemenangan, atau sampai batang leher saya terpenggal binasa.”

 

Penduduk Makkah menyangka, kedatangan Rasulullah beserta para shahabatnya ke Makkah, adalah untuk menyerang. Mereka menjadi gusar. Padahal Nabi datang bukan untuk berperang, tetetapi untuk melaksanakan haji. Orang-orang Makkah itu, kemudian bersepakat untuk menghalang-halangi kedatangan Nabi dan para shahabatnya. Mereka menyiapkan angkatan perang.

 

Nabi saw. beserta para shahabat melanjutkan perjalanan melalui jalan yang tidak biasa ditempuh kebanyakan orang, hingga sampai di suatu lembah dan beristirahat di sana. Di tempat itu, ternyata tidak ada air. Para shahabat berkata, “Ya Rasulullah, engkau memerintahkan kita berhenti di tempat ini, padahal di sini tidak ada air yang kita butuhkan selama kita di sini! Mendengar itu Nabi saw. kemudian mengambil anak panah. Anak panah itu diberikan kepada salah seorang shahabat tadi. Orang itu diperintahkan untuk turun dengan membawa anak panah itu ke dalam sebuah perigi yang kering, tidak berair. Anak panah itu ditancapkan ke dalam pasir yang ada di dalam perigi. Seketika itu juga, air memancar dari dalamnya, cukup untuk memenuhi kebutuhan selama di sana. Tempat singgah ini, dalam sejarah, dikenal sebagai “Hudaibiyah”. Nama ini berasal dari nama sumur atau perigi yang ada di tempat itu, yang selanjutnya digunakan sebagai nama desa tersebut.

 

Kaum Quraish mengirim tiga utusan secara beturut-turut, menanyakan apa maksud kedatangan Rasulullah saw. ke Makkah. Nabi saw. menyampaikan bahwa maksud kedatangannya adalah untuk berhaji. Para utusan pun menyampaikan hal itu kepada para pembesar Makkah yang mengutusnya. Para pembesar Makkah itu, tetap tidak mempercayai  apa yang para utusannya sampaikan, sesuai yang Nabi sampaikan. Mereka tetap berprasangka Nabi akan menyerang. Akhirnya mereka mengirim utusan keempat, Urwah bin Masud. Urwah berkata, “Ya Muhammad, engkau telah mengumpulkan atau menghimpun beberapa macam jenis manusia, kemudian engkau telah datang dengan mereka itu kepada ahli famili dan suku engkau sendiri, untuk menghancurkannya bersama-sama mereka. Sesunggguhya mereka itu telah memakai kulit harimau, hendak mengamuk dan menerkam engkau. Mereka berjanji kepada tuhannya bahwa engkau tidak boleh masuk ke Makkah dengan kekerasan selama-lamanya.”

 

Urwah kemudian melanjutkan, “Demi Allah, kemungkinan besar mereka (para orang yang telah engkau kumpulkan) itu besok pagi bubar meninggalkan engkau dan menyerahkan engkau kepada musuh-musuh engkau, yang terdiri dari ahli famili engkau sendiri.

 

Tatkala Urwah bin Mas’ud berkata di hadapan Nabi saw itu, Abu Bakar ash-Shiddiq yang duduk di belakang Nabi selalu mendengarkan. Dan, ketika mendengar perkataan terakhir Urwah, Abu bakar sangat marah. Ia lalu berkata,” Isaplah olehmu kelentit patung berhala Latta! Apakah kami akan bubar meninggalkan beliau?”

 

Abu Bakar yang sebenarnya adalah seorang penyabar dan penyantun, terpaksa berkata kasar karena tidak tahan mendengar perkataan Urwah, yang seakan menuduh kaum muslimin akan bubar meninggalkan Nabi saw. apabila telah menghancurkan kota Makkah dan segenap penduduknya.

 

Urwah kemudian melanjutkan pembicaran dengan Nabi saw. tentang maksud kedatangan beliau beserta para shahabatnya ke Makkah. Nabi menjelaskan dengan tegas bahwa kedatangannya itu tidak ada maksud lain kecuali hendak melaksanakan ibadah haji semata.

 

Selama masa perundingan dengan pihak Nabi saw, Urwah senantiasa memperhatikan segala sesuatu yang terjadi di sekitar Nabi saw. dan pengikutnya, terutama gerak-gerik para shahabat yang selalu taat dan patuh kepda Nabi. Urwah melihat, apabila Nabi saw. berwudhu, berebutlah mereka mengambil air sisanya; apabila Nabi meludah, berebutlah mereka membersihkannya; apabila beliau memanggil para shahabat, bersegeralah mereka datang menghadapkannya; apabila beliau memerintahkan suatu pekerjaan, dengan segera mereka mengerjakannya; apabila diajak bicara oleh beliau, para shahabatnya menjawab dengan suara lembah lembut; apabila mereka berada di hadapan beliau, tidak ada seorang pun yang berani mengangkat kepalanya dan menajamkan pandangan matanya, karena sangat memuliakan beliau; dan apabila ada sehelai rambut beliu gugur, berebutlah mereka memungutnya, karena horamtnya kepada beliau. Semua peristiwa itu diperhatikannya oleh Urwah. Urwah sangat takjub melihat kebesaran pribandi Nabi saw. di tengah para shahabatnya.

 

Urwah bin Mas’ud lalu kembali ke Makkah dengan membawa keterangan yang didapat dari Nabi saw.. Disamping menyampaikan laporan dari maksud kedatangan Nabi saw. bersama para shahabatnya ke Makkah, Urwah menyampaikan juga kesan-kesan yang dilihat selama kunjungannya di tempat Nabi saw. itu. Ia berkata di muka para pembesar Quraish yang mengutusnya, “Wahai para kawan pembesar, saya pernah datang kepada Kisra (Raja Persia) di kerajaannya; kepada Caesar (Raja Romawi) di kerajaannya, dan kepada Najasyi (Raja Habsyi) di kerajaannya. Tetetapi, demi Allah, saya belum pernah melihat seorang yang dimuliakan dan dihormati oleh kaum dan rakyatnya seperti Muhammad di tengah-tengah kaumnya. Apabila ia berwudhu, maka para shahabatnya berebut menadah air sisa wudhunya. Apabila sehelai rambutnya gugur, berebutlah mereka memungutnya. Mereka itu tidak akan meninggalkannya untuk selama-lamanya.”

 

Urwah kemudian menegaskan pendiriannya pula, “Sesungguhnya Muhammad itu seorang penyeru kepada kamu denga petunjuk yang lurus, maka hendaklah kamu menerima dan mengikuti seruannya. Perhatikanlah benar-benar yang diserukan oleh Muhammad itu! Sesungguhnya saya ini hanya sengaja memperingatkanmu. Karena itu, pikirkanlah baik-baik sebelum kamu mengambil suatu keputusan terhadapnya. Karena saya mengerti bahwa kamu tidak akan dapat mengalahkan dia selama-lamanya.”

 

Mendengar laporan dari Urwah tersebut, para pembesar Quraish berkata, “Cukup! Jangan teruskan keteranganmu! Lebih baik kamu diam saja!

 

Sesudah empat kali berturut-turut Nabi saw menerima utusan para pemimpin Quraish, tetetapi belum juga ada tanda-tanda yang menunjukan kaum muslimin diizinkan masuk ke Makkah. Nabi lalu memutuskan untuk mengirim utusan kepada kaum Quraish yang bernama Khirasy bin Umayyh al-Khuzai. Di perjalanan, unta yang ditumpangi utusan ini ditikam oleh seorang Qurasy, tetetapi Khirasy selamat.

 

Di lain pihak, kaum Quraish mengirim sekitar lima puluh budak mereka ke tempat yang berdekatan dengan tempat pemberhentian kaum muslimin. Mereka memata-matai, dan melakukan sabotase. Mereka, pada setiap malam hari, melemparkan batu-batu dan melepaskan anak panah ke arah kaum muslimin. Pada suatu malam mereka tertangkap dan dihadapkan kepada Nabi saw. agar diberikan hukuman bagi meraka. Tetetapi Nabi saw. membebaskan mereka, karena Nabi saw. membuktikan bahwa kedatangan bukan untuk berperang melainkan hanya untuk ibadah haji.

 

Nabi lalu memanggil Umar bin Khaththab untuk menjadi utusan kepada kaum Quraish. Namum karena alasan pembawaannya yang keras dan tidak adanya Banu Adi (kerabat Umar) yang bisa memberikan perlindungan, Umar keberatan. Nabi memahaminya. Nabi saw. lalu menunjuk Utsman  bin Affan, “ Hai Utsman! Sekarang engkaulah yang akan kami utus ke Makah untuk menegaskan maksud kedatangan kita ke Makkah kepada para pembesar Quarisy, terutama kepda Abu Sufyan. Sesudah itu, hendaklah engkau datang mengunjungi kaum muslimin yang sedang dalam kelemahan di kota itu, tidak mempunyai daya kekuatan. Kemudian beritakanlah oleh engkau kepada mereka bahwa kota Makkah tidak akan lama lagi sudah data dibuka (ditaklukan), sehingga tidak akan ada lagi kekhawatiran bagi mereka yang beriman.”

 

Utsman segera berangkat menemui para pembesar Quraish. Ia terlebih dahulu mendatangi Aban bin said bin al-Ash, saudara sepupu Utsman untuk mendapatkan jaminan. Utsman menyampaikan maksud kedatang Rasulullah dan para shahabatnya kepada para pembesar Quraish. Mereka tidak menjawab dengan tegas. Mereka berkata, “Hai Utsman, jika engkau mau tawaf. Tawaflah sendirian!” Utsman menjawab, “Saya tidak akan tawaf sendiri sebelum Nabi bertawaf di sekeliling Kakbah. Kami datang untuk menziarahi Kakbah, untuk menunaikan ibadah haji di sisinya, dan untuk menyampakan hadiah kami. Jika semuanya telah kami kerjakan dengan seksama, kami akan kembali denganm aman.” Mereka berkata, “Kami sudah bersumpah bahwa kami tidak akan mengizinkan Muhammad masuk ke Makkah pada tahun ini, walau dengan kekuatan senjata sekali pun.”

 

Perundingan berjalan alot, sehingga Utsman tertahan di Makkah yang menyebabkan jadwal kembali Ustman terlambat. Sudah tiga hari tiga malam Utsman tak kujung tiba kembali kehadapan Rasululah dan para shahabatnya. Semua merasa gelisah memikirkan apa yang terjadi pada Utsman. Dalam suasana seperti itu kemudian tersiar kabar bahwa Utsman terbunuh oleh pihak Quraish. Nabi segera memerintahkan kaum muslimin berkumpul. Nabi bersabda, “Kami tidak akan meninggalkan tempat ini, sebelum kami memerangi kaum Quarisy.” Nabi kemudian mengajak para shahabat yang ada di Hudaibiyah untuk berbaiat. Beliau berdiri di bawah sebuah pohon besar yang ada di tempat itu. Ajakan ini disambut seluruh shahabat dengan semangat. Sebanyak 1400 sampai 1500 shahabat serentak berbaiat kepada Nabi saw., menyatakan sumpah setianya dengan keteguhan iman dan kebulatan tekad untuk menuntut balas kesucian darah Utsman, sampai napas terakhir dan sampai titik darah penghabisan, mereka siap untuk mati dalam pertempuran dan tidak akan undur, setapak pun.

 

Seorang shahabat bernama Sinan bi Abu Sinan al-Asadi adalah orang pertama yang melakukan baiat. Ia berkata, “Ya rasulullah, saya berbaiat kepada engkau atas apa yang ada pada diri engkau.”

Nabi saw. Bertanya, “Apa yang ada pada diri saya?”

Sinan menjawab,”Saya akan memukul musuh dengan pedang saya di hadapan engkau sehingga engkau diberi kemenangan oleh Allah atau saya mati terbunuh.”

 

Shahabat lainnya kemudian mengikuti seperti apa yang dilakukan Sinan. Setelah semua shahabat melakukan baiat, Nabi kemudian menjabat kedua tangan beliau sendiri untuk membaiat Utsman bin Affan, yang saat itu diberitakan sudah terbunuh, yang seolah Utsman hadir di situ.

 

Semua mengeluarkan pedangnya. Peperangan pasti terjadi. Setiap orang memandang datangnya hari kejayaan atau kehancuran; kemenangan atau kekalahan; hidup atau mati. Allah kemudian menurunkan firman-Nya kepada Nabi saw.,

 

“Orang-orang yang berjanji setia (berbaiat) kepadamu, sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Maka, barangsiapa yang melanggar janjinya, maka akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri. Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar. Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berbaiat kepadamu di bawah pohon. Maka, Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al-Fath:10 dan 18)

 

 

Peristiwa baiat ini kemudian terkenal sebagai Bai’tur_Ridhwan, perjanjian yang diridai Allah. Juga dikenal sebagai Bai’tur Tahtasy_Syajarah, perjanjian di bawah sebatang pohon. Dan ayat di atas menyatakan: Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu yakni janji setia untuk membela risalah yang engkau sampaikan –baik ketika Bai’tur Ridhwan-   berjanji setia kepada Allah – baik ucapan maupun perbuatan adalah berdasar perintah Allah dan demi karena-Nya. Karena biasanya yang melakukan janji setia atau persepakaan melakukannya dengan berjabat tangan, maka ayat di atas melanjutkanbahwa: “Tangan “ Allah yakni kekuasaan, kekuatan dan anugerah-Nya di atas tangan mereka, Dia yang akan menyertai dan membantu yang berjanji itu, dan lalu barang siapa yang telah melanggar janji setia itu maka akibat pelanggarannya hanya akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah dengan menyempurnakan baiatnya, maka Allah akan menugerahiya pahala yang besar, yang tidak terlukiskan besarnya.

 

Nabi saw. waktu itu menegaskan mengenai orang-orang yang berbaiat di bawah sebatang pohon itu dengan sabdanya,

 

 “Tidak akan masuk neraka seorang pun dari orang yang telah berbaiat di bawah sebatang pohon kayu itu.”

 

Dalam suasana yang mencekam itu; saat-saat para shahabat tinggal menunggu komando untuk menyerang, tiba-tiba sampailah berita bahwa Utsman bin Affan masih hidup. Beberapa saat kemudian Utsman muncul di tengah-tengah kau muslimin di Hudaibiyah.

 

Sementara itu, kaum Quraish terus mengganggu rombongan Nabi saw.. Mereka mengepung tempat kaum muslimin dengan tujuan menakut-nakuti. Mereka melempar-lemparkan batu dan melepaskan anak panah. Seorang shahabat kena panah mereka hingga tewas. Para shahabat akhirnya dapat menangkap para perusuh itu. Sebagian melarikan diri. Akhirnya dicapai kata sepakat untuk melakukan perundingan antara kedua belah pihak. Berikut adalah hasil dari perundingan tersebut :

 

Pertama, pada tahun ini kaum muslimin harus kembali ke Madinah, dan pada tahun depan boleh pergi ke Makkah dengan membawa senjata yang biasa dibawa oleh orang yang dalam perjalanan untuk melakukan umrah dan bermukim di sana selama tiga hari.

 

Kedua, memberi kemerdekaan penuh kepada seluruh bangsa Arab untuk mengadakan pershahabatan dengan kaum muslimin atau dengan kaum musyrikin. Maka, bani Khuza’ah berhimpun (bershahabat) dengan kaum muslimin dan bani Bakar berhimpun bersama musyrikin Quraish.

 

Ketiga, kedua belah pihak dan orang-orang yang bershahabat dengan mereka tidak boleh mengadakan peperangan selama sepuluh rahun.

 

Keempat, setiap orang Quraish yang datang kepada Rasulullah karena hendak mengikuti Islam, harus dikembalikan kepada mereka (Kaum Quraish di Makkah); dan setiap orang dari kaum muslimin yang datang kepada mereka (Kaum Quraish) karena hendak murtad, mereka tidak berkewajiban mengembalikannya kepada Rasulullah.

 

Setelah naskah perjanjian perdamaian ini selesai dirancang oleh pihak Quraish dan disetujui oleh Nabi saw., sebagian kaum muslimin melihat ketidakadilan dari isi naskah terebut, yakni fasal-4, yang dinilai merugikan pihak Nabi saw. Berkatalah para shahabat kepada Rasulullah , “Maha suci Allah, ya Rasulullah! Bagaimana jika seorang Quraish datang kepada engkau karena hendak mengikut Islam, maka engkau harus menolaknya. Sedangkan, jika seorang dari kaum muslimin datang kepada mereka karena hendak murtad, meraka tidak harus mengebalikannya kepada engkau?” Nabi menjawab, “ Barangsiapa pergi dari kita kepada mereka, maka Allah yang akan menahannya; dan barangsiapa dari mereka yang datang kepada kita, lalu kita mengembalikannya kepada mereka, maka Allahlah yang akan menjadikan keluasan dan keringanan untuknya.” Dengan jawaban itu, mereka pun puas. Tetetapi sebagian kaum muslimin masih ada yang merasa belum puas dengan bunyi naskah pada fasal pertama, di antara mereka itu adalah Umar bin Khththabin Ia meloncat mendapatkan  Abu Bakar dan terjadilah dialog ini:

 

“Ya Abu Bakar! Bukankah beliau itu Rasulullah?”

“Betul, Umar, beliau itu Rasulullah.”

“Bukankah kita ini kaum muslimin?”

“Ya, kita ini kaum muslimin.”

“Bukankah mereka (kaum Quraish) itu musyrikin?”

“Ya, betul, mereka itu musyrikin.”

“Mengapa kita suka menerima kerendahan dan kehinaan dalam agama kita?”

“Ya Umar, tetaplah d tempat duduk engkau karena saya menyaksikan bahwa beliau itu Rasulullah.”

“Saya pun menyaksikan bahwa beliau itu Rasulullah.”

 

Karena Umar tidak merasa puas dengan jawaban Abu Bakar, ia pun bertanya langsung kepada Rasulullah.

 

“Ya Rasulullah, bukankah engkau itu Rasulullah?” Tanya Umar

“Betul, aku ini Rasulullah,” jawab Rasulullah saw.

“Bukankah kita ini kaum muslimin?”

“Ya, betul.”

“Bukankah mereka itu musyrikin?”

“Ya, betul.”

“Mengapa kita diberi kerendahan dalam agama kita?”

Nabi bersabda, “Aku ini hamba Allah dan pesuruh-Nya. Sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya dan Dia tidak akan menyia-nyiakanku.”

 

Setelah mendapat jawaban itu, barulah Umar diam, tidak berani melanjutkan pertanyaannya. Bahkan ia berkata, “ Saya senantiasa bersedekah, berpuasa, bersalat, dan memerdekakan budak karena perbuatan saya pada hari itu. Saya khawatir ucapan yang saya katakan kepada beliau ketika saya mengharapkan keadaan perjanjian damai itu supaya baik.”

 

Setelah naskah perjanjian diangap tidak ada masalah lagi, Nabi saw. memanggil Ali bin Abi Thalib untuk menulis naskah perjanjian damai antara Nabi saw. dan kaum musyrikin Quarisy yang diwakili Suhail bin Amr. Nabi saw. bersabda,

 

“Tulis olehmu, bismillahirrahmanirrahiem.”

 

Suhail menyahut,

 

“Saya tidak mengerti ini, tetetapi tulislah, ‘Dengan nama Engkau, ya Allah.”

 

Maka, Nabi saw bersabda,

 

“Tulislah, ‘Dengan nama Engkau, ya Allah.”

 

Ali lalu menuliskan sesuai yang diperintahkan Nabi saw.. Kemudian beliau bersabda kepada Ali,

 

“Tulislah olehmu, ‘Inilah perjanjian perdamaian antara Muhammad Rasulullah dan Suhail bin Amr.”

 

Suhail tidak senang mendengar kalimat “Muhammad Rasulullah” itu, lalu ia berkata,

 

“Demi Allah, jika kami mengetahui (mengakui) bahwa engkau itu Rasulullah, niscaya kami tidak menghalang-halangi engkau ke Baitullah dan tidak pula kami memerangi engkau. Tetetapi tulislah, ‘Muhammad bin Abdullah.”

 

Nabi saw bersabda,

 

“Demi Allah, sesunguhnya aku ini benar-benar Rasulullah, walau kamu mendustakanku sekalipun.”

 

Kemudian beliau bersabda kepada Ali,

 

                        “Hapuskan tulisan Rasululah itu!”

 

Ali berkata,

                        “Tidak, demi Allah, saya tidak akan menghapusnya.”

 

Nabi bersabda,

 

                        “Tunjukknlah kepadaku tempatnya.”

 

Ali lalu menunjukan tempatnya, lalu Nabi saw. menghapus sendiri dengan tangannya. Kemudian Ali menulis,

 

“Muhammad bin Abdullah.”

 

Selanjutnya Nabi saw. meminta Ali supaya menuliskan naskah perjanjian seluruhnya, yang berbunyi sebagai berikiut:

 

Dengan nama Engkau, ya Allah.

Inilah perjanjian perdamaian yang dilaksanakan antara Muhammad bin Abdullah dengan Suhail bin Amr. Keduanya telah berjanji akan menghindari peperangan atas segala manusia selama sepuluh tahun. Pada masa itu orang-orang memperoleh keamanan dan sebagian mereka atas sebagian yang lain menahan diri (menjaga jangan sampai perang). Barangsiapa dari orang Quraish yang datang kepada Muhammad dengan tidak seizin walinya, hendaklah ia (Muhammad) mengembalikannya kepada mereka; dan barang siapa dari orang yang beserta Muhammad yang datang kepada orang Quraish, mereka (kaum Quraish) tidak berkewajiban mengembalikannya kepada (Muhammad). Di antara kita berkewajiban tahan-menahan. Kedua pihak tidak boleh mencuri dengan sembunyi-sembunyi dan tidak boleh cidera. Barang siapa yang suka masuk dalam pengukuhan Muhammad dan perjanjian, bolehlah ia masuk kepadanya; dan barangsiapa suka masuk dalam pengukuhan Quraish dan perjanjian mereka, bolehlah ia masuk kepadanya.”

 

Suhail berkata (memberi tambahan naskah itu),

 

“Engkau pada tahun ini harus kembali, maka tidak boleh engkau masuk ke Makkah kepada kami (kaum Quaraisy). Pada tahun depan, kami (kaum Quraish) akan keluar dari Makkah, maka engkau boleh masuk ke Makkah dengan para shahabat engkau, lalu engkau boleh berdiam di sana selama tiga hari. Engkau boleh membawa senjata orang berpergian itu.”

 

Demikianlah isi naskah perjanjian antara Nabi saw. dan utusan pihak Quraish, Suhail bin Amr, seorang yang terkenal pandai berunding. Naskah tersebut terdiri dari dua helai, sehelai untuk Nabi dan sehelai lainnya untuk kaum Quraish. Di bawah tanda tangan para saksi dari kedua belah pihak, tertulis kalimat: “Naskah perjanjian ini ditulis oleh Ali bin Abi Thalibin”

 

Baru saja naskah perjanjian selesai ditulis, Suhail bin Amr belum sampai kembali ke Makkah, dan Nabi saw. belum juga kembali ke Madinah, tiba-tiba seorang pemuda anak Suhail bin Amr, yang bernama Abu Jandal, dengan kedua tangannya terbelenggu, menghadap Nabi saw.. Abu jandal sebenarnya sudah lama memeluk Islam di kota Makkah. Tetetapi, karena ia anak seorang pembesar Quraish, maka ia ditahan dan dikurung di dalam rumahnya dengan kedua tangan diikat. Dia menghadap Nabi degan tujuan mau bergabung ikut serta ke Madinah, karena tidak tahan terhadap perlakuan orang Quraish terhadapya.

 

Ketika Suhail mengetahui perbuatan anaknya itu, ia mengejar dan menarik kembali ke Makkah. Abu Jandal berterik-teriak minta tolong kepada kaum muslimin, “Apalah saudara-saudara kaum muslimin sampai hati melihat saya dipulanglan kembali kepada kaum musyrikin dan mereka nanti akan memaksa saya untuk meninggalkan agama saya?” Suhail menampar muka anaknya, Abu Jandal, seraya berkata kepada Rasulullah saw., “Hai Muhammad! Inilah satu tanda bukti yang pertama dari buah perbuatan perjanjian perdamaian antara aku dan engkau.” Nabi menjawab, “Betul kamu, Suhail.” Seluruh kaum muslimin yang ada di tempat itu mendengar teriakan Abu Jandal, semua sedih tetetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena naskah perjanjian yang belum lama disepakati itu tidak mengizinkan untuk membelanya. Abu Jandal terus berteriak, berharap mendapat pertolongan Nabi saw.. Nabi bersabda,

 

“Hai Abu Jandal! Tahanlah dan Tabahkanlah hatimu, karena sesungguhnya Allah akan menjadikan bagimu dan bagi orang yang beserta kamu dari orang-orang Islam yang lemah tertindas itu kelapangan dan kelepasan dari kesulitan. Sesungguhnya kami sudah menyimpulkan suatu perjanjian antara kami dan kaum Quraish. Kami telah memberikan kepada mereka, atas yang demikian itu, dan mereka telah memberikan perjanjian kepada kami dengan nama Allah. Sesungguhnya kami tidak akan berkhianat kepada mereka.”

 

Demi mentaati perjanjian Hudaibiyah ini, Abu Jandal terpaksa harus kembali ke Makkah mengikuti kemauan ayahnya.

 

Suhail dan kawan-kawannya kembali ke Makkah; Rasulullah dan para shahabat kembali ke Madinah. Sebagian besar shahabat tidak puas dengan isi perjanian itu, karena dinilai merugikan umat Islam. Dengan demikian ibadah haji/umrah tahun itu tidak jadi dilaksanakan karena dihalangi oleh kaum Quraish tersebut.

 

Dalam perjalanan kembali ke Madinah dari Hudaibiyah, turunlah firman Allah:

 

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang, serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus, dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak). Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimaman mereka (yang telah ada). Kepunyaan Allahlah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana, supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin, laki-laki dan wanita, ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Juga supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah, dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik, laki-laki dan wanita, dan orang-orang musyrik, laki-laki dan wanita, yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka jahanam. Itulah sejahat-jahat tempat kembali. Kepunyaan Allahlah tentara langit dan bumi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (al-Fath:1-7)

 

“Sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pembawa berita gembira, dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Orang-orang yang berjanji setia (berbaiat) kepadamu, sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Maka barangsiapa yang melanggar janjinya, maka akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri. Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (al-Fath:8-10)

 

“Orang-orang Badui yag tertinggal (tidak ikut pergi ke Hudaibiyah) akan mengatakan, ‘Harta dan keluarga kami telah merintangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami.’ Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah, ‘Maka, siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. Sebenarnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Tetetapi kamu menyangka Rasul dan orang-orang mukmin tidak akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan setan telah menjadikan kamu memandang baik dalam hatimu persangkaan itu, dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa. Barangsiapa yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Kami menyediakan untuk orang-orang kafir neraka yang menyala-nyala. Hanya kepunyaan Allah langit dan bumi. Dia memberi ampun kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan mengazab siapa yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Orang-orang Badui yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan, ‘Biarkanlah kami, niscaya kami akan mengikutimu.’ Mereka hendak mengubah janji Allah. Katakanlah, ‘Kamu sekali-kali tidak boleh mengikuti kami, demikian Allah telah menetapkan sebelumnya.’ Mereka akan mengatakan, ‘Sebenarnya kamu dengki kepada kami.’ Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.” (al-Fath: 11-15)

 

“Katakanlah kepada orang-orang Badui yang tertinggal, ‘Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam). Jika kamu patuhi (ajakan itu), niscaya Allah akan memberikan kepadamu pahala yang baik. Dan, jika kamu berpaling sebagaimana kamu telah berpaling sebelumnya, niscaya Dia akan mengazab kamu dengan azab yang pedih. Tiada dosa atas orang-orang buta, pincang, dan sakit (apabila tidak ikut berperang). Baragsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan barangsiapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.” (al-Fath: 16-17)

 

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berbaiat kepadamu di bawah pohon. Maka, Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat. Serta, harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan itu untukmu dan Dia menahan tangan manusia dari (membinasakan)mu (agar kamu mensyukuri-Nya) dan agar hal itu menjadi bukti bagi orang-orang muknim dan agar Dia menunjuki kamu ke jalan yang lurus. Dan (telah pula menjanjikan kemenangan-kemenangan) yang lain (atas negeri-negeri) yang kamu belum dapat menguasainya yang sungguh Allah telah menentukan-Nya. Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Sekiranya orang-rang kafir itu memerangi kamu, pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang, kemudian mereka tiada memperoleh pelindung dan tidak (pula) penolong. Sebagai sunnattullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu. Dialah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan)mu dan (menahan) tanganmu atas mereka. Dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Fath: 18-24)

 

“Merekalah orang-orang kafir yang menghalangi kamu dari (masuk) Masjidl Haram dan menghalangi hewan kurban sampai ke tempat (penyembelihannya). Kalau karena tidaklah laki-laki mukmin dan wanita-wanita mukmin yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuannmu, (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur-baur, tentulah kami akan mengazab orang-orang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih itu. Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan, (yaitu) kesombongan jahiliyah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang muknim. Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (al-Fath: 25-26)

 

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidilharam, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka, Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat. Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkankannya terhadap semua agama. Cukuplah Allah sebagai saksi. Muhammad itu utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang-orang kafir, tetetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat mereka dalam Taurat dan Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya. Maka, tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (al-Fath: 27-29)

 

Isyarat yang terkandung surat al-Fath ini bahwa Allah meridhai mereka yang berbaiat di bawah pohon di Hudaibiyah; bahwa kemudian Rasululah dan para shahabatnya akan memasuki Masjidilharam dengan aman; dan Makkah ditaklukan dalam waktu yang dekat, terbukti pada peristiwa fath Makkah. Rasululah dengan sepuluh ribu shahabatnya memasuki Makkah. Kaum Quraish yang selama ini mendzalimi kaum muslimin, tunduk menyerah kepada Rasulullah. Dan, yang tak kalah penting, dengan strategi Rasulullah saw. dan para shahabatnya dari luar Makkah dan Sayyidina Abbas dari dalam Makkah, Makkah ditundukkan dengan mudah dan tanpa pertumpahan darah!

 

Inilah dia, rahasia yang terkandung dalam surat al-Fath yang Allah pernah sampaikan kepada Rasul-Nya melalui mimpinya. Tatkala perjanjian Hudaibiyah ditandatangani, banyak shahabat protes kepada Rasulullah. Mengapa menyetujui perjanjian yang berat sebelah itu? Perjanjian yang (menurut para shahabat dan kacamata umum) merugikan kaum muslimin itu. Rasulullah mengetahui, dan shahabat tidak mengetahui rahasia di balik itu. Sehingga Hudaibiyah merupakan strategi mengalah (untuk sementara), kembali ke Madinah, dan (setelah beberapa tahun) kembali ke Makkah. Dan, menang!

 

Tentang surat al-Fath di atas dan Hudaibiyah, Ustaz Quraish Shihab dalam Tafsir al- Misbah, menguraikan antara lain, sebagai berikut: Semua butir perjanjian itu, walau secara lahiriah terlihat merugikan kaum muslimin, tetetapi dampak yang dihasilkannya sungguh merupakan kemenangan diplomasi yang sangat besar dan yang pada akhirnya mengantar pada tersebarnya agama Islam dan dikuasainya kota Makkah. Pendapat ini dikuatkan oleh riwayat yang menyatakan bahwa awal surah ini turun sekembalinya Nabi dan shahabat-shahabat beliau dari Hudaibiyah. Ada juga yang memahami sebagai kemenangan yang diraih Nabi saw. memasuki kota Makkah dan menguasainya. Penganut pendapat ini merujuk pada riwayat yang menyatakan bahwa pada hari memasuki kota Makkah itu, Nabi saw. membaca surah ini. Ada lagi yang menyatakan bahwa kemenangan yang dimaksud adalah kemenangan atas orang-orang Yahudi dengan keberhasilan Nabi saw. menguasai Khaibar dalam perjalanan beliau kembali dari Hudaibiyah.

 

Sayyid Quthub menyebut sekian banyak fath/kemenangan yang diraih, bermula dari janji setia yang dilakukan oleh para shahabat dan yang mengantar mereka meraih ridha Allah sehingga janji setia itu dinamakan Bai’atur Ridhwan, disusul dengan Perjanjian Hudaibiyah, dan dilanjutkan dengan aneka fath/kemenangan sesudahnya. Di sana ada kemenangan di bidang dakwah. Setelah Perjanjian Hudaibiyah dan terjadinya gencatan senjata, kaum muslimin berkonsentrasi dalam dakwah. Pada selang dua tahun saja antara perjanian itu dengan fath Makkah, jumlah umat Islam bertambah pesat. Kalau dalam perjalanan Nabi ke Hudaibiyah yang ikut hanya 1400 – 1500 orang, maka dua tahun setelah itu, dalam perjalanan ke Makkah, jumlah shahabat yang ikut adalah 10.000 orang. Ada juga  fath/kemenangan territorial. Kaum muslimin setelah perjanjian itu berhasil menaklukan sisa-isa kekuatan Yahudi dengan menguasai benteng mereka yang terkuat di Khaibar. Perjanjian itu juga menghasilkan pengakuan eksistensi kaum muslimin di hadapan kaum Quraish, mengizinkan mereka melaksanakan syariat agama di kota Makkah, bahkan kaum Quraish bersedia meninggalkan kota Makkah selama beberapa hari, agar kaum muslimin merasa aman dan tenteram dalam melaksanakan ibadahnya. Ini adalah kemenangan politik kaum muslimin! Sayyid Quthub, akhirnya menulis bahwa yang tidak kurang pentingnya adalah fath/kemenangan immaterial/kejiwaan yang diraih kaum muslimin dengan Baiatur Ridhwan yang mencurahkan ridha Allah kepada mereka lalu memberi gambaran indah tentang pengikut Nabi saw. sebagai mana terbaca pada akhir surah ini…

 

Oh ya, selain kasus Abu Jandal, ada suatu hal penting dalam perjalanan Perjanjian Hudaibiyah ini, yakni beberapa orang yang sudah menganut Islam tetetapi masih tinggal di Makkah, kemudian lari ke Madinah. Kasus-kasus ini menyulitkan posisi Rasulullah. Sesuai isi perjanjian tadi, mereka tidak boleh di terima di Madinah. Tetetapi kalau mereka dibiarkan kembali ke Makkah, maka akan mengalami penyiksaan dari kaum Quraish. Salah satu contoh kasus adalah peristiwa Abu Bashir dan beberapa muslimah yang lari ke Madinah. Peristiwa itu perlu dibaca kembali, karena strategi Abu Bashir ini berhasil membangun kekuatan Islam di luar Madinah. Secara singkat, akan diuraikan di bawah ini.

 

Setelah Perjanjian Hudaibiyah ditandatangani, kaum muslimin yang masih tinggal di Makkah semakin banyak mengalami gangguan dari kaum Quraish. Banyak kaum muslimin yang sudah tidak tahan lagi menerima perlakuan kasar  orang-orang Quaraisy. Satu di antara mereka adalah seorang bernama Utbah bin Usaid bin Jariyah atau lebih dikenal dengan Abu Bashir. Ia melarikan diri ke Madinah. Para pembesar Quraish mengutus dua orang mengantar surat kepada Rasulullah perihal larinya Abu Bashir ini. Rasul berkata kepada Abu Bashir,

 

“Hai Abu Bashir, sesungguhnya kami telah memberikan perjanjian kepada kaum (Quraish) itu seperti apa yang kamu ketahui, dan tidak sah (boleh) cidera dalam agama kami. Karena itu, sesunggguhnya Allah akan menjadikan bagi kamu dan bagi orang yang beserta kamu dari golongan orang-orang tertindas kelapangan dan kebebasan. Maka, pergilah kembali kepada kaummu.”

 

Singkat cerita, Abu bashir bersama dua orang yang menjemputnya, meninggalkan Madinah menuju Makkah. Dengan meninggalkan Madinah, Abu Bashir merasa sudah tidak lagi melanggar Perjanjian Hudaibiyah, karena ia sekarang tidak sedang datang kepada Muhammad (sesuai isi perjanjian itu) bahkan sedang meninggalkan Madinah. Di perjalanan ia berhasil membunuh seorang Quraish. Ia datang kepada Rasulullah di Madinah dan berkata, “Ya Rasulullah, telah sempurna tanggungan engkau, karena engkau telah menyerahkan saa kepada kaum musyrik Quraish, dan saya telah mempertahankan agama saya daripada saya difitnah atau dipermainkan.” Rasul menjawab, “Pergilah engkau, kemana engkau suka!” Ia kemudian ia lari ke ke suatu daerah yang dikenal sebagai Iesh, termasuk wilayah Zil-Marwah. Daerah itu merupakan daerah yang dilalui kaum musyrikin Quraish apabila mereka berdagang ke Syam. Tak lama kemudian, Abu Jandal bergabung dan disusul yang lainnya hingga berjumlah tujuh puluh orang.

 

Beberapa hari setelah perjanjian Hudaibiyah, kaum muslimah di Makkah yang suaminya masih musyrik, juga melarikan diri ke Madinah. Saudara-saudara dan para suami mereka mengejar ke Madinah dan menuntut agar mereka dikembalaikan ke Makkah. Mereka ketakutan dan minta perlindungan Nabi saw.. Ketika itu turunlah ayat,

 

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu wanita-wanita yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui keimanan mereka. Jika kamumtelah mengetahui bahwa merka (benar-benar0 beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka. Berikanlah kepada (suami-suami mereka) mahar yang telah mereka bayarkan… .“(QS. Al-Mumtahanah:10).

 

Dengan turunnya ayat tersebut jelaslah jaminan keamanan dan perlindungan bagi para wanita tadi dan bebas dari ancaman kaum musyrik Quraish.

 

 

Kembali ke pembicaraan mengenai Tanah Haram. Sebelum bercerita aktivitas di kota Haram ini, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu, apa itu kota Haram. Untuk itu, izinkan saya mengutip keterangan al-Ustaz Quraish Shihab tentang kota dan kata Haram ini untuk menghantarkan kita kepada pemahaman bahasan berikutnya.

 

Kata haram bermakna larangan dan pengetatan, sebagai lawan kata dari halal yang antara lain bermakna pelepasan dan penguraian. Makna ini kemudian berkembang menjadi berarti boleh, sedang kata haram berkembang pula maknanya sehingga berarti hormat.

 

Tanah haram adalah tanah atau wilayah yang terlarang bagi para penganiaya, agresor, dan semacamnya, atau wilayah yang mempunyai kehormatan dan harus dihormati. Kata haram yang dirangkaikan dengan tanah atau masjid tidak berarti haram menurut tinjauan fikih, kendatipun makna ini terambil dari akar kata yang sama.

 

Makin terhormat sesuatu, makin banyak pula larangan yang berkaitan dengannya. Bukankah jika kita menghadap seseorang yang dihormati, maka ada beraneka ragam peraturan, larangan, dan ketenmu protokoler yang menyertainya? Adalah tidak sopan atau tidak akan diperkenankan kita menghadap seseorang yang terhormat atau dihormati dengan memakai celana jeans atau bersandal jepit. Lain halnya kalau kita  mau bertemu orang kebanyakan. Mengapa timbul pelbagai larangan itu? Jawabannya, karena yang akan ditemui adalah seseorang yang terhormat. Jadi, penghormatan menghasilkan larangan-larangan.

 

Kota Haram adalah wilayah yang penuh hormat dan harus dihormati, karena itu ada sekian banyak ketenmu dan larangan yang berkaitan dengannya. Di Tanah haram ini, tidak diperkenankan bagi siapa pun untuk berburu, mencabut pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan, membuang atau membawa sebagian dari tanah atau batu-bamu keluar dari Tanah Haram. Itulah sebagian dari keistimewaan Tanah Haram, Makkah al-Mukaromah. Sangatlah wajar kalau Allah sendiri bersumpah dengan kota ini:

 

Laa uqsimu bihadzal balad (1) Wa anta hillun_bihadzal balad (2)

 

Salah satu makna dari ayat-ayat di atas adalah :

 

Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Makkah), walau engkau, Wahai Muhammad, tinggal di sana dan dihalalkan oleh kaum musyrikin perlakukan tidak wajar terhadapmu (QS. Al-Balad : 1-2)

 

Ketika Rasulullah hidup di Makkah, kita tahu dari sejarah, bahwa Rasulullah SAW, tidak hanya dilecehkan, melainkan dianiaya oleh kaum musyrikin. Namun, Allah melalui firmannya seakan-akan menegaskan bahwa, “Kota Makkah tetap agung di sisi-Ku, walaupun Nabi yang Kucintai diperlakukan di sana secara tidak wajar, karena itu engkau, wahai Muhammad harus tetap mengangungkannya, walaupun mereka telah melampaui batas dalam penganiayaan terhadapmu.”

 

Apa pesan ayat ini bagi para jamaah haji? Di sana para jamaah boleh jadi mendapatkan perlakuan tidak wajar dari penduduk Makkah atau dari sesama jamaah. Keberadaan manusia yang demikian banyak, dengan pelbagai dampaknya, berbenturan kepentingan, cuaca yang tidak ramah, adat istiadat yang berbeda, keletihan fisik, dan sebagainya, semuanya dapat melahirkan ketersinggungan, atau perlakuan tidak wajar, yang sangat potensial menimbulkan kejengkelan. Nah, ayat di atas berpesan bahwa apa pun yang dihadapi atau dialami selama berada Tanah Haram, jangan sampai kekesalan dan kemarahan ditimpakan ke kota suci ini. Bukankah Allah dan Rasul-Nya tetap mengagungkannya, walau penganiayaan terhadap Rasul mencapai puncaknya?

 

Kota Makkah – apa pun yang terjadi padanya- tetap harus dekat di hati setiap muslim. Ini agaknya menjadi sebab mengapa setiap kali Allah merujuk ke Makkah dengan kata balad (kota), selalu digunakan-Nya kata hadza yang berarti ini, yakni kata yang digunakan untuk menunjukan sesuatu yang dekat. Kota ini, memang selalu dekat di hati orang-orang yang beriman, sehingga selalu saja hati mereka cenderung kepadanya, selalu saja –walau telah berulang-ulang berkunjung-  masih juga terpaut hati dengannya, sehingga selalu terpanggil untuk kembali ke sana. Itulah salah satu buah do’a Nabi Ibrahim a.s:

 

Faj’al afidatan_minannaasi tahwie ilaihim

 

Jadikanlah hati (sebagian) orang cenderung kepada mereka (QS Ibrahim: 37)

 

Semoga kita diberikan kekuatan dan dimudahkan-Nya untuk menghormati Tanah Haram ini, sehingga dengan pelbagai keutamaan kota ini dan juga ujian yang mungkin datang kepada kita selama menunaikan ibadah haji, semakin mendekatkan kita kepada-Nya dan menjadikan ibadah haji kita semakin bermakna. Amien.

 

 

 

Makkah dalam Sejarah

 

Posisi, Suhu Udara, dan Curah Hujan

Kota Makkah terletak di bagian barat Saudi Arabia, termasuk wilayah Hijaz, yang dikelilingi gunung-gunung batu tak berpohon. Makkah merupakan kota pertama di dunia, karena Makkah adalah kota yang pertama kali didiami oleh manusia pertama, Adam dan Hawa. Dari sinilah bermula asal-muasal manusia di seluruh dunia. Dan, di sinilah masjid paling utama berada, Masjidilharam beserta Kakbah. Di sini pula Adam dan Hawa dipertemukan setelah sekian lama berpisah. Di tanah ini, hewan buruan tidak boleh diburu, pepohonan tidak boleh ditebang, tanah dan batunya tidak boleh dibawa keluar daerah ini.

 

Makkah berada di ketinggian sekitar 300 m dari permukaan laut; merupakan lembah memanjang di antara bukit-bukit gersang; membentang dari barat ke timur sepanjang lebih kurang 3 km, dengan lebar sekitar 1,5 km. Jarak dari kota-kota penting di sekitarnya adalah sebagai berikut:

 

  • Jeddah, terletak di sebelah barat Makkah, berjarak sekitar 74 km.
  • Riyadh, terletak di sebelah timurlaut dari Makkah, berjarak sekitar 1000 km.
  • Madinah, disebelah utara, berjarak dari Makkah sekitar 500 km.
  • Thaif, di sebelah selatah Makkah, berjarak sekitar 80 km.

 

Makkah dan sekitarnya karena terletak di lintang utara dari khatulistiwa, maka pada bulan-bulan Juli sampai dengan Agustus, seperti kota-kota lainnya di belahan bumi utara, mengalami musim panas. Udara sangat panas, bisa mencapai 540 C; pada bulan-bulan Desember dan Januari, udara angat dingin sampai sekitar 100 C. Selain karena posisi geografisnya, Makkah dan sekitarnya sangat dipengaruhi iklim gurun. Karenanya, perbedaan suhu udara antara siang dan malam bisa sangat kontras. Para jamaah haji, khususnya jamaah haji Indonesia, sebaiknya memahami kapan ia berangkat haji atau umrah, atau pada bulan (Masehi) apa jatuhnya musim haji? Sehingga bisa menyesuaikan perbekalan pakaian yang perlu dibawa. Apakah perlu baju hangat atau tidak? Ini sangat penting, mengingat perjalanan yang jauh dan waktu yang tidak sebentar. Sering kali kita mendapat masukan dari kawan atau kerabat yang pernah naik haji sebelum kita untuk, misalnya, membawa pakaian dan perlengkapan untuk udara panas. Mereka, dulu, waktu pergi jatuh pada musim panas. Padahal, pas kita pergi haji akan jatuh pada musim dingin. Dan, sebaliknya. Sekali lagi, kita perlu memperhatikan pada bulan-bulan musim haji yang kita akan pergi haji padanya.

 

Hujan, dalam setahun, mungkin hanya 3 atau 4 kali turun. Jadi, hujan sangat jarang turun di kota ini. Pernah seorang kawan melihat tenda yang ia tempati agak terbuka ke atas. Ia sangat khawatir. Seorang lainnya yang sudah lama mukim di sana mengomentari, “Jangan khawatir, Pak! Di sini hujan turun 40 tahun sekali.” Tentu saja ia berkelakar. Tetapi komentarnya itu menandakan bahwa memang intensitas curah hujan sangat rendah di sini. Bagi orang yang tinggal di Bogor, seperti penulis, hal ini sangat kontras. Di Bogor, nyaris tak ada musim kemarau; hampir tiap hari ada hujan.

 

Antara Makkah yang sangat jarang turun hujan dan Bogor yang sangat banyak curah hujan, ternyata ada hubungan erat antara keduanya. Makkah yang jarang turun hujan itu, adalah tempat paling utama di dunia untuk berdo’a. Sejumlah tempat mustajab, terdapat di sana. Bagaimana dengan Bogor? Bogor, kota  dengan curah hujan terbanyak di Indonesia adalah –merupakan salah satu- kota paling banyak menerima rahmat-Nya di negeri ini. Bukankah hujan itu rahmat? Lagi pula, salah satu waktu yang mustajab untuk berdo’a adalah ketika turun hujan! “Rugi”-lah kita, kalau tinggal di kota yang banyak hujan, tetapi jarang berdo’a. Sama seperti kita berada di Makkah, tetapi kurang pandai memanfaatkan waktu dan tempat ini untuk banyak berdo’a. Jadi, keduanya merupakan kota yang sangat baik untuk banyak berdo’a!

 

 

Makkah dan Penduduknya pada Abad ke-5 dan ke-6 Masehi

Pertengahan abad ke-5, Makkah telah mengalami masa peralihan dari fase kebadawian ke fase peradaban, kendatipun peradaban dalam arti terbatas. Tatanan masyarakatnya berdasarkan prinsip-prinsip permufakatan, saling pengertian yang bersifat kebersamaan dalam tugas-tugas kemasyarakatan.

 

Makkah adalah lembah yang diapit gunung-gunung batu di sekitarnya. Dengan adanya Kakbah di lembah Makkah ini, maka semakin banyak orang bertempat tinggal di Makkah. Wilayah Makkah sendiri, semakin lama semakin bertambah luas. Rumah-rumah penduduk yang semula berupa kemah-kemah berubah menjadi rumah-rumah yang dibangun dari material batu dan tanah liat. Sebagai penghormatan kepada Kakbah, pada mulanya tak ada penduduk yang berani membuat bangunan beratap segi empat. Tetetapi lambat laun, sebagian di antara mereka berpendapat lain, sehingga tak sedikit bangunan beratap bersegi empat. Namun demikian, rumah-rumah yang mereka bangun tidak melebihi ketinggian Kakbah.

 

Penduduk yang berada umumnya mempunyai tempat peristirahatan yang mereka bangun di luar kota. Pada musin dingin, mereka menetap di Makkah, dan pada musim panas mereka tinggal di tempat peristirahatan, di Thaif. Sebagian mereka, pada musim panas pindah ke Syam (Suriah), dan pada musim dingin pindah ke Yaman. Pemuda-pemuda Makkah, terkenal menyukai kebiasaan hidup rapi, berpakaian baik dan indah.

 

Pada masa itu Makkah telah menjadi kota dagang. Saudagar-saudagar Makkah keluar-masuk negara-negara Afrika dan Asia. Dari negeri-negeri yang disinggahinya, mereka membawa barang-barang bermutu dan dibutuhkan penduduk Makkah. Dari Afrika mereka membawa barang-barang, seperti: gading, emas, kayu, dan besi. Dari Yaman mereka membawa kulit, wewagian, dan bahan pakaian. Dari Irak membawa rempah-rempah. Dari India mereka membawa emas, timah, batu permata, gading, kayu cendana, rempah-rempah, dan za’fran. Dari Mesir dan Syam, mereka membawa minyak goreng, biji-bijian, senjata, sutera dan arak.

 

Kepada raja-raja dan para bangsawan, mereka mengirimkan barang-barang terbaik dari Makkah. Barang yang paling disukai para bangsawan di negeri jauh itu adalah barang-barang yang terbuat dari kulit, seperti yang pernah dikirimkan oleh Abdullah bin Rabiah dan Amr bin Al- ‘Ash bin Wa’il kepada Raja Najasi ketika mereka meminta agar kaum muslimin yang hijrah dikembalikan ke Makkah.

 

Ada pula sejumlah wanita kaya yang menjadi pedagang besar. Mereka mengirim kafilah-kafilah peniagaan ke negeri-negeri yang jauh, seperti ke Syam dan negeri lainnya. Di antara mereka, yang paling terkenal seorang bernama Handzaliyah dan Khadijah binti Khuwalid.

 

Perdagangan di Makkah mencapai kemajuan yang demikian pesat, hingga banyak di antara penduduknya yang menjadi kaya raya. Mereka bisa mengirim kafilah-kafilah dagang dari dan ke negeri tetangga, dengan jumlah kafilah melebihi 1000 ekor unta, yang mengangkut barang-barang dagangan bernilai sangat mahal. Di antara keluarga-keluarga Quraish yang terkenal sangat kaya dan hidup dalam kemewahan, antara lain: Al-Walid bin Mughirah, Abu Lahab, dan Abu Uhaihah bin Sa’id bin Al-Ash bin Umayyah. Yang disebut terakhir adalah pemilik sebagian barang-barang dalam kafilah yang dipimpin oleh Abu Sufyan dan ‘Abd bin Rabia’ah Al-Makhzumi. Orang kaya lainnya adalah Abdullah bin Jud’an At-Taimiy; orang yang biasa minum arak dari gelas emas. Ia terkenal pula sebagai orang yang suka memberi makan fakir miskin dan orang-orang yang kelaparan. Abbas bin Abdul Muthalib, juga terkenal sebagai orang kaya. Ia banyak mengeluarkan uang untuk menolong orang lain. Kekayaannya didapat dari pekerjaannya sebagai pelepas uang riba hingga saat datangnya agama Islam. Ketika Rasulullah mengumumkan penghapusan riba, dialah orang pertama yang menjadi sasaran larangan itu. Dalam pidato haji wada, Rasulullah saw. menegaskan :” Riba pertama yang kuhapuskan ialah riba Al-Abbas bin Abdul Muthalibin”

 

Penduduk Makkah menaruh perhatian besar terhadap masalah keturunan dan berita-berita mengenai nenek moyang. Demikian juga pada syair-syair, astronomi, ramalan, pedukunan dan ilmu pengobatan. Mereka suka bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya, sehingga dikenal sebagai nomad atau nomaden.

 

Makkah adalah pusat keagamaan, perekonomian dan perdagangan di Jazirab Arabia. Dalam perkembangan selanjutnya, Makkah lebih merupakan kota spiritual saja. Kemudian mengalami kemerosotan di bidang kepercayaan dengan penyembahan penduduknya kepada berhala-berhala. Seperti itulah kondisi masyarakat Makkah pada pertengahan abad ke-6 Masehi. Masa itu adalah masa menjelang kelahiran Muhammad bin Abdullah.

 

Suku Quraish

Dalam pembicaraan mengenai Makkah dan penduduknya, kita tak akan lepas dari kata-kata quraish atau quraish. Untuk itu, ada baiknya kita mengetahui apa, siapa dan bagaimana kedudukan suku quarish itu. Di bawah ini, secara ringkas, sekedar penghantar, dibicarakan seperlunya.

 

Para ulama berpendapat bahwa kata “quraish” atau “quraish” berasal dari kata “quraish”, yang artinya apa-apa yang dikumpulkan dari sana-sini. Ulama lain berpendapat bahwa kata qurasy itu berasal dari kata “qarrasya” yang mempunyai arti berpencaharian dengan berdagang.

 

Perihal kata “quraish’ ini, ada yang berpendapat bahwa orang yang pertama kali memakai nama itu adalah Quraish bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah, salah seorang yang termasuk golongan nenek moyang Nabi Muhammad saw.; ada juga yang berpendapat lain.

 

Kitab-kitab tarikh menyebutkan bahwa setelah keturunan Ismail dan Adnan (keduanya merupakan nenek moyang suku Quraish), di antara keturunan mereka ada yang bernama Fihr. Ia adalah orang yang sangat kuat pendiriannya dalam mempertahankan Kakbah dari gangguan suku lain. Ketika orang-orang dari keluarga keturunan Himya dari Yaman, dengan bersenjata lengkap datang ke Makkah untuk membongkar Kakbah dan memindahkannya ke Yaman, Fihr dengan segala daya upayanya, menolak keras usaha itu dan ia berhasil memukul mundur pasukan itu. Mereka kembali ke Yaman tanpa membawa hasil. Sejak itu, Fihr menjadi lebih dikenal di kalangan masyarakatnya.

 

Fihr adalah seorang pedagang yang berjualan barang kepada para jamaah haji yang datang ke Makkah. Ia adalah orang yang suka memperhatikan dan membantu orang-orang yang melaksanakan haji terutama mereka yang berkekurangan. Apabila ia berjumpa jamaah haji yang menderita kemiskinan, dia akan berusaha mencari banmu kepada orang-orang yang sekiranyanya bisa membantu. Setelah mendapatkan banmu itu, ia mengumpulkannya dan memberikannya kepada jamaah yang berkekurangan tadi. Karena itulah ia dikenal sebagai Quraish; artinya ‘apa-apa yang dikumpulkan dari sana-sini’. Anak-cucu Fihr kemudian dikenal sebagai keturunan Quraish. Nama Quraish lambat-laun menjadi nama sebuah suku bangsa yang besar dan disegani; terlebih setelah Qushayyi berhasil mengembalikan kekuasaan Hijaz ke tangan golongannya. Sejak itulah nama Quraish menjadi nama suatu golongan bangsa Arab di kota Makkah. Dari suku bangsa Quraish inilah, kelak lahir seorang pemimpin dunia, pembawa obor hidayah, membawa umat dari gulita malam ke mentari pagi nan cerah-ceria. Dialah jungjungan kita semua, Muhammad Rasululah saw. Agar ibadah haji kita nyambung dan tidak tulalit,

tidak bisa tidak, kita harus membaca sejarah Nabi saw. yang menjadi pemeran utama sejarah kedua Tanah Suci, Makkah dan Madinah. Karenanya, pada bagian lain dari tulisan ini, saya ingin menyampaikannya, walaupun secara ringkas.

 

 

Keutamaan Makkah

Sangatlah banyak keutamaan yang dimiliki Makkah al-Mukaromah ini. Keutamaan-keutamaan itu, antara lain:

  • Tempat dimana terdapat Rumah Allah (Baitullah).
  • Tempat yang Allah mensyariatkan kepada manusia untuk bertawaf di Kakbah.
  • Melalui Kakbah, Hajar Aswad, dan Rukun Yamani, Makkah adalah satu-satunya tempat dimana Allah mensyariatkan untuk menghadap dan melambaikan tangan.
  • Tempat yang Allah mewajibkan kepada yang mampu, untuk mengujunginya.
  • Tempat yang di dalamnya ada satu masjid yang paling utama di dunia.
  • Tempat yang paling mustajab untuk berdo’a.
  • Merupakan kota kelahiran manusia terbesar sepanjang sejarah bumi.
  • Merupakan tempat yang menjadi tujuan utama untuk menemui-Nya.
  • Tempat yang setiap orang yang masuk ke dalamnya mendapatkan perasaan khusyu dan kerendahan hati.
  • Tempat yang dimaksudkan untuk menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu.
    • Merupakan Tanah Suci yang aman; diharamkan menumpahkan darah padanya.
    • Tempat yang, kita tidak boleh menghadap atau membelakanginya ketika buang hajat.
    • Tempat yang Allah memberikan balasan secara kontan bagi siapa yang berniat jahat, walaupun belum melakukannya.

 

Makkah dalam Walimatussafar dan as-Sunnah

Makkah merupakan kota yang paling banyak disebut dalam Walimatussafar dan as-Sunnah. Ini wajar, karena Rasul, penerima wahyu dari-Nya, lahir dan besar di kota ini. Dalam ayat-ayat al_Qur’an, adakalanya Makkah disebutkan secar jelas; adakalanya digunakan kata ganti, seperti: Bakkah, Ummul Qura, al-Balad, al-Balad al-Amien, al-Baldah, dan sebagainya. Ada baiknya kita lihat sejenak sebagian dari ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut.

 

Dan Dialah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Makkah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka” (QS. Al-Fath: 24).

 

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah), yag diberkati dan menjadi petunjuk bagi manusia” (QS. Ali Imran: 96).

 

Dan ini (Walimatussafar) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Makkah) dan orang-orang yang di sekitarnya” (QS. al-An’am: 92).

 

Dan ingantlah ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, jadikan negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhlanlah aku beserta anak-cucuku dari menyembah berhala” (QS. Ibrahim: 35).

 

“Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Makkah); dan kamu (Muhammad) bertempat di kota ini “ (QS. Al-Balad: 1-2).

 

“Dan demi kota (Makkah) ini yang aman” (QS. at-Tin: 3).

 

“Aku hanya diperitahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini (Makkah) yang telah menjadikannnya suci dan kepunyaan-Nyalah segala sesuatu; dan aku diperintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” (QS. al-Naml: 91).

 

“Dan mereka berkata: “Jika kami mengkuti petunjuk bersama kamu, niscaya kami akan diusir dari negeri kami.” Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram (tanah suci) yang aman yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan) untuk menjadi rezeki (bagimu) dari sisi-Ku? Tetetapi kebanyakan mereka tidaak mengetahui” (QS. al-Qashas: 57).

 

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman, di dekat rumah Engkau yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat, maka jadikanlah hati sebagian orang cenderung kepada mereka. Dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS. Ibrahim : 37).

 

Rasulullah saw. pernah bersabda ketika beliau berada di hazwarah (Pasar Makkah), “Demi Allah, sesungguhnya engkau (Makkah) ialah sebaik-baik bumi Allah, dan bagian bumi Allah yang paling dicintai-Nya; seandainya aku tidak dikeluarkan darimu, maka aku tidak akan keluar.” (HR. Tirmidzi).

 

Pada kesempatan lain , Rasul berdabda, ” Tidak ada bumi yang lebih baik dan lebih aku sukai daripadamu (Makkah); seandainya kaumku tidak mengusirku, maka aku tidak akan tinggal di selainmu (HR Tirmidzi)

 

 

Kelahiran Muhammad

Lihat Anne marie Schimmel dan semua ktab tarikh yg ada.

 

 

 

Masjidilharam –Masjid Paling Utama di Dunia

Adalah masjid dimana pada bagian tengahnya terdapat Kakbah. Masjid ini berukuran sangat besar; bersama-sama dengan halamannya dapat menampung jamaah 900 ribu hingga 2 juta orang, memiliki 95 pintu masuk.

 

Pada masa Rasulullah saw., Masjidilharam ini hanyalah berupa halaman kosong di sekeliling Kakbah yang dibatasi rumah-rumah penduduk; tidak ada dinding tembok pembatas Masjid ini. Barulah pada masa Umar bin Khaththab dibuat dinding-dinding itu. Umar membuat dinding-dinding, pintu-pintu masjid, dan melapisi lantai tawaf dengan batu-batu kerikil. Umar membebaskan tanah di sekitar Masjidilharam dan memperluas areal masjid pada tahun ke 17 Hijriah atau tahun 639 Masehi.  Setelah itu Masjidilharam mengalami perluasan dan renovasi berkali-kali, dan yang terakhir dilakukan oleh Raja Fahd pada tahun 1409 Hijriah atau 1988 Masehi, seperti yang kita saksikan sekarang.

 

Pintu dan Menara Masjid

Seperti disebutkan di atas, masjidil memiliki 95 pintu. Pintu nomor 1 (Baabul Malik Abdul Aziz) berdekatan dengan pintu nomor 95; lokasi keduanya dekat ke Hotel Hilton. Lokasi pintu-pintu tersebut, selain berfungsi sebagai akses keluar dan masuk jamaah, juga sangat berguna apabila kita hendak bertemu seseorang, sesama jamaah (teman, saudara atau siapa pun). Kita bisa janjian untuk bertemu di salah satu dari pintu-pintu itu. Bagi para jamaah adalah penting untuk mengingat dari pintu nomor berapa kita masuk, agar memudahkan waktu kembali keluar masjid. Tidak jarang jamaah tersesat di dalam masjid. Tidak tahu harus ke pintu mana dia keluar untuk kembali ke penginapannya. Ada baiknya senantiasa membawa buku kecil, yang antara lain, bisa digunakan untuk mencatat nomor pintu ini.

 

Dari ke 95 pintu tersebut, empat di antaranya merupakan pintu-pintu utama. Pintu-pintu ini dibedakan dengan pintu yang lain dari ukurannya yang besar. Keempat pintu tersebut adalah: Baabul Malik Abdul Aziz, Baabul Fath, Baabul Umrah, dan Baabul Malik Fahd). Keempat pintu itu juga diapit oleh menara-menara indah, menjulang tinggi. Ada delapan menara yang tiap dua menara tersebut mengapit pintu utama, dan 1 menara berada di sebelah pintu Safa. Sehingga total menara di Masjidilharam adalah sembilan. Menara-menara inilah yang bisa terlihat dari jarak agak jauh. Selain menara, seluruh bagian Masjidilharam terkungkung oleh gedung-gedung tinggi di sekitarnya.

 

Pendingin Udara

Apabila kita duduk atau berdiri di lantai Masjidilharam, kita akan merasakan dinginnya lantai itu. Mengapa dingin? Tentu saja karena di bagian bawahnya disalurkan udara dingin dari mesin pendingin alias AC. Dinginnya lantai ini, pada siang hari, menambah nikmatnya salat di dalam masjid. Kalau tanpa pendingin, terlebih ketika kita melakukan tawaf, lantai akan terasa panas sekali. Alhamdulillah, teknologi modern, sekali lagi, bisa menambah nikmatnya beribadah di Masjidilharam.

 

Toilet dan Tempat Wudlu

Pada bagian halaman masjid terdapat bangunan toilet dan tempat wudlu yang sangat besar, masing-masing untuk laki-laki dan perempuan, terdiri dari dua lantai, di bawah tanah. Satu terletak di halaman masjid antara pintu nomor 1 (Baabul Malik Abdul Aziz) dengan Hotel Hilton, satu lagi terletak di halaman masjid dekat pintu Marwa (dekat Pasar Seng). Luas keseluruhannya mencapai 14.000 m2.  Di tempat ini kita bisa berwudlu dengan santai, sambil duduk pada batu marmer.

 

Pada waktu-waktu salat, beberapa menit menjelang azan, tempat ini dijejali jamaah. Tetapi, kendatipun jamaah demikian banyak, kran-kran yang ada, juga jumlahnya sangat banyak, cukup memadai untuk jamaah (saya pernah menghitungnya, tetapi sekarang lupa lagi). Anda tak perlu khawatir antri lama. Cukup beberapa detik saja antrinya. Apabila Anda ada maksud ke toilet, sebaiknya dilakukan agak jauh dari waktu salat. Supaya leluasa.

 

Pelataran bangunan toilet dan tempat wudlu ini, juga dimanfaatkan para jamaah yang tidak tinggal di maktab atau hotel, untuk menginap. Ada ratusan sampai ribuan jamaah menginap di sini. Tidak hanya jamaah laki-laki, melainkan juga ibu-ibu dan anak-anak. Lumayan agak terlindungi dari dinginnya udara malam. Dan, yang lebih penting, tak perlu bayar penginapan. Di antara mereka, tak ada jamaah dari negara kita. Mereka umunya datang dari negara-negara Asia Tengah dan Afrika Utara.

 

Tentang kondisi dan situasi toilet untuk jamaah haji yang tamu Allah ini, kendatipun terkesan kurang enak dibicarakan di sini, tetetapi ada baiknya juga Anda ketahui.  Toilet untuk tamu Allah ini, tidak seperti biasanya atau tidak seperti banyak kita jumpai di Jakarta atau dikota-kota besar lainnya di manca negara, baik di hotel-hotel ataupun sebagai fasilatas umum melainkan “agak” berbeda. Di banyak kota besar – dan kecil- di negeri kita atau di belahan dunia lainnya, toilet, setelah kita masuk ke bagian dalamnya, dibagi dua “jurusan”. Kedua jurusan tersebut adalah “jurusan kecil” -sesuai fasilitas yang tersedia- umumnya dilakukan sambil berdiri; dan “jurusan besar” –yang, tentu saja-dilakukan tidak sambil berdiri, melainkan dengan posisi berjongkok atau duduk. Tetetapi, toilet (maaf, saya harus berkali-kali menulis kata ini) yang siapkan untuk menyambut tamu agung ini, tidak terbagi dalam dua, melainkan satu “jurusan”: disatukan. Kalau disatukan, pasti kedua “kegiatan” utama di dalamnya tidak dilakukan dengan berdiri. Lantas, apa yang beda? Apa yang menarik atau tidak menarik dari toilet di kota yang dikunjungi umat Islam dari seluruh penjuru dunia ini? Yang kesemuanya tiada lain, melainkan tamu-tamu Allah!

 

Tamu-tamu mulia atau dianggap mulia dalam pandangan dunia saja, akan disambut dengan fasilitas yang utama. Bila Anda pejabat tinggi negara, atau petinggi di salah satu institusi atau perusahaan datang bertamu atau menghadiri undangan mu rumah di sebuah kota, tentu Anda akan diberikan fasilitas kelas utama: hotel bintang lima, lengkap dengan pelbagai fasilitas yang utama juga. Sekarang kita kembali ke hal toilet. Jangankan di hotel bintang lima, di hotel kelas melati pun toiletnya akan bersih; ada shower khusus untuk di toilet atau gayung untuk bersih-bersih. Pokoknya, nyamanlah. Bagaimana halnya toilet untuk para tamu yang mulia, yang diundang bukan hanya oleh petinggi Negara, melainkan diundang Allah. Tamu Allah!

 

Toilet ini –jongkok- ini, dilengkapi dengan sebuah kran yang airnya, baguslah, cukup deras. Dalam kaitannya sebagai alat bersih-bersih, kran ini dilengkapi selang. Dan, …ini dia…, selang “istimewa” ini, “hebatnya”, ya, hanya selang saja yang menyambung dari kran, kemudian terjuntai ke lantai, tanpa gantungan, apalagi seperti shower yang kita bicarakan di atas. Seorang kawan saya, pernah berkomentar, ”Untuk menyambut tamu urusan dunia saja, fasilitas ini bisa sangat bagus. Mengapa untuk tamu Allah kondisinya seperti ini?” Dan, bagi pemeritah negeri yang kaya raya ini, hal itu adalah sangat-sangat kecil saja.

 

Boleh jadi, ada yang berkomentar, “Jangan samakan kondisi, situasi, dan kebiasaan model toilet di Saudi dengan tempat lain!” Jawabnya? “Tak perlulah jauh-jauh kita cari pembandingnya. Masuklah salah satu hotel terdekat dengan Masjidilharam atau dengan Masjid Nabawi. Lihat bagaimana keadaan fasilitas yang satu ini!”

 

O ya, ada yang mirip, bahkan hampir serupa dengan model fasilitas ini, paling tidak, dari yang pernah saya tahu. Di Hong Kong, tepatnya, di Kow Loon, di sisi jalan utama, Nathan Road, ada sebuah masjid bagus, namanya Kow Loon Mosque (cek kamera pak eddy Hermanto) and Islamic Center. Desain toiletnya bias dkatakan sama dengan di depan Masjidilharam atau depan Masjid Nabawi, tetapi ada yang sangat beda. “Bedanya?” Bedanya, selain lebih bersih, kran tadi dilengkapi dengan shower untuk bagian bersih-bersih dan tombol/kran flush -seperti di pesawat- untuk membuang jauh hasil kegiatan di dalamnya. Melihat potongan wajah jamaah dan anak-anak yang sedang belajar di salah satu ruang dari kompleks masjid ini, yang dijadikan madrasah, saya menduga masjid dan Islamic Center yang bagus ini dibangun oleh komuninas migran dari Pakistan atau India, atau keduanya. Pertanyaannya, “Mengapa masjid yang dibangun oleh komunitas migran di negeri yang umat Islamnya minoritas, fasilitasnya bisa jauh lebih baik dari yang difasilitasi oleh pemerintah yang kaya minyak?” Silakan Anda mencari jawaban dan solusinya.

Mudah-mudahan, kelak, akan berubah menjadi baik. Paling, itu saja harapan kita.

 

 

Keutamaan Masjidilharam

Dalam shahih Muslim disebutkan bahwa suatu hari Abu Dzar berkata pada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, masjid apakah yang pertama kali dibangun di muka bumi ini?” Rasulullah menjawab, “Masjidilharam.”  “Lalu masjid apa lagi?” tanya Abu Dzar. Beliau menjawab, “Masjidil Aqsha.”  “Berapa lama antara keduanya?” lanjut Abu Dzar. “Empat puluh tahun,” kata Rasulullah.

 

Dari Jabir ra. Dikisahkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Salat di masjidku ini adalah 1000 kali lebih utama daripada salat di masjid selainnya, kecuali Masjidilharam. Karena salat di Masjidilharam lebih utama 100.000 kali daripada salat di masjid lain.” (H.R. Ibnu Majah).

 

Di dalam masjid inilah terdapat tempat-tempat paling mustajab di dunia. Di dalamnya ada Kakbah dengan Hajar Aswad, Multazam, Pancuran Emas, Hijir Ismail, dan Makam Ibrahimnya. Juga Safa dan Marwah. Dan, tentu saja sumur Zamzam.

 

Masjidilharam dinyatakan Allah sebagai tempat yang aman. Allah berfirman:

 

Man dakholahu kaana aaminan

 

Siapa yang memasukinya, maka dia aman (QS. Ali Imran: 97)

 

 

Siapa pun yang masuk masjid, orang jahat sekalipun, maka dia terlindungi, aman, tidak bisa diganggu.

 

Sehubungan dengan salat sunat yang hanya bisa dilakukan di masjid, tahyatul masjid, maka khusus untuk Masjidilharam, tidak untuk masjid lain di seluruh dunia, dilakukan dengan tidak salat, melainkan tawaf. Tahyatul masjid hanya dilaksanakan apabila keadaan tidak memungkinkan untuk tawaf; bisa  karena banjir, seperti  yang pernah terjadi pata tahun 1950; karena demikian penuhnya pelataran Kakbah oleh jamaah yang sedang tawaf; atau khawatir ketinggalan salat wajib berjamaah.

 

Tentang Pahala 100.000 kali

Tentang pahala demikian besar ini, menarik apa yang pernah disampaikan Ustaz Quraish Shihab, bahwa ganjaran yang sekian kali lipat itu adalah bagi yang salat dengan sempurna. Artinya, dia berusaha untuk mendapatkan  saf  terdepan, bukannya salat yang dilaksanakan di lobby hotel, atau di bagian belakang, padahal masih ada saf yang kosong di bagian depan masjid, tetapi enggan untuk mengisinya. Memang, salat di tempat-tempat tersebut sah-sah saja, akan tetetapi salat di dalam masjid dan apalagi berusaha mendapatkan saf-saf terdepan dengan mengisi celah yang kosong, jelas mempunyai nilai lebih. Paling tidak, dia akan mendapat nilai dari usahanya itu. Kita semua tahu, Allah tidak akan menyia-nyiakan ganjaran bagi orang yang berusaha. Karenanya, seperti juga sering saya sampaikan kepada teman-teman, sebaiknya kita berusaha untuk tidak salat di halaman masjid, tetetapi berusaha masuk masjid. Dan, kalau mungkin, maju terus ke bagian terdepan. Ada sebuah hadits yang berkaitan dengan hal ini.

 

Tiga orang masuk ke masjid (ruangan terlihat penuh), salah seorang di antara ketiganya kembali, dan dua orang lainnya masuk. Yang seorang di antara keduanya, berhasil mendapat tempat kosong, maka dia duduk, sedang yang kedua duduk di belakang hadirin (tanpa mencari tempat kosong lainnya). Nabi saw. berkomentar, “Maukah kalian kusampaikan keadaan ketiga orang tadi? Salah seorang di antara mereka bermohon tempat kepada Allah, maka Allah memberinya tempat, sedang yang kedua malu, maka Allah pun memeperlakukannya dengan perlakuan orang yang malu, sedang yang ketiga –yang kembali- berpaling, maka Allah pun berpaling tidak memandangnya.” (HR. Tirmidzi).

 

Silahkan Anda memilih. Mau menjadi yang berpaling, yang malu, atau yang berusaha mendapat tempat sambil berdo’a pada-Nya?

 

 

Kakbah

Kakbah artinya bangunan empat persegi. Adalah bangunan berbentuk empat persegi mirip kubus, berwarna hitam, berada di tengah-tengah Masjidilharam. Keempat dindingnya mempunyai panjang dan lebar tidak sama, berkisar sekitar 10 – 12 meter; tinggi 15 meter.

 

Posisi Kakbah tidak persis mengarah barat-timur atau utara selatan, melainkan sedikit miring ke kiri atau ke kanan, tergantung dari mana kita memandangnya. Dengan demikian, keempat sudutnya tidak persis menghadap ke arah baratlaut-tenggara atau baratdaya-timurlaut. Kalau Hijir Ismail kita anggap berada di utara dan Hajar Aswad kita sebut berada di sudut tenggara, maka posisi Kakbah bisa dikatakan miring ke kiri atau ke arah berlawanan arah jarum jam sekitar dua puluh derajat. Tetetapi kalau kita anggap Hijir Ismail berada di baratlaut Kakbah dan Hajar Aswad di timur, kita bisa mengatakan bahwa posisi Kakbah miring ke kanan atau ke arah searah jarum jam sekitar 20 derajat.

 

Kakbah adalah baitullah, rumah Allah. Kepadanya kaum muslimin di seluruh dunia menghadapkan wajah, ketika salat. Kecuali Ruknul (ruknul artinya sudut; orang Indonesia memudahkan pelapalannya dengan rukun) Hajar Aswad, ruknul atau rukun yang lain diberi nama sesuai dengan ke negeri mana sudut itu menghadap :

  • Rukun Iraki, adalah sudut Kakbah yang menghadap ke negara Irak di utara, atau tepatnya menghadap ke arah antara utara dan timurlaut (orang berbahasa Inggris biasa menyebutnya dengan NNE).
  • Rukun Yamani, yakni sudut Kakbah yang menghadap Negara Yaman, ke arah selatan atau antara selatan dan baratdaya (SSW).
  • Rukun Syam, sudut Kakbah yang menghadap ke Syam (Suriah) di arah barat atau antara baratlaut dan barat (WNW).
  • Rukun Yamani, sudut dimana terdapat Hajar Aswad, yaitu pada arah antara tenggara dan timur (ESE).

 

Perihal Rukun Yamani dan Rukun Hajar Aswad, karena merupakan sudut-sudut yang memiliki arti khusus ketika tawaf, akan diuraikan dengan lebih rinci pada bagian terpisah.

 

Kakbah adalah rumah peribadatan pertama yang ada di bumi. Firman Allah: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untu (tempat beribadah) manusia adalah Baitullah yang ada di Bakkah (Makkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang yang nyata (di antaranya) Maqam Ibrahim; dan barang siapa yang memasukinya, menjadi amanlah dia….” (Ali Imran: 96-97).

 

Ayat tersebut menerangkan bahwa sesungguhnya permulaan rumah yang didirikan bagi manusia di dunia, yang digunakan untuk beribadah kepada Allah, adalah rumah yang ada di Bakkah atau kota Makkah. Rumah itu diberi berkah dan sebagai petunjuk bagi manusia di seluruh alam. Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang nyata, di antaranya Maqam Nabi Ibrahim; dan barangsiapa masuk kedalamnya, amanlah dia.

 

Di dalam Walimatussafar, tidak disebutkan sejak kapan dan sudah berapa lama Kakbah ini didirikan; dan Nabi Muhammad pun tidak menerangan hal itu. Walimatussafar hanya mengatakan:

 

Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta Ismail….(Al-Baqaarah:127)

 

Kakbah pertama kali dibangun oleh para malaikat. Dalam Kitab Usfuriah dikisahkan bahwa ketika Allah hendak menjadikan khalifah di muka bumi, para malaikat pun bertanya: ” Akankah Engkau menciptakan makhluk di sana, yang akan merusak di sana dan mengalirklan darah? Padahal kami bertasbih dengan puji kebesaran-Mu.” Maka murkalah Allah mendengar ucapan malaikat itu. Firmannya: “Aku tahu apa yang kalian tidak tahu.” Maka gentarlah malaikat, lalu bertawaf mengelilingi ‘Arasy  tujuh kali. Maka diampuni kesalahan mereka oleh Allah. Kemudian Allah memerintahkan mereka membuat bangunan di muka bumi, sehingga nanti jika anak cucu Adam berbuat dosa di bumi dan kemudian bertawaf tujuh kali, maka diampuni dosa mereka seperti ampunan yang diberikan kepada para malaikat. Para malaikat kemudian turun dan mendirikan sebuah bangunan yang kemudian dikenal sebagai Kakbah…

 

Dari zaman ke zaman, Kakbah mengalami beberapa kali renovasi. Sejak Nabi Adam as., Nabi Syits as., Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as., hingga zaman Raja Fahd bin Abdul Aziz.

 

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar ra. bahwasannya ketika menurunkan Adam dari Surga, Alah berfirman: “Sesungguhnya Aku menurunkanmu bersama dengan sebuah rumah atau tempat yang di sekelilingnya digunakan tawaf sebagaimana juga halnya Arasy-Ku. Di sekitarya dijadikan tempat salat, sebagaimana juga halnya Arasy-Ku.”

 

Dr. Muhammad Ilyas Abdul (2003) menyebutkan bahwa untuk menegaskan keberadaan Kakbah sebelum dibangun oleh Nabi Ibrahim as, bahwasannya suatu hari Ibrahim berjalan hingga sampai di suatu lembah dimana ia dari situ ia tidak melihat Kakbah, padahal wajahnya dihadapkan ke arahnya. Lalu, sambil mengangkat tangannya, ia berdo’a untuk anak keturunannya :  “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman, di dekat rumah Engkau yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat, maka jadikanlah hati sebagian orang cenderung kepada mereka. Dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur (QS. Ibrahim : 37)

 

Perlu diketahui bahwa Ibrahim berdo’a demikian itu setelah ia meninggalkan Ismail dan Ibunya di lembah tersebut. Hal demikian menunjukan keberadaan Kakbah sebelum Ibrahim. Waktu itu, konsdisi Kakbah sudah hancur; tinggal pondasinya saja. Di atas pondasi itulah Ibrahim dan putranya, Ismail, membangun kembali Kakbah.

 

“ Dan ingatlah, ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar (pondasi) Rumah itu (Kakbah) beserta Ismail (seraya berdo’a): “Ya Tuhan kami terimalah amalan kami. Seungguhnya Engkau Yang Maha Mendengar lagi Maha mengetahui (QS. Al-Baqarah : 127).

 

Suatu hari Ibrahim tiba di Makkah dan mendapatkan Ismail sedang duduk di bawah pohon yang terletak di belakang sumur Zamzam. Di sana Ismail sedang mengasah dan memperbaiki panahnya; ia hendak berburu. Ibrahim menyampaikan kepada Ismail bahwa Allah memerintahkan Ibrahim untuk mengunjungi Makkah dan membangun sebuah rumah suci, dimana umat manusia hendak menyembah Allah. Ismail menyambut ajakan ayahnya dengan siap sedia untuk membantunya.

 

Ketika melihat sumur Zamzam, Ibrahim melihat ada tanah yang sedikit naik di dekat sumur. Ia lalu berkata kepada Ismail bahwa ini adalah tempat yang telah dipilih Allah sebagai rumah suci. Ibrahim dan Ismail kemudian berbagi tugas; Ismail menyiapkan dan mengumpulkan batu yang diperlukan dan membawanya kepada Ibrahim; Ibrahim memasang batu-batu itu menjadi bangunan Kakbah. Sepanjang pekerjaan, Ibrahim dan Ismail seantiasa berdo’a:

 

 “Tuhanku, terimalah (ibadah) kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

 

Dari banyak batu yang dipergunakan dalam membangun Kakbah, ada dua batu yang menjadi sangat penting. Pertama, sebuah batu yang diletakkan di dekat sudut timur Kakbah. Batu itu kelak dikenal sebagai batu hitam atau Hajar Aswad. Kedua, batu yang dipergunakan Ibrahim sebagai pijakan ketika melakukan pembangunan Kakbah. Batu ini kemudian disebut Maqam Ibrahim. Keduanya akan diuraikan di bagian terpisah, di bawah ini.

 

Kisah Ibrahim dan Ismail membangun Kakbah, direkam oleh Walimatussafar, dalam beberapa ayat:

 

Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannnya. Allah berfirman, “Sesungguhnya, Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata, “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.” Allah berfirman, “Janji-Ku tidak mengenai orang-orang yang zalim.” Dan ingatlah ketika Kami menjadikan rumah itu tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. Dan telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orag yang tawaf, yang itikaf, yang rukuk dan yang sujud.” Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo’a. “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa; dan berikanlah rezeki dari buah-buahann kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari akhir. Allah berfirman, “ Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail. “ Ya Tuhan kami terimalah amalan kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu; jadikanlah di antara anak cucu kami, umat yang tunduk patuh pada-Mu; tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat ibadah haji kami; dan terimalah taubat kami. Sesunguhnya, Engkaulah Yang Maha penerima Taubat lagi maha Penyayang. Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya, Engkaulah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana (QS. Al-Baqarah 124-129).

 

Katakanlah, “benarlah Allah.” Maka, itulah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya, rumah yang mula-mula dibangun untuk empat beribadah manusia ialah Baitullah di Makkah yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manuasia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, di antaranya maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi oring yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Mahakaya dari semesta alam (QS. Ali Imran: 95-97).

 

Dan ingatlah ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah degan mengatakan, “janganlah kamu memeperserikatkan sesuatu pun dengan Aku; dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orangyang ruku dan sujud (QS. Al-Hajj: 26)

 

Setelah Kakbah selesai dibangun, tugas Ibrahim tidak serta merta berakhir. Masih ada satu tugas lain: Ibrahim disuruh untuk mengumumkan pesan bahwa Kakbah sudah dibangun, dan kini menjadi kewajiban bagi manusia yang percaya dengan keesaan Allah untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah dan Kakbah. Kewajiban itu, mengikat semua muslim yang memiliki kemampuan fisik dan finasial untuk menyelesaikan perjalanan ini.

 

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan pelbagai manfaat bagi mereka; dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang ditentukan atas rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatanag ternak. Maka, makanlah sebagian daripadanya, dan sebagian yang lain berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka; dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka; dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah). Demikian perintah Allah. Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya…(QS. Al-Hajj: 27-….)

 

Apabila aku teringat kala di depan Kakbah, hatiku menjerit, “Allah izinkan aku kembali ke sana. Limpahkan rizki yang banyak, halal, dan barokah agar aku bisa memberangkat banyak orang ke tanah suci-Mu, seperti halnya orang-orang yang telah menghantarkanku ke rumah-Mu.”

 

 

Pintu Kakbah

Ketika pertama kali dibangun kembali oleh Ibrahim a.s., Kakbah mempunyai dua pintu yang menyentuh tanah. Keduanya merupakan lubang yang tak ada tutup pintunya; hanya digunakan sebagai tempat keluar dan masuk Kakbah. Pintu timur digunakan untuk masuk dan pintu barat untuk keluar Kakbah. Raja As’ad Tubba’ III, salah seorang raja dari Yaman membuatkan daun pintu yang dapat dibuka-tutup.

 

Waktu kaum Quraish merenovasi kembali Kakbah, mereka menutup pintu barat; pintu timur ditinggikan dari permukaan tanah dan daun pintunya dibuat dua. Suatu kali, Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, ”Mengapa pintunya ditinggikan?” Rasulullah menjawab, “Kaummulah yang melakukannya, agar dapat memasukkan siapa yang mereka kehendaki, dan melarang masuk siapa saja sekehendaknya. Andai saja saya tidak khawatir hati kaummu itu akan menyimpang karena baru saja keluar dari zaman Jahiliyyah, maka saya tentu akan membuatkan tembok di dalam Kakbah itu, dan menyentuhkan pintunya ke tanah.” Pintu Kakbah ini, ada kuncinya. Dulu, kunci Kakbah ini dipegang sendiri oleh Nabi Ismail a.s., kemudian diwariskan kepada putranya, Tsabit, dan diteruskan kepada anak-anaknya, sampai akhirnya kepada Qushai bin Kilab, kakek keempat Nabi SAW. Setelah futuh makkah, pada tahun 8 H, Nabi SAW meminta kunci itu dari Utsman bin Tholhah untuk membuka Kakbah. Beliau masuk ke dalam dan tak lama keluar. Ketika keluar itu, Rasul bersabda, “ Ingatlah sesungguhnya setiap darah, harta dan perbuatan sewenang-wenang seperti pada masa Jahiliyyah adalah di bawah tangungjawabku untuk mengurusnya, kecuali pekerjaan memberi minum orang-orang yang sedang haji dan menjaga Kakbah. Sesungguhnya aku telah menetapkan keduanya untuk dikembalikan kepada yang berhak sebagaimana berlaku pada masa Jahiliyyah.” Ucapan Nabi itu kemudian diikuti dengan turunnya ayat: “Sesunggunya Allah telah menyuruhmu untuk menunaikan amanat kepada yang berhak atasnya”. Rasulullah lalu memanggil Ustman bin Thalhah dan mengembalikan kunci kepadanya sambil berkata, “Ambillah ini wahai Bani Thalhah untuk selamanya, sehingga tidak ada yang merebutnya kecuali orang yang dzalim.”

 

Menurut Ibnu Katsir, banyak mufasir menyebutkan bahwa ayat tersebut turun menyangkut Utsman bin Thalhah. Dan, berdasarkan itu, kunci Kakbah dikembalikan kepadanya oleh Nabi SAW. Kunci Kakbah itu, terus diwariskan secara turun-temurun. Ucapan nabi mengenai hal ini, juga mengisyaratkan adanya kesinambungan dan keabadian keturunan Bani ibn Thalhah, serta keabadian tanggungjawab mereka mengurus dan menjaga Kakbah sampai hati kiamat kelak.Kunci itu panjangnya 40 cm, tersimpan dalam tas dari kain sutera yang dihias dengan emas murni.

 

Multazam

Adalah suatu area seluas lebih kurang 2 meter persegi pada dinding Kakbah, terletak antara Hajar Aswad dan pintu Kakbah. Demikian ditegaskan oleh  Ibnu Abbas dan Mujahid. Multazam adalah tempat dikabulkannya do’a. Di situ disunnahkan untuk berdo’a dengan menempelkan pipi, dada, lengan, dan kedua telapak tangan. Dikisahkan, Abdullah bin Amru, setelah tawaf lalu salat dan mencium Hajar Aswad, kemudian berdiri di antara Hajar Aswad dan pintu Kakbah, menempelkan dada, kedua tangan dan pipinya, sambil berkata, “Seperti inilah aku melihat Rasulullah melakukannya.”

 

Tentang Multazam, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Multazam adalah tempat yang mustajab, tidak seorang pun hamba Allah yang berdo’a di tempat ini kecuali akan dikabulkan.”

 

Ahmad Junaidi (2004) dalam bukunya Makkah Madinah mengutip kitab Akhbar Makkah, menerangkan bahwa ketika Nabi Adam a.s selesai melakukan tawaf, lalu salat dua rakaat di depan pintu Kakbah, kemudian berdiri di di Multazam dan berdo’a :

 

Ya Allah, Engkau Maha mengetahui segala apa yang kau rahasiakan dan segala yang aku tampakkan, terimalah pengaduanku. Engkau Maha mengetahui apa yang ada dalam jiwaku dan segala apa yang  ada padaku, ampunilah dosa-dosaku. Engkau mengetahui segala apa yang aku perlukan, berikan kepadaku apa yang aku minta. Ya Allah, aku mohon kepada-Mu iman yang memenuhi hatiku dan keyakinan yang mantap hingga menyadarkan aku bahwa tidak akan ada yang mencelakakan aku kecuali apa yang telah Engkau pastikan untukku, dan menyadarkan aku sehingga aku rela atas apa yang engkau tetapkan untukku.”

 

Setelah Adam selesai menyampaikan do’anya, Allah menurunkan wahyu kepada Adam, “ Wahai Adam, kau telah berdo’a dengan beberapa permintaan, Aku penuhi semua permintaan itu. Dan siapa pun dari anak-anakmu yang berdo’a dengan do’amu itu, pasti Aku hilangkan keresahan dan kesedihannya, Aku kembalikan apa yang hilang dari padanya, Aku cabut dari hatinya perasaan miskin, Aku jadikan dia kaya dalam kenyataan dan Aku sukseskan perdagangannya, sehingga kekayaan dunia berdatangan kepadanya walaupun tanpa ia minta.”

 

Ustaz Quraish Shihab menerangkan bahwa Multazam adalah tempat yang dapat dinilai paling utama. Multazam terambil dari kata lazim yang dalam bahasa Arab berarti “harus”. Multazam adalah tempat dimana Allah Saw mengharuskan diri-Nya untuk menerima permohonan setiap orang yang tulus kepada-Nya. Merengeklah di sana kepada Allah, pegang pintu Kakbah –jika memungkinkan- cucurkan air mata sambil memohon apa saja yang Anda inginkan, baik kebahagiaan duniawi maupun ukhrawi.

 

 

Rukun Yamani

Rukun Yamani berada pada sudut Kakbah yang menghadap ke Yaman, sembilan puluh derajat searah jarum jam dari hajar Aswad. Setiap jamaah yang sedang melakukan tawaf, disunatkan untuk mengusap Rukun Yamani dengan tangan kanan, atau paling tidak –karena kondisi tak memungkinkan- cukup dengan melambaikan tangan kanan sambil membaca bissmillahi Allahu Akbar. Rukun Yamani juga merupakan tempat yang mustajabin Karenanya, ketika Anda tawaf dan bisa mendapatkan Rukun Yamani, jangan lewatkan kesempatan untuk berdo’a. Dari Ibnu Umar bahwa rasulullah SAW bersabda, “Seungguhnya mengusap keduanya akan menghapuskan dosa.” 

 

Ketika bertawaf, setelah titik atau garis lurus dari Rukun Yamani ke arah luar Kakbah berjalan searah jarum jam, Anda akan bertemu garis berwarna coklat pada lurusan Hajar Aswad. Pada seperempat putaran itu bacalah do’a yang Rasulullah saw contohkan, yakni do’a yang paling Anda hafal dari seluruh koleksi do’a Anda : “do’a sapu jagat”. Jadi, antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad, bacalah do’a, “Rabbanaa aatina fid_dunyaa hasanah wafil aakhirati hasanah waqinaa adzabannaar.” (Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaika di akhirat, dan hindarkanlah kami dari siksa neraka)

 

Setelah redaksi do’a sapu jagat, para jamaah umumnya menambahkannya dengan do’a :

“Wa adkhilnal jannata ma’al abraar, yaa ‘aziizu yaa ghaffaaru, yaa robbal ‘aalamien”

 

(Dan masukkanlah kami ke dalam surga bersama orang-orang yang berbuat baik, wahai Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Pengampun dan Tuhan Yang Maha menguasai seluruh alam).

 

 

Hijir Ismail

Pada arah utara Kakbah (tepatnya arah antara baratlaut dan utara; dalam bahasa Inggris lazim digunakan singkatan NNW) terdapat tembok setinggi lebih kurang satu setengah meter, membentuk setengah lingkaran, itulah Hijir ismail.  Pada mulanya Hijir Ismail berbentuk lingkaran utuh, tetapai saat renovasi pada zaman Quraish, separuh lingkarannya terpotong yang dalam bahasa Arab disebut hathim, artinya yang terpotong. Di situlah nabi Ibrahim a.s memjadikannya sebagai rumah kecil dari batng-batang pepohonan yang berdahan lebat yang diperuntukkan bagi Ismail dan ibunya, Siti Hajar. Di situ pula Ismail dan Hajar dimakamkan.

 

Pernah Aisyah bertanya kepada Nabi SAW tentang dinding (Hijir Ismail) :” Apakah ia bagian dari Ruah Suci ini?” Nabi menjawab : “Betul.” Kemudian Aisyah bertaya lagi :”Mengapa mereka tak memasukkan sekalian sisanya ke Kakbah?” “Sebab kaummu kekurangan dana …,” jawab Nabi. Jadi, ketika Kakbah direnovasi kembali oleh kaum Quraish pada tahun 606 Masehi, mereka kehabisan dana. Saat itu diumumkan bahwa hanya dana halal yang boleh disedekahkan untuk keperluan renovasi ini. Karena kekurangann dana itulah, mereka mengurangi panjang tembok sisi barat dan sisi timur di bagian utara tembok itu lebih kurang3 meter. Dr. Muhammad Ilyas Abdul Ghani dalam bukunya Sejarah Mekah berpendspat bahwa, hanya sebagian dari hijir Ismail yang merupakan bagian dari Kakbah, yakni 3m ke depan itu, sedangkan sisanya bukan bagian dari Kakbah. Tetetapi, jumhur ulama  -setidaknya dari referensi yang pernah saya baca dan diskusi dengan beberapa ustaz- tidak menyebut-nyebut pemisahan mana bagian Hijir Ismail yang termasuk wilayah Kakbah dan mana yang tidak termasuk, melainkan menyebutnya bahwa Hijir Ismail adalah bagian dari Kakbah.Wallahu ‘alam.

 

Tawaf, dinilai tidak sah  apabila dilakukan hanya dengan mengitari Kakbah; dalam artian  bangunan 4 persegi itu saja, tanpa mengitari Hijir Ismail. Barangsiapa yang melakukan salat di Hijir Ismail, maka sesungguhnya ia telah salat di dalam Kakbah. Suatu hari Aisyah berkata, “ Aku ingin sekali masuk ke Kakbah dan salat di dalamnya, Rasulullah SAW lalu menarik tanganku dan membawanya ke dalam Hijir Ismail, sambil berkata ‘Salatlah di dalamnya jika engkau ingin masuk Kakbah, karena ia merupakan bagian dari Rumah Suci ini.”. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Aisayah berkata :” Tidak peduli aku salat di Hijir Ismail atau di Kakbah.

 

Seorang kawan mengirim pesan singkat lewat telefon selulernya, “Di tengah-tengah waktu tawaf, bolehkan kita salat di Hijir Ismail.”  Saya jawab,” Tidak boleh, karena Hijir Ismail adalah bagian dari Kakbah. Kalau mau selesaikan dulu tawaf dan Sa’i, baru masuk Hijir Ismail dan salat di dalamnya atau salat dulu di Hijir Ismail, baru kemudian tawaf.” Perlu diketahui bahwa salat di Hijir Ismail adalah salat yang berdiri sendiri, tak ada kaitannya dengan tawaf. Jadi, kita bisa salat di situ diluar waktu tawaf bahkan ketika suatu hari, misalnya, kita berkunjung ke Masjidilharam bukan dalam rangka haji, bukan pula untuk umrah, tetetapi untuk keperluan lain, boleh kita salat sunnah di Hijir Ismail ini.

 

Rasulullah SAW pernah berkata kepada Abu Hurairah r.a, “Wahai Abu Hurairah, sesunggunhnya di pintu Hijir Ismail ini ada malaikat yang selalu berkata pada setiap orang yang masuk dan salat dua rakaat di Hjir Ismail, ‘Kau telah diampuni dosa-dosamu, mulailah dengan amalan yang baru’. Juga di pintu satu lagi ada malaikat yang selalu berkata pada setiap orang yang keluar setelah salat di Hijir Ismail, ‘Kau telah mendapatkan rahmat, kau umat Muhammad dan kau telah menjadi orang yang bertaqwa’.”

 

Betapa utamanya Hijir Ismail ini. Karenanya, sayang kalau kita yang datang dari jauh untuk melaksanakan haji, tetetapi tidak berkesempatan salat di sini. Seperti disebutkan di atas bahwa do’a di Hijir Ismail dan apalagi di bawah pancuran emas termasuk do’a yang dikabulkan. Maka, apabila Anda berkesempatan masuk ke Hijir ismail, jangan lewatkan fasilitas kemudahan makbulnya do’a di tempat ini. Selama di tanah suci sangat banyak orang yang bisa salat di sini, tetetapi juga tidak sedikit yang tidak berkesempatan salat di dalamnya. Saya sangat menganjurkan kepada Anda yang hendak pergi ke Tanah Suci -setelah sampai di sana dan masuk Masjidilharam, sebelum berusaha masuk ke Hijir Ismail  -untuk salat dulu di Makam Ibrahim. Seusai salat, berdo’alah dengan khusyu; minta kepada-Nya agar dimudahkan untuk bisa masuk dan salat di hijir Ismail. Insya Allah, Dia akan mengabulkannya.

 

Pancuran Emas

Di dalam area Hijir Ismail bagian depan, pada bagian atas Kakbah, terdapat talang air terbuat dari logam berlapiskan emas. Orang Jawa Barat menyebutnya sebagai Pancuran Emas (pancuran artinya saluran -biasanya dalam bentuk pipa atau sejenisnya- tempat air keluar, berada di atas permukaan tanah). Pancuran ini dibuat untuk memperlancar peredaran air dari atap Kakbah ketika proses pencucian maupun untuk menghindari genangan air apabila turun hujan. Semula, Kakbah tidak mempunyai atap, tetetapi ketika renovasi oleh kaum Quraish waktu itu, dibuatlah atap Kakbah dan sekaligus dibuat juga pancuran ini. Para ulama salaf menambahkan bahwa do’a di Hijir Ismail di bawah pancuran emas termasuk do’a yang dikabulkan.

 

Apabila Anda sudah berada dalam area Hijir Ismail, pada bagian depan, tepat di bawah pancuran ini, Anda akan mendapatkan kepadatan populasi jamaah yang luar bisa. Mereka berebut untuk berdo’a di bawah Pancuran Emas. Banyak jamaah meratap, menangis, mengiba pada Ilahi. Tetes-tetes air mata jamaah, mengalir tanpa henti. Alangkah nikmatnya!

 

 

Maqam Ibrahim

Maqam artinya tempat berdiri. Maqam Ibrahim adalah batu yang dijadikan tempat berdiri Nabi Ibrahim a.s. ketika membangun Kakbah. Dengan berpijak di batu itulah, Ibrahim meletakkan dan merekat batu-batu yang disodorkan Ismail a.s. untuk meninggikan tembok dinding Kakbah. Setiap kali bangunan bertambah tinggi, bertambah tinggi pula posisi batu pijakan itu. Jadi, ketinggian batu pijakan ini menyesuaikan dengan ketinggian bangunan, sehingga memudahkan dalam pekerjaan ini. Kini, pada batu itu, kita bisa melihat dua buah lubang memanjang yang merupakan bekas telapak kaki Nabi Ibrahim as.

 

Maqam Ibrahim berada di sebelah timurlaut dari Kakbah, padanya dibuat sejenis rumah atau lebih mirip sangkar burung terbuat dari rangka besi dengan kaca tebal, sehingga lebih terlindungi dari hal-hal yang mungkin bisa menyebabkan kerusakannya. Bangunan rumah atau sangkar  itu, juga memudahkan jamaah untuk melihat dari jauh, apakah ia berada pada posisi lurus dengan  maqam atau tidak. Ketika tawaf atau pun sedang tidak tawaf, jamaah dapat dengan tidak terlalu sulit melihat bekas pijakan Nabi Ibrahim ini. Sejarawan Thahir al-Kurdi (wafat 1400 H) menyimpulkan bahwa jejak telapak kaki di maqam tersebut masing-masing memiliki kedalaman 10 cm dan 9 cm, panjang 22 cm dan lebar 11 cm. Tidak tampak bekas jari-jari kaki.

 

Ahmad Junaidi (2004) dan Iwan Gayo (2000) mengutip keterangan dalam kitab Akhbar Makkah menyebutkan, bahwa setelah Nabi Ibrahim menyelesaikan pembangunan Kakbah, beliau diperintahkan untuk memanggil semua manusia untuk berhaji ke Baitullah. Ketika memanggil umat manusia untuk berhaji dan ziarah ke Baitullah itulah Nabi Ibrahim menggunakan batu itu untuk naik ke atas hingga melebihi ketinggian gunung-gunung yang ada di Makkah dan sekitarnya. Dengan kehendak Allah suara Nabi Ibrahim dapat didengar oleh semua manusia yang ada dan yang akan ada sehingga mereka menjawab, “Ya…ya…aku penuhi panggilanmu.”

 

Salah satu keistimewaan Maqam Ibrahim –yang juga merupakan keistimewaan Hajar Aswad- adalah adanya pemeliharaan Allah agar tidak disembah oleh orang-orang musyrik Jahiliyyah. Menurut catatan sejarah, ketika banyak orang pada Zaman Jahiliyyah menyembah berhala-berhala  -antara lain batu-batu—tetetapi tidak ada yang menyembah kedua batu ini. Kedua batu ini juga sama-sama diturunkan Allah dari surga dan kelak akan ditarik kembali ke surga.

 

Maqam Ibrahim juga menjadi salah satu tempat yang dianjurkan untuk salat dan berdo’a, karena ia merupakan salah satu tempat yang makbul. Umar bin Khaththab pernah mengusulkan kepada Rasulullah saw. agar menjadikan Maqam Ibrahim sebagai tempat salat. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya : “Jadikanlah Maqam Ibrahim sebagai mushalla (QS. Al-Baqarah : 125).

 

 

Safa dan Marwah

Safa adalah bukit kecil (saya kira disebut bukit karena sedikit lebih tinggi dari tanah sekitarnya yang berupa permukaan tanah datar padang pasir; dalam terminologi Indonesia yang kaya dengan alam pegunungan, rasanya agak sulit mengelompokkan lanskap “setinggi” ini disebut bukit, kita mungkin cukup menyebutnya batu saja) sebelah selatan Kakbah. “Bukit” ini menjadi titik awal pelaksanaan Sa’i. Sedangkan Marwah adalah juga bukit kecil di sebelah utara Safa, berjarak sekitar 450 meter dari Safa, dan menjadi titik akhir pelaksanaan sa’i. Antara kedua bukit itulah dilakukan lari-lari kecil, sai, sebanyak tujuh kali. Hal ini seperti pernah dilakukan untk pertama kalinya oleh Siti Hajar, istri Ibrahim as., ketika berlari-lari mencari air untuk Ismail, bayinya yang kelaparan dan kehausan di tengah padang pasir yang panas dan gersang.

 

Safa dan Marwah merupakan salah satu dari syiar-syiar Allah. Allah swt. Berfirman, “Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian daro syiar-syiara Allah.” (QS. Al-Baqarah: 158)

 

Secara ringkas sejarah tentang ini diuraikan di bawah ini.

 

Setelah Nabi Ibrahim as. menempatkan Siti Hajar dan Ismail di dekat Kakbah, dan meninggalkan tempat air dan tas kulit berisi kurma untuk istri dan anaknya, beliau langsung berangkat kembali ke Syam. Ketika Ibrahim semakin jauh berjalan, Siti Hajar semakin cemas mengenai apa yang akan terjadi. Ia kemudian meninggalkan Ismail sebentar, berdiri, menyusul Ibrahim sambil berkata, “Wahai suamiku, akan kemana engkau dan mengapa aku dan anakku kau tinggalkan di sini, tempat yang kosong tidak ada apa-apanya?”

 

Ibrahim tidak menghentikan perjalanannya, tidak menengok, dan tidak pula mengatakan sepatah kata pun. Mungkin kepedihannya terlalu dalam sehingga ia tidak bisa berbicara saat itu. Siti Hajar tetap mengejarnya sambil berteriak, ‘Wahai Ibrahim, engkau akan pergi ke mana? Apakah kamu akan meninggalkan kami di lembah ini, dimana tidak ada seorang pun teman atau apa pun juga?”. Ibrahim terus berjalan. Karena tidak mendapat tanggapan, Siti Hajar meninggikan suaranya untuk bertanya kepada Ibrahim, “Apakah Allah memerintahkanmu berbuat demikian?” Setelah mendengar pertanyaan ini, Ibrahim berhenti dan mengiyalan pertanyaan itu. Allah telah memerintahkan Ibrahim untuk meninggalkan Siti Hajar dan Ismail di lembah tandus ini.

 

Setelah mendapat jawaban dari Ibrahim, Siti Hajar hanya punya satu pertanyaan tambahan, “Wahai Ibrahim, kepada siapa engkau meninggalkan kami?” Jawaban Ibrahim jelas dan langsung kepada intinya, “Aku menitipkanmu pada perlindungan Allah.” Pada saat itu, terlepas dari pelbagai pertanyaan tak terjawab dalam benak Hajar, keimanan dan kepatuhan Siti Hajar ternyata lebih dominan pada dirinya. Ucapan selamat tinggal kepada suaminya itu singkat, meski mengandung banyak makna mengenai sifat dan komitmennya kepada Allah, “Aku ridha bersama Allah.”

 

Siti Hajar kemudian berbalik dan kembali kepada bayi, Ismail, yang ia tinggalkan sesaat ketika mengejar Ibrahim. Siti Hajar, seorang ibu yang belum lama melahirkan, ditinggal suaminya, di suatu lembah yang kering kerontang. Entah untuk berapa lama. Ia hanya berdua dengan bayinya. Tiada orang lain.

 

Ibrahim terus berjalan meninggalkan lembah Makkah. Perjalanan yang sangat sulit baginya. Setiap langkah terasa berat baginya. Sangat mungkin Ibrahim merasakan kakinya terasa berat, hatinya pedih, dan matanya menangis. Sebelumnya, Allah telah berkali-kali menguji Ibrahim dan sepanjang ujian itu Ibrahim senantiasa berperilaku saleh dan mentaati perintah Allah. Ujian meninggalkan Siti Hajar dan Ismail di lembah tandus dan sepi, boleh jadi merupakan ujian yang terasa paling berat bagi Ibrahim.

 

Ketika Ibrahim sudah berjalan cukup jauh hingga tak lagi terlihat oleh Siti Hajar, ia berbalik untuk memandang Makkah. Ia berdiri di sana, menengadahkan kedua tangannya, dan menyebut nama Allah. Ia mempercayakan dan menitipkan Siti Hajar dan Ismail di bawah perlindungan Allah, dan ia memohon kepada Allah akan keselamatan Siti Hajar dan Ismail.

 

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “ Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkan aku beserta aak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakaiku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cederung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yag kami lahirkan; dan tidak ada satu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit. Segala puji bagi Allah yang telah menganugrahkan kepadaku di hari tua(ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha mendengar (memperkenankan) do’a. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do’a kami. Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mu’min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (QS. Ibrahim:35-41)

 

 

Setelah kembali kepada anaknya yang masih bayi itu, Siti Hajar membuka tas kulit yang berisi kurma yang ditinggalkan Ibrahim. Ia memakan kurma itu. Ia juga membuka kantong air dan meminumnya. Ia harus menyusui Ismail, sehingga ia perlu memperbanyak air susunya. Kurma dan air menopang Siti Hajar dan air susunya untuk sementara waktu, Ismail pun mendapat perawatan yang baik. Tetapi, suhu di Makkah sedang panas, dan dalam lingkungan seperti itu, persediaan air Siti Hajar tidak bertahan lama. Akhirnya, air pun habis, dan tak lama kemudian, kemampuan Siti Hajar untuk menyusui Ismail pun menurun. Ismail menangis karena lapar dan haus. Karena tak tahan

Menyaksikan penderitaan Ismail, Siti Hajar segera meninggalkan tempat itu untuk mencari banmu. Mungkin akan ada rombongan yang akan melewati Makkah.

 

Siti Hajar bangkit dengan terhuyung-huyung dan mengamati bukit terdekat dengan perasaan cemas. Perlahan-lahan, di tengah udara Makkah yang panas, ia memaksakan tubuhnya yang kekurangan air untuk berjalan ke bukit dan meninggalkan Ismail sendirian. Setelah tiba di kaki bukit yang bernama Safa, ia merangkak naik dengan harapan akan menemukan rombongan kafilah yang lewat dan mendapatkan air. Ia melepaskan pandangannya ke arah yang jauh, ke kiri dan ke kanan  kalau-kalau ada orang yang dapat dimitai pertolongan. Namun, setelah  lelah memandang ke segala arah, ia tidak menjumpai seorang pun. Siti hajar kemudian menyeret tubuhya yang lelah menuruni permukaan batu yang licin dan tak rata ke arah lembah.

 

Mungkin, Siti hajar semula berniat pergi dan duduk bersama Ismail ketika mencapai lembah. Tetapi setelah lepas dari Safa, kasih sayangnya yang besar kepada Ismail memaksa badannya untuk berjalan terus mencari tanda-tanda kehadiran orang lain. Ia menyelempangkan bajunya dan mulai lari tergesa-gesa melintasi lembah. Namun, meski ia memiliki semangat yang besar, ia tidak mampu berlari jauh dan larinya segera berubah menjadi langkah limbung. Namun, entah bagaimana, dia mampu berjalan sekitar 450 meter dari Safa ke Marwah.

 

Sebagaimana di Safa, Siti Hajar menjangkau ke dalam batinnya untuk menemukan cadangan kekuatan agar bisa mendaki Bukit Marwah. Setelah mencapai puncak Marwah, ia kembali mengamati lembah dan cakrawala untuk mencari tanda-tanda kehidupan lain. Setelah tak menemukan apa pun, ia kembali menuruni Marwah. Dalam perjalanan menuju Ismail, Siti Hajar kembali merasakan semangat yang besar sehingga ia bisa berlari. Sebagaimana sebelumnya, ia tak bisa berlari lama. Tetapi, kini ia relatif lebih dekat ke Safa, dan ia merasa dirinya menaiki permukaan berbatu itu sekali lagi. Setelah mampu mencapai puncaknya, Siti Hajar hanya melihat lembah yang tandus dan hampa. Sekali lagi, Siti Hajar menuruni permukaan Safa yang berbatu dan licin. Setelah sampai di dasar lembah, Siti hajar kembali merasakan semangat besar, sama seperti pernah dialami dua kali sebelumnya. Ia pun kembali ke puncak Marwah walau pun tak membawa hasil, dan dia lalu menuruni Marwah. Demikian seterusnya hingga 7 kali, yakni sekali dari Safa ke Marwah (1); dari Marwah ke Safa (2); Safa ke Marwah (3); Marwah ke Safa (4); Safa ke Marwah (5); Marwah ke Safa (6); Safa ke Marwah (7). Inilah yang kemudian dikenal sebagai Sa’i: lari-lari kecil antara Safa dan Marwah. Mengenang usaha Siti Hajar mencari air untuk bayinya yang kehausan, di tengah lembah padang pasir nan gersang.

 

Setelah Siti Hajar merasa bahwa usahanya telah maksimal, ia kembali mendapati bayinya, Ismail. Kemudian datanglah Malaikat Jibril menghentakkan tanah sehingga memancarlah air yang berlimpah yang kemudian dimanfaatklan Siti Hajar dan Ismail untuk minum. Air itu kelak dikenal sebagai Air Zamzam

 

Saat ini Safa dan Marwah, demi mengenang usaha dan kasih ibu untuk anaknya, jamaah haji atau umrah, melakukan lari-lari kecil antara 2 bukit itu, sejumlah seperti yang Siti Hajar lakukan, 7 kali.

 

Peristiwa Sejarah yang Berkaitan dengan Safa

Beberapa peristiwa bersejarah terjadi di bukit Safa, sebagai diantaranya diuraikan di bawah ini. Bukhary meriwayatkan dari ibnu Abbas bahwa ketika turun ayat:

“Dan berilah peringatan kepada kaum kerabatmu yang dekat.” (QS. Asy-Syuara:214)

Nabi saw. naik ke Bukit Safa dan menyeru:”Wahai Bani Fahr! Wahai Nani Addi!” Maka berkumpullah orang-orang Quraish. Mereka yang berhalangan mengutus wakilnya, untuk memastikan apa yang terjadi. Di antara mereka datang pula Abu Lahabin Nabi lalu berkata,” Bukankah aku telah memperlihatkan pada kalian semua, bahwasannya aku telah memberitahukan ada seseorang di lembah ini yang ingin merubah kehidupan kalian. Apakah kalian semua mempercayaiku?” Mereka serentak menjawab, “Kami tidak pernah mendapatimu kecuali seorang yang jujur.” Maka Nabi pun kembali berkata, “Sesungguhnya aku ini seorang pemberi peringatan kepadamu dari siksa yang pedih.” Mendengar itu semua, Abu Lahab berkata, “Celakalah kau! Untuk inikah engkau kumpulkan kami?” Setelah itu turunlah ayat:

 

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelaj dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ad tali sabut.” (QS. al-Lahab:5)

 

Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata bahwa orang-orang Quraish datang kepada Nabi dan berkata, “Mohonlah kepada Tuhanmu agar menjadikan bukit Safa ini emas bagi kami, sehingga akami akan beriman.” “Apakah kalian akan melakukannya?”, seru Nabi. Lalu mereka menjawab: “Ya”. Kata Ibnu Abbas, setelah itu Nabi memohon sehingga datanglah Malaikat Jibril sambil berkata, “ Sesungguhnya Tuhanmu memberi salam kepadamu. Jika Aku menghendakinya, niscaya dijadikannya bukit Safa itu emas buat mereka. Dan barangsiapa dari mereka ingkar setelah itu, maka Aku akan menyiksanya dengan siksa yang belum pernah Aku timpakan kepada seluruh alam raya ini. Dan jika Aku menghendaki, niscaya Aku bukakan bagi mereka pintu taubat dan rahmat.” Lalu Nabi menjawab, “Aku ingin pintu taubat dan rahmat.”

 

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa saat itu turunlah ayat, “Sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena tada-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu.” (QS. Al_isra: 59)

 

Suatu ketika, Abu jahal berjalan di Safa melewati Nabi saw., lalu menyakiti dan memukul kepela beliau dengan batu hingga terluka dan mengeluarkan darah. Ketika Hamzah bin Abdul muthalib mengetahui hal itu, ia langsung mendatangi Abu Jahl yang ketika itu sedang berada di tempat perkumpulan Quraish, dekat Kakbah. “Bagaimana engkau mengumpat keponakanku sementara aku dalam agamanya?” kata Hamzah. Ia kemudian memukul Abu Jahal dengan busur panah hingga menyebabkan luka yang cukup parah.

 

Pada waktu pembebasan Makkah, Nabi saw. Berdiri di atas bukit Safa dan bersabda, “Barangsiapa masuk ke rumah Abu Sufyan, amak amanlah dia. Barangsiapa meletakkan senjatanya, maka amanlah dia.” Kemudian orang-orang Anshar saling berbisik di antara mereka bahwa Nabi telah bersikap lembah lembut kepada keluarganya dan mencintai kampung halamannya, maka mungkin sekarang Nabi akan menetap di Makkah dan tidak akan kembali ke Madinah. Kemudian Nabi akan memindahkan tempat kedudukannnya ke kota Makkah. Tanah tumpah darahnya, berkumpul dengan dengan bangsa dan sukunya, serta kerabat dan saudaranya. Berita itu sampai kepada Rasulullah dan beliau berkata, “Hai orang-orang Anshar, apa yang kamu perbincangkan?” Nabi saw. lalu bersabda, “Aku berlindung kepada Allah. Tempat hidupku di tempat hidupmu dan tempat matiku di tempat matimu.” Dengan ucapan Rasul ini, puaslah kaum Anshar.

 

Bukit Safa menjadi saksi bagi orang-orang yang dahulunya mengusir, menyakiti dan memerangi Nabi ketika di Makkah, pada waktu fath Makkah, mereka berkumpul di sekitar bukit Safa, berbaiat masuk Islam.

 

 

Peristiwa Sejarah yang Berkaitan dengan Marwah (Disatukan dg Safa or not?)

 

Zamzam (untuk ditempatkan setelah tulisan Kakbah dan bagian2nya)

Nabi Ibrahim AS meninggalkan Ismail kecil dan Hajar –sang Ibu- yang sedang menyusui

 

Sejarah Zamzam

 


 


 

 

–          Setelah Siti Hajar merasa bahwa usahanya telah maksimal, ia kembali mendapati bayinya, Ismail. Kemudian datanglah Malaikat Jibril menghentakkan tanah sehingga memancarlah air yang berlimpah yang kemudian dimanfaatklan Siti Hajar dan Ismail untuk minum. Air itu kelak dikenal sebagai Air Zamzam

–           

–           

–          Jumlah mata air dalam sumur

–          Do’a minum Zamzam

–          Sumber air zamzam

 

 

 

 

 

Tanah Suci Bukan Tempat Pembalasan Dendam (Sebaiknya ditempatkan tertsendiri setelah bahasan tentang tanah suci)

Pak Didin Hafidhuddin, ustaz santun itu, pada ceramah walimatussafar seorang kawan di Cimanggu, Bogor, beberapa waktu lalu, menegaskan, bahwa Tanah Suci bukanlah tempat pembalasan dendam. Ia adalah tempat tobat! Saya setuju Pak Didin (beliau, sih, tak memerlukan persetujuan. Tentu saja!) Jadi, sangat tidak beralasan apabila ada orang yang tidak mau pergi haji lantaran takut dibalas perbuatan tidak baiknya selama di Indonesia. Justru, Tanah Suci adalah tempat terbaik, sekali lagi, untuk tobat. Bicara tentang dosa, selain para nabi, apa ada manusia yang tak berdosa? Para nabi, tak berdosa itu, bukan karena kebal atau tak dihitung kesalahannya. Tetapi, memang tak pernah berbuat dosa. Seluruh hidupnya dipersembahkan hanya untuk berbakti dan berbakti kepada Tuhan, baik kebaktian langsung ke atas, secara vertikal ataupun kebaktian hirizontal, via sesama makhluk-Nya. Mereka senantiasa dikontrol oleh wahyu. Sedikit saja, “mendekati dosa”, Allah langsung akan menegurnya. Misal, yang populer sajalah, tentang Nabi bermuka masam (walaupun ada penafsiran lain, bukan Nabi yang berbuka masam, melainkan Walid bin Mughirah dan kawan-kawannya, tetetapi di sini, anggaplah penafsiran dari sebagian ulama yang sering kita dengar di khutbah-khubah para mubaligh, itu yang kita ikuti di sini). Sekedar menyegarkan kembali ingatan, mari kita sejenak kembali ke masa lalu. Ke masa Rasulullah SAW.  Saat itu, Rasulullah yang mulia sedang berbicara dengan para pemuka Quraish. Mereka adalah para penguasa Makkah, yang merasa paling berhak atas segala hal di Makkah dan sekitarnya. Tidak mudah untuk bertemu mereka. Apalagi, pada satu waktu dan pada tempat yang sama. Rasul merasa, ini adalah kesempatan emas untuk berbicara kepada mereka, mengajak mereka ke jalan yang benar. Ketika sedang “rapat” itulah, tiba-tiba datang ‘Abdullah bin Umi Maktum, seorang shahabat tunanetra, minta bicara sama Rasul. Perlu diketahui, shahabat ini, juga yang lainnya, sudah biasa bertemu Rasulullah dan bisa kapan saja, any time, banyak kesempatan, untuk bertemu Rasulullah. Sedangkan untuk mendapatkan kesempatan berbicara dengan para pemuka Quraish itu, seperti disebutkan di atas, -apalagi dalam jumlah besar- tidaklah mudah. Jadi, wajar, kalau saat itu Rasul merasa terganggu, sehingga bermuka masam. Ambillah contoh begini, Anda, pada suatu kesempatan yang langka, sedang berbicara atau rapat  dengan orang-orang yang tidak mudah Anda temui, membahas suatu hal yang sangat urgent. Tiba-tiba, seorang kawan Anda, yang sering, mudah dan biasa bertemu Anda, di mana saja, kapan saja, menginterupsi rapat Anda. Bagaimana perasaan dan sikap Anda padanya? Saya kira, kalau Anda agak kesal, sangatlah wajar. Seperti itulah suasana waktu itu. Menurut kita, wajar kalau Anda bermuka masam, tetapi bagi rasul hal ini sudah dianggap kesalahan besar! Sehingga Allah perlu menegurnya lewat surah Abasa.  Demikianlah, sehingga para nabi dan rasul itu, tidak berdosa. Kita? Semua kita adalah tempatnya dosa. Bagaimana tidak, setiap saat kita memproduksinya! Boleh dibilang, dosa itu inherent pada diri kita. Nah, Makkah-Madinah adalah suatu fasilitas yang diberikan Allah kepada kita untuk minta ampun pada-Nya. Dan, tak ada dosa yang tak bisa diampuni. Sepanjang kita sungguh-sungguh minta pada-Nya, kita akan mendapatkan innallaha ghofurun_rahiem. Sesunggunya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Kasih sayang-Nya melingkupi murka-Nya. Di Tanah Suci, rahman-rahiem-Nya, lebih terasa lagi! Kita adalah tamunya. Tamu akan dijamu dan dihormati oleh mu rumah, sepanjang tamu itu memang laik untuk dijamu dan dihormati. Apabila terjadi, mu rumah tidak welcome kepada  tamu khusus ini, pasti ada sesuatu yang kurang beres pada tamu. Rasa bangga diri, merasa lebih dari yang lain, sedikit sok tahu, menganggap remeh sesuatu yang kelihatannya memang kecil, dapat berakibat fatal. Seorang kawan pernah mengingatkan, “ Kita memang tamu Allah. Dan, tamu tentu saja akan dijamu,” tetapi, ia mengingatkan, “jangan kurang ajar!” Jadi, apa pun jenis dan besar dosa kita, sepanjang kita mau bertobat, Allah pasti menerimanya; Allah tentu akan mengampuninya. Maka, mengapa kita menyia-nyiakan kesempatan ini?

 

 

Gua Hira

 

Ma’la 

Adalah sebuah komplek pemakaman. Khadijah, istri terkasih Rasulullah SAW, dimakamkam di tempat ini. Khadijah wanita yang menjadi istri Rasulullah yang paling utama. Dia mengorbankan seluruh hartanya untuk kepentingan Islam. Dihiburnya suaminya tatkala tantangan datang bertubu-tubi. Diteguhkannya imannya ketika kekecewaan demi kekecewaan menimpa Nabi. Begitu besarnya jasa Khadijah kepada Rasulullah SAW dan kepada Islam sehingga lama setelah Kkhdijah meninggal dunia, ada saat-saat Rasulullah tenggelam dalam kenangan terhadapnya. Pernah suatu saat Siti Aisyah tak anggup menahan cemburunya walaupun  Khadijah sudah tiada, “Kau sebut-sebut juga wanita itu? Padahal  Allah telah memberi ganti yang lebih baik.” Nabi menjawab, “Tidak, Khadijah tidak dapat digantikan. Dialah yang memberikan hartanya ketika orang lain mengharamkan hartanya bagiku. Dialah yang menemaniku ketika orang lain menjauhiku. Dia pula istri yang memberikan kepadaku keturunan yang tidak diberikan oleh yang lain.”

Search more di internet & buku2 tentang Khadijah & Ma’la

 

Gua Tsur

Ada Apa dengan Gua Tsur?

Setelah memerintahkan Ali menempati tempat tidurnya, sementara di luar rumah pemuda-pemuda musyrikin Quraish sedang mengepung untuk membunuhnya, Rasulullah keluar mengambil segenggam pasir dan ditaburkan ke arah para pemuda itu, sambil membaca Surah Yasin ayat ke 9 :

 

Wa ja’alnaa min_baini aidiehim saddan_wa min kholfihim saddan_fa aghsyainaahum fahum laa yubshiruun

 

“Dan Kami jadikan di depan mereka penghalang dan di belakang mereka penghalang, kemudian Kami tutup mata mereka sehingga mereka tak melihat”

 

Di tengah malam itu, Rasulullah SAW meninggalkan rumahnya menuju rumah Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a, tanpa terlihat oleh para pemuda Quraish yang mengepung rumah beliau. (Suatu hari, saya dan istri hendak masuk Masjidilharam dengan membawa ransel berisi banyak buku dll.Petugas masjid tidak mengizinkan  saya membawa masuk itu ransel. “Kebesaran,” katanya. Dia lalu minta saya menitipkan itu tas di tempat penitipan. Walhasil, tanpa meninggalkan tas, kami tak boleh masuk. Istri mengajak saya kembali dulu ke penginapan untuk menyimpan tas tersebut. Pikir saya, berabe kalau harus balik lagi. “Coba lewat pintu yang lain,” kata saya. Di depan lain pintu itu saya baca Surah Yasin ayat 9 ini. Saya jalan melenggang; petugas sama sekali tak memperhatikan; istri saya yang hanya bawa tas kecil diperiksa segala isinya. Ketika istri agak kurang paham dengan yang barusan terjadi, saya bisikan ke telinganya bahwa saya tadi, di luar pintu,  baca surah Yasin ayat 9. Mungkin saja hal itu terjadi karena petugas sedang lengah, tetetapi saya yakin, Allah mengaktifkan ayat tersebut!). Kemudian keduanya bersama pergi menuju Gua Tsur untuk bersembunyi beberapa hari demi menghindari kejaran kaum musyrikin Quraish. Amir bin Fuhairah, pembantu Abu Bakar, ikut serta untuk membantu di perjalanan.

 

Sekelompok musyrikin Quraish datang ke rumah Abu Bakar. Mereka menanyakan dimana Abu Bakar berada. Ketika Asma binti Abu Bakar menjawab tidak tahu, Abu Jahal marah dan menampar pipi Asma hingga subangnya terlepas.

 

Setibanya di Gua Tsur, Abu Bakar masuk terlebih dahulu ke dalam gua untuk memastikan bahwa tidak ada binang buas di dalamnya, kemudian Rasulullah menyusul masuk. Rasulullah SAW bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a tinggal di dalam gua selama tiga hari. Ada tiga orang yang berperan aktif dalam persembunyian ini. Mereka adalah: 1. Abdullah, putra Abu Bakar yang diperintahkan memantau perkembangan di dalam kota dan menyampaikannya kepada Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. pada malam harinya; 2. Asma yang ditugaskan agar tiap sore mengantarkan makanan dan minuman; dan 3. Amir bin Fuhairah, pembantu Abu Bakar, diperintahka untuk menggembala kambing di siang hari dan membawanya ke gua di malam hari untuk diperah susunya. Esok harinya, sebelum fajar menyingsing, Abdullah dan Asma pulang ke Makkah diikuti dari belakang oleh Amir bin Fuhairah dengan menggiring kambing untuk menghapus jejak Asma dan Abdullah.

 

Pemuda-pemuda Quraish ke sana kemari mencari Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., hingga akhirnya mereka mendekat Gua Tsur. Dari dalam gua Rasulullah dan Abu Bakar mendengar suara gaduh kaum musyrikin yang sedang mencari mereka di dekat gua. Abu Bakar sangat ketakutan. Ia berbisik: “ Ya, Rasulullah, celakalah kita kalau mereka melihat ke bawah, mereka tentu akan mengetahui kita berada di gua ini.”  Rasulullah balas berbisik kepada Abu Bakar:” Laa tahzan, Innallaha ma’anaa.” Jangan cemas, Allah beserta kita.

 

Peristiwa ini diabadikan di dalam Qur’an :

 

Jika kalian tidak menolongnya, maka sesungguhnya Allah telah menolongnya ketika orang-orang kafir (musyrkin Quraish) memaksanya keluar dari Makkah, yaitu ketika ia salah seorang dari yang dua orang itu, ketika keduanya berada di dalam gua,berkata kepada shahabatnya : Janganlah cemas, Allah bersama kita.” (QS. Al-Ahzab : 40)

 

 

Kendatipun sudah berada di mulut gua, kaum Quraiys itu tak jadi masuk ke dalam. Mereka melihat ada sarang laba-laba, dua ekor burung yang sedang mengerami telurnya, dan dahan pohon yang terkulai di mulut gua. Sarang laba-laba yang utuh, burung dara yang tampak tenang seperti tak pernah terganggu dengan orang yang melewatinya, dan dahan pohon yang menghalangi untuk masuk ke dalam gua, meyakinkan kaum Quraish bahwa tak ada orang di dalam gua itu, sehingga mereka tak perlu capai-capai memasukinya! Merekapun lalu meninggalkan tempat itu.

 

Setelah bersembunyi di gua selama tiga hari, Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a meneruskan perjalanan ke Madinah. Abdullah bin Arqath, sang penunjuk jalan, datang ke gua dengan membawa dua ekor unta untuk dikendarai Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Asma binti Abu Bakar telah menyiapkan bekal makanan dan minuman bagi keduanya. Setibanya di gua, Asma lupa tidakmembawa tali untuk menggantngkan tempat perbealan itu pada punggung unta. Ia, lalu, melepaskan kain pengikat pinggangnya dan disobek menjadi dua, yang satu dijadikan tali pengikat, yang lainnya dipakai kembali sebagai sabuk. Karena peristiwa itulah ia dijuluki “Dzatun-Nithaqain”, artinya “Wanita bersabuk dua”. Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. melanjutka perjalanan melalui jalan yang tidak biasa dilalui orang-orang Makkah.

 

 

 

 

 

 

 

 

Jonih Rahmat -ingin sebagai, atau iri dengan- Orang Pinggiran

–          Tentang Orang Pinggiran. Apa dan Siapa Mereka?

–          Keutamaan Orang Pingiran

–          Kisah-kisah Orang Pinggiran

 

  1. Penjual Juice Mengkudu

–          Pekerjaan membuata juice mengkudu; Istri hamil tua; mau ngonyrakkan rumah; mau puang kampong (& ada rencana kmbl ke bgr); ponakan kena pellet; rencana nama anak if putri …zahra; utra ..

  1. Annisa Rahmah, Bayi Mungil Hadir di Tempat Kami
  2. Orang2 Baduy penjual madu
  3. Orang yg “terpinggirkan” dari keluarga  & kemudian menginap/tingal di rumash kami:

-Ibunya Rosa: suami istri dg 4 anak, 1 putra, 3 putri,  batita, balita, SD 2

– wulan

– kel Erwin

– nenknya lilik

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdul Rahman, Abdul Basit bin, Madinah Munawarah: Kelebihan dan Sejarahnya, Dar Al- Maathir, Madinah, 2005.

 

Al-Buthy, Muhammad Said Ramadhan, Dr.,  Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiah manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW, Rabbani Press, Jakarta, 1999.

 

Al-Husaini, Al- Kahid, H.M.H., Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad saw., Waqfiyah Al-Hamid Al-Huasini Press, Jakarta, 1989.

 

Al-Mubarakfury, Syeikh Safiyyur Rahman, Sirah Nabawiyah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1997.

 

Bakhri, Mokh. Syaiful, Belum Haji Sudah Mabrur: Kisah-kisah Sufistik Haji, Najhul

 Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

 

Chalil, Moenawar, K.H., Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw., Bulan Bintang, Jakarta 1983.

 

Dirk, Jerald F., Dr., Ibrahim Sang Shahabat Tuhan, Serambi, Jakarta, 2004.

 

Gayo, H,M, Iwan, Buku Pintar haji & Umrah, Pustaka Warga Negara, Jakarta, 2000.

 

Ghani, Muhammad Ilyas Abdul, Dr., Sejarah Mekah, Al-Rasheed Printers, Madina, 2003.

 

Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, Litera AntarNusa, Jakarta, 1990.

 

Hafidh, Ali, Beberapa Bagian dari Sejarah Madinah,  Ali hafidh, Madinah, 1998.

 

Junaidi, H.Ahmad, Makkah Madinah: Tinjauan Syariah, Sejarah serta Perkembangannya, Zakia, Jakarta, 2004.

 

Shiddieq, Umay M. Djafar, Drs. H., Manasik Haji dan Do’a-do’a Lengkap, tanpa nama penerbit, Jakarta, 1997.

 

Shihab, Othman Omar, Kumpulan Do’a dan Amalan Selama Menunaikan Ibadah Umroh dan Haji, Nura Tours and Travel, Jakarta, tanpa tahun.

 

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Lentera Hati, Jakarta, 2004.

 

http://www.flickr.com

CATATAN RINGAN DARI TANAH SUCI

Sisi Lain Ibadah Haji Orang Pinggiran

(Episode-1)

Sebelum Keberangkatan

Walimatus_Safar di Rumah Bu Dokter

Demi efisiensi waktu dan –terutama- finansial, kami mengajak Bu Dokter yang bersama tiga anaknya, satu putra dan dua putri, juga akan pergi haji tahun ini, untuk joinan menyelenggarakan walimatus_safar. Bu Dokter adalah tetangga dekat kami. Kami sering kerja sama dalam proyek-proyek sosial. Bu Dokter yang mencarikan dana, kami menyediakan pengguna dana. Kami tinggal di kampung yang sama, Kampung Kereteg namanya, Desanya Padasuka, Ciomas Kecamatannya, di Bogor.

Dalam hidup, selain dengan keluarga, kita senantiasa berinteraksi dengan saudara, teman, dan lebih-lebih tetangga. Adalah sangat mungkin selama bertahun-tahun berinteraksi tersebut ada tingkah laku dan kata yang tak pada tempatnya, sehingga melukai hati, sengaja atau pun tidak. Lanjut Baca »

CATATAN RINGAN DARI TANAH SUCI

(Episode khusus)

Maulid Nabi

Hari ini, ketika aku menulis tentang kelahiran Nabi, adalah Jumat, tanggal 12 Rabiul Awwal 1425H. Sesuai penanggalan di almanak, ini adalah hari libur. Seperti biasa, hampir setiap hari libur, pagi hari, sekitar pukul 05.30 atau pukul 06.00, kami (saya, istri dan anak-anak) jalan-jalan santai ke perkampungan atau ke pinggiran sungai, atau ke daerah pesawahan; kemudian mengambil sarapan di warung kecil, atau jajan bubur ayam di pinggir jalan desa. Lanjut Baca »

CATATAN RINGAN DARI TANAH SUCI
(Episode khusus)

Maulid Nabi
Hari ini, ketika aku menulis tentang kelahiran Nabi, adalah Jumat, tanggal 12 Rabiul Awwal 1425H. Sesuai penanggalan di almanak, ini adalah hari libur. Seperti biasa, hampir setiap hari libur, pagi hari, sekitar pukul 05.30 atau pukul 06.00, kami (saya, istri dan anak-anak) jalan-jalan santai ke perkampungan atau ke pinggiran sungai, atau ke daerah pesawahan; kemudian mengambil sarapan di warung kecil, atau jajan bubur ayam di pinggir jalan desa.

Kulihat banyak anak-anak keluar dari gang-gang kecil, dari rumah-rumah mereka, tangannya menjinjing sesuatu. Mereka kemudian masuk ke masjid-masjid, mushola-mushola, dan madrasah-madrasah. Mereka membawa -apa yang orang Jawa Barat sebut- bongsang. Bonsang adalah sejenis kantong terbuat dari kulit atau daging bambo yang diserut tipis dan dianyam, biasanya diisi makanan. Ringan atau berat. Kehadiran bongsang biasanya dikaitkan dengan perayaan-perayaan di desa (Orang Jawa Barat bagian kota -kalau tidak semua- sebagian besar, dapat dipastikan, tidak mengenal bongsang); baik perayaan pernikahan, khitanan atau perayaaan yang lebih berbau keagamaan seperti maulid Nabi. Dan hari ini adalah hari raya bagi kebanyakan orang desa, seperti saya. Ini adalah hari tatkala seorang manusia besar terlahir ke dunia ini. Hari ini adalah hari maulid Rasululah saw..

Kami terus berjalan santai sambil mencari dimana ada warung kecil yang menjual bubur kacang (pagi itu kami ingin sarapan bubur kacang yang panas mengepul, nikmat). Dua anak kami yang mendahului berjalan jauh di depan, terhenti dan menengok ke belakang. Mungkin capek atau takut kami kehilangan jejaknya, mereka berhenti di depan sebuah warung baru. Nampaknya masih indreyen, itu warung. “Mau sarapan di sini?” Tanya saya. Mereka menganggukkan kepala. Akhirnya kami sarapan di warteg yang baru buka seminggu lalui itu.

Sementara istri menemani anak-anak menyelesaikan sarapan paginya, saya jalan dan masuk ke gang kecil, tak jauh dari situ. Di sebuah mushala terdengar suara seorang ustadz sedang ceramah tentang keutamaan peringatan maulid. Saya terus berjalan pelan. Dan di sebuah majelis ta’lim dan pesantren Alqur’an, kembali terdengar orang-orang membaca shalawat atas Nabi. Mereka sedang –lagi-lagi–memperingati maulid Nabi. Mereka semua sedang memperingati orang yang dicintainya. Peringatan maulid adalah salah satu cara mengekspresikan kecintaan kepada Rasululah saw.

Kami kembali ke rumah. Sehabis mengaji di malam hari, beberapa anak yatim yang tinggal bersama kami, dan anak tetangga yang mengaji, datang menghampiri, “Pak kami ingin muludan (muludan adalah bahasa Sunda untuk peringatan maulid Nabi saw.) malam minggu nanti. Ini daftar acaranya!” Saya ambil kertas itu. Di antara daftar acara terdapat tulisan santapan rohani dua kali. “Lho, kok, santapan rohaninya dua kali?” tanya saya. “Yang terakhir, maksudnya jasmani, Pak, bukan rohani,” mereka menjelaskan sambil tersenyum agak malu-malu. “Dari mana dan apa santapan jasmaninya?” “Kami sudah urunan 1 orang, 1 ribu. Kami mau makan nasi uduk saja,” seru mereka bersemangat (Lazimnya, pada peringatan maulid, baik yang diselenggarakan di masjid, madrasah, atau pesantren: makanan berlimpah! Makanan datang dari rumah-rumah, dikirim ke tempat penyelenggaraan itu. Di sini, tidak. Karena, donaturnya, sesama anak-anak ini.)

Sabtu malam, ba’da isya, di halaman rumah, saya sekedar menyampaikan pembukaan; mereka sepenuhnya mengisi acara. Dua orang anak tampil memberikan tausiah, seperti laiknya penceramah betulan. Yang satu full membaca teks; lainnya yang mengenakan sorban mirip Aa Gyms, berceramah tanpa teks. Tapi, di tengah perjalanan dia lupa harus berbicara apa. Untung teksnya dia sakuin. Amanlah.

Selain ceramah ada juga yang mendendangkan nasyid. Tetapi sebagian besar acara diisi dengan pembacaan shalawat. Anak-anak yatim dan anak-anak miskin itu berakapela dan membacakan beberapa macam shalawat. Saya tak tahu kapan mereka menghapal dan berlatih. Mungkin malam menjelang tidur. Mereka begitu mempesona. Mendengar anak-anak gemuruh membacakan shalawat, saya tak mampu menahan air mata. Hati berbisik, “Aku rindu padamu, ya Rasul!”

Pembacaan shalawat adalah merupakan salah satu ekspresi kecintaan kepada Rasulullah saw. Lagi pula, membaca atau mendengarnya adalah merupakan suatu kenikmatan tersendiri. Suatu hari, setelah Rasulullah tiada, Bilal diminta mengumandangkan azan. Orang-orang rindu pada suara Bilal. Semula Bilal menolak. Memang, sejak kepergian Nabi, Bilal tak mau lagi azan. Setelah para sahabat mendesaknya, barulah ia mengabulkannya. Namun ketika ia sampai pada bacaan “wa asyhadu anna Muhammad…”, ia terhenti. Ia tak mampu meneruskannya. Ia menangis keras. Nama Muhammad, kekasih yang telah pergi, menggetarkan jantung Bilal. Nama itu mengingatkannya pada suatu great loss yang menimpanya; juga seluruh kaum muslimin. Karena cintanya pada Rasululah, namanya sering disebut dan dilagukan. Dan ketika menyebutnya dengan suara lepas di dalam azan, hatinya menjerit, merindukan sang Nabi.

Untuk mewujudkan cintanya pada rasul, banyak orang kemudian menggubah syair-syair shalawat. Salah satu di antaranya yang sering dibacakan pada berbagai kesempatan adalah:

Yaa Nabii salaam ‘alaika
Wahai Nabi, semoga kesejahteraan tetap melimpah kepadamu

Yaa Rasuul salaam ‘alaika
Wahai Rasul, semoga kesejahteraan tetap melimpah kepadamu

Yaa habieb salaam ‘alaika
Wahai kekasih, semoga kesejahteraan tetap melimpah kepadamu

Shalawaatullahi ‘alaika
Rahmat Allah semoga tetap tercurah kepadamu

Imam Syafei pernah bersyair:

Wahai keluarga Rasulullah,
Cinta kepadamu itu termasuk kewajiban dari Allah
Di dalam Alquran yang diturunkan-Nya.

Cukuplah kehormatan yang besar bagimu,
Bahwa orang yang tidak mengucapkan shalawat atasmu,
Tidak ada shalat baginya

Al-Tsalabi, ketika mengisahkan Nabi Yusuf as. yang sedang berada di dalam sumur, menuturkan sebagai berikut:
“Pada hari keempat datanglah Jibril dan berkata: Hai anak, siapa yang melemparkan kamu ke sini ke dalam sumur? Yusuf menjawab: saudara-saudaraku seayah. Jibril bertanya: mengapa? Yusuf menjawab: Mereka dengki kepadaku karena kedudukanku di depan ayahku. Jibril berkata: Maukah engkau keluar dari sini? Ia menjawab: Tentu.
Jibril berkata: Ucapkanlah

Wahai Pencipta segala yang tercipta
Wahai Penyembuh segala yang terluka
Wahai Yang Menyertai segala kumpulan
Wahai Yang Menyaksikan segala bisikan
Wahai Yang Dekat dan Tidak berjauhan
Wahai Yang Menemani semua yang sendirian
Wahai Penakluk yang tak Tertaklukkan
Wahai Yang Mengetahui segala yang gaib
Wahai Yang Hidup dan Tak Pernah Mati
Wahai Yang Menghidupkan yang mati
Tiada Tuhan kecuali Engkau, Mahasuci Engkau
Aku bermohon kepada-Mu Yang Empunya Pujian
Wahai Pencipta langit dan bumi
Wahai Pemilik Kerajaan
Wahai Pemilik Keagungan dan Kemuliaan

Aku bermohon agar Engkau sampaikan shalawat kepada Muhammad dan Keluarga Muhammad

Berilah jalan keluar dan penyelesaian dalam segala urusan
Dan dari segala kesempitan
Berilah rezeki dari tempat yang aku duga dan dari tempat yang
Tak aku duga

Yusuf lalu mengucapkan do’a itu. Allah mengeluarkannya dari dalam sumur, menyelamatkannya dari reka-perdaya saudara-saudaranya. Kerajaan Mesir didatangkan kepadanya dari tempat yang tidak diduganya” (Al-Tsalabi dalam Rakhmat, J., 1994).

Saya ingin berceritera agak panjang tentang shalawat, tetapi nanti sajalah di bahasan terpisah. Marilah kita kembali saja ke bahasan semula: Maulid Nabi.

Saya buka kitab-kitab tarikh Nabi yang ada di pustaka keluarga. Dan, Annemarie Schimmel, mendiang professor Harvard University pengagum Rumi dan Iqbal ini, mengajak saya untuk kembali membuka bukunya lamanya yang tak pernah saya bosan membacanya itu: And Muhammad is His Messenger (Dan Muhammad adalah Utusan Allah). Saya ingin memulai penulisan saat-saat kelahiran manusia tercinta ini dengan mengutip buku yang unik ini.

Pada 12 Rabiul Awal Tahun Gajah atau 20 April 571 Masehi lahirlah ke dunia ini seorang insan yang kelak mengubah sejarah dunia. Para sastrawan menyambut kedatangan bakal nabi terakhir ini dengan menuliskan kisah-kisah menawan. Thaha Husain mengisahkan tentang saat-saat kelahiran Muhammad, antara lain: …bahwa kawanan-kawanan burung dan ternak saling berlomba satu sama lain, setelah kelahiran Nabi, untuk dapat mengasuhnya, tetapi tertolak sebab sudah ditakdirkan bahwa Nabi harus diasuh oleh Halimah. Dan bahwa … jin, manusia, binatang dan bintang saling mengucapkan selamat satu sama lain pada saat kelahiran Nabi, dan bahwa pohon-pohon menumbuhkan dedaunan mereka pada saat kelahirannya, dan bahwa taman-taman menjadi berbunga begitu ia tiba di muka bumi, dan bahwa langit menjadi dekat dengan bumi, ketika tubuhnya yang mulia menyentuh bumi.

Tepatnya adanya keajaiban-keajaibanlah yang disebut-sebut telah terjadi pada saat kelahiran Nabi yang sedemikian menggembirakan dan meninggikan derajat para saleh, dan menggugah para penyair dan teolog untuk melukiskan kelahiran insan terbaik dalam gambar-gambar yang senantiasa baru, dan senantiasa kian berbinar.

Annemarie Schimmel mengutip literatur paling awal tentang kelahiran nabi dan mengatakan bahwa suatu cahaya terpancar dari rahim Aminah dengan datangnya Nabi yang baru dilahirkan itu. Hasan bin Tsabit melukiskan saat-saat kelahiran Nabi dengan menyenandungkan bahwa Aminah telah melahirkannya pada saat yang berbahagia, yang pada saat itu bersinar cahaya menerangi segenap penjuru dunia. Yunus Emre, melantunkan syair:

Dunia sepenuhnya tenggelam dalam cahaya
Pada malam kelahiran Muhammad.

Ibnu al-Jauzi, dalam kitab maulidnya menulis:

Ketika Muhammad lahir, para malaikat memaklumkannya dengan nada tinggi dan rendah. Jibril datang membawa kabar baik, dan Tahta pun bergetar. Para bidadari keluar dari istana-istana mereka, dan bertebaranlah wewangian. Ridhwan (malaikat penjaga gerbang surga) mendapat perintah: “Hiasilah surga tertinggi, singkapkanlah tirai dari tempatnya, kerahkan sekawanan burung Aden ke rumah Aminah supaya mereka menaburkan mutiara dari paruh-paruh mereka.” Dan ketika Muhhammad lahir, Aminah melihat sebuah cahaya, yang menerangi istana-istana Bostra. Para malaikat mengerumuninya dan membentangkan sayap-sayap mereka. Barisan malaikat, yang memanjatkan puji-pujian, turun memenuhi bukit-bukit serta lembah-lembah.

Menurut kitab-kitab tarikh, sebuah cahaya bersinar dari dahi Abdullah, ayah Muhammad, dan meskipun beberapa wanita berupaya keras meminangnya demi cahaya ini, dia menikah denga Aminah, yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk menjadi ibu Nabi. Cahaya tersebut terbawa di dalam rahimnya.

Abu Nu’aim dalam Dala’il Al-Nubuwah, mengisahkan sebagai berikut: Pada malam kelahiran Nabi, seluruh ternak Quraisy saling bercakap-cakap di antara mereka tentang telah lahirnya pemimpin umat. Aminah diperintahkan untuk memberi nama anak itu Muhammad atau Ahmad. Ketika mengandung, Aminah sama sekali tidak mengalami kesulitan. Namun ketika tiba saat dia melahirkan, hal-hal aneh terjadi:

Dan sementara kandunganku semakin berat dan aku mendengar kegaduhan yang semakin kuat, sebuah kain sutera putih terhampar antara langit dan bumi, dan aku mendengar sebuah suara berkata: “Biarlah ia sirna dari pandangan orang!” Aku melihat orang-orang berdiri di udara memegang guci-guci perak. Peluh yang menetes dariku bagai butir-butir mutiara dan lebih harum semerbak daripada kesturi, dan aku berseru: “Duhai Abdul Muthalib, hendaklah datang kepadaku! Celakalah andaikata Abdul Muthalib jauh dariku!” Lalu aku melihat kawanan-kawanan burung turun ke arahku dan hinggap memenuhi pangkuanku; paruh-paruh mereka dari zamrud, dan sayap-sayap mereka dari bunga. Dan Allah menyibakkan tabir dari kedua belah mataku. Lalu aku melihat bumi di timur dan di barat. Aku melihat tiga bendera berkibar. Satu di timur, satu di barat, dan satu di atap Ka’bah. Aku merasakan sakit, dan ini menyulitkanku….Maka aku melahirkan Muhammad, lalu aku berpaling kepadanya untuk melihatnya. Dan aduhai, dia terbaring dengan kedua tangannya mengangkat ke langit seperti orang sedang berdo’a. Lalu aku melihat awan turun dari langit menyelumutiku sehingga dia tidak tampak lagi olehku, dan aku mendengar sebuah seruan: “Pandulah dia mengelilingi bumi timur dan barat, dan pandulah dia ke samudera supaya mereka mengenal nama, sosok dan sifat-sifatnya, dan supaya mereka tahu bahwa akan disebut-sebut di samudera-samudera Al-Mahdi (Yang menghapus) sebab dia akan menghapus segala kesyirikan.” Lalu awan itu tiba-tiba lenyap, dan aduhai, dia dalam keadaan berbaring dengan berbusana bulu domba putih, dan di bawahnya terhampar alas hijau dari sutera. Dia memegang tiga kunci dari mutiara-mutiara putih, dan seseorang berseru: “Lihatlah, di tangan Muhammad tergenggam kunci kemenangan, kunci pertumpahan darah, dan kunci kenabian.”

Muhammad dilahirkan dalam keadaan bebas dari segala kotoran jasmani. Dia lahir dalam keadaan tersunat.

Suleyman Chelebi, penyair Turki termashur, melukiskan tentang kelahiran Muhammad dengan penuh ketakjuban :

Aminah Khatun, ibu Muhammad tercinta:
Dari tiram ini keluar mutiara kemilau itu.
Setelah menikah dengan Abdullah
Tiba masa kehamilan, berhari-hari, berminggu-minggu.
Kala kian dekat saat kelahiran Muhammad
Maujud banyak tanda kedatangannya!
Pada bulan Rabiul Awwal,
Pada hari kedua belas, malam Senin,
Ketika lahir sebaik-baik insan-
Betapa keajaiban-keajaiban disaksikan ibunya!
Tutur ibu sahabat itu: Kulihat
Sebuah Cahaya nan luar biasa; mentari bak ngengatnya.
Mendadak sontak mencuat dari rumahku,
Menerangi alam hingga ke langit.
Langit terbuka, sirnalah kegelapan,
Dan kulihat tiga malaikat membawa bendera.
Satu di timur, satu di barat,
Satu berdiri tegak di atas Ka’bah.
Barisan malaikat turun dari langit,
Mengelilingi segenap penjuru rumahku;
Turun para bidadari berkelompok-kelompok; cahaya
Dari wajah-wajah mereka membuat rumahku terang benderang!
Dan kain terhampar di udara,
“Kain sutera berlungsing emas” – dihamparkan satu malaikat.
Kala peristiwa-peristiwa ini demikian jelas kulihat
Bingung aku.
Mendadak sontak dinding-dinding terbelah
Dan tiga bidadari masuk ke dalam kamarku.
Sebagian bertutur bahwa di antara ketiganya, yang mempesona
Adalah Asiyah yang berparas bagai rembulan,
Yang satu sungguh Maryam,
Dan yang ketiga, bidadari nan cantik.
Lalu ketiganya yang berparas bagai rembulan mendekat perlahan-lahan
Dan di sini mereka menyalamiku dengan ramah;
Lalu mereka duduk di sekelilingku, dan menyampaikan
Berita-berita gembira tentang kelahiran Muhammad;
Tutur mereka: “Seorang putra seperti putramu ini
Belum pernah lahir semenjak Allah menciptatkan alam ini,
Dan Yang Mahakuasa tidak pernah mengaruniai
Seorang putra tampak seperti itu seperti putramu.
Telah kau dapatkan kebahagiaan luar biasa, Duhai nan tercinta,
Sebab darimu lahir sang bajik itu!
Dia Raja pengetahuan nan mulia Makrifat dan tauhidku.
Karena mencintainya langit berputar,
Manusia dan jin merindulkan wajahnya.
Malam ini malam dia
Akan menerangi alam semesta dengan cahaya berseri-seri!
Malam ini bumi jadi surga,
Malam ini yang berhati bersuka ria,
Malam ini menganugrahi para pecinta kehidupan baru.
Bagi alam semesta musthafa,
Yang memohonkan ampunan bagi pendosa: Musthafa!
Beginilah mereka melukiskannya kepadaku,
Bergeloralah kerinduanku akan cahaya barakah itu.”
Tutur Aminah: “Kala sudah tiba masanya
Sebaik-baik insan lahir,
Aku jadi sedemikian haus lantaran panas itu
Lalu mereka memberiku segelas serbat
Kala mereguknya aku tenggelam dalam cahaya.
Lalu datang seekor angsa putih bersayap besar nan lembut
Menyentuh tubuhku dengan lembut.
Dan lahirlah malam itu Raja Iman:
Bumi dan langit tenggelam dalam cahaya!”

Lalu mulailah Selamat datang besar dari alam semesta kepada Nabi yang baru lahir, yang kehadirannya telah mereka nanti-nantikan dengan kerinduan semacam itu, suatu selamat datang kepada kekasih Allah, yang kepada keperantaraannya pada Hari Kiamat semua mempercayakan:

Selamat datang, Duhai pangeran nan mulia, selamat datang!
Selamat datang, Duhai kearifanku, selamat datang!
Selamat datang, Duhai rahasia kitab, selamat datang!
Selamat datang, Duhai obat bagi penyakit, selamat datang!
Selamat datang, Duhai cahaya mentari dan cahaya rembulan Allah!
Selamat datang, Duhai yang tak terpisah dari Allah, selamat datang!
Selamat datang, Duhai burung bulbul Taman Keindahan!
Selamat datang, Duhai sahabat yang Mahakuasa!
Selamat datang, Duhai tempat bernaung umat!
Selamat datang, Duhai penolong fakir miskin dan si lemah!
Selamat datang, Duhai ruh nan abadi, selamat datang!
Selamat datang, Duhai pembawa cangkir bagi pecinta, selamat datang!
Selamat datang, Duhai kinasih Yang tercinta!
Selamat datang, Duhai yang paling dicintai Tuhan!
Selamat datang, Duhai pemohon ampun bagi si pendosa!
Hanya demi dikaulah Waktu dan Ruang diciptakan…

Demikian Yunus Emre. Al Barzanji menghabiskan waktunya untuk menulis sejarah nabi dalam bentuk syair, yang juga dikenal sebagai sayir Al Barzanji. Ketika seorang anak lahir (seperti halnya juga keempat anak-anak kami), kitab ini, biasa dibacakan sebagai ucapan selamat datang, seperti halnya dilakukan Al-Barzani untuk menyambut kelahiran Nabi saw.

Inginnya meneruskan tulisan ini, tapi malam sudah larut. Sampai di sini dulu…
Salam bagimu yang Rasulullah.

CATATAN RINGAN DARI TANAH SUCI
Sisi Lain Ibadah Haji Orang Pinggiran

(Episode-5)

Masjidil Haram –Masjid Paling Utama di Dunia
Adalah masjid dimana pada bagian tengahnya terdapat Ka’bah. Masjid ini berukuran sangat besar; bersama-sama dengan halamannya dapat menampung jamaah 900 ribu hingga 2 juta orang, memiliki 95 pintu masuk.

Pada masa Rasulullah saw., Masjidil Haram ini hanyalah berupa halaman kosong di sekeliling Ka’bah yang dibatasi rumah-rumah penduduk; tidak ada dinding tembok pembatas Masjid ini. Barulah pada masa Umar bin Khaththab dibuat dinding-dinding itu. Umar membuat dinding-dinding, pintu-pintu masjid, dan melapisi lantai tawaf dengan batu-batu kerikil. Umar membebaskan tanah di sekitar Masjidil Haram dan memperluas areal masjid pada tahun ke 17 Hijriah atau tahun 639 Masehi. Setelah itu Masjidil Haram mengalami perluasan dan renovasi berkali-kali, dan yang terakhir dilakukan oleh Raja Fahd pada tahun 1409 Hijriah atau 1988 Masehi, seperti yang kita saksikan sekarang.

Pintu dan Menara Masjid
Seperti disebutkan di atas, masjidil memiliki 95 pintu. Pintu nomor 1 (Baabul Malik Abdul Aziz) berdekatan dengan pintu nomor 95; lokasi keduanya dekat ke Hotel Hilton. Lokasi pintu-pintu tersebut, selain berfungsi sebagai akses keluar dan masuk jamaah, juga sangat berguna apabila kita hendak bertemu seseorang, sesama jamaah (teman, saudara atau siapa pun). Kita bisa janjian untuk bertemu di salah satu dari pintu-pintu itu. Bagi para jamaah adalah penting untuk mengingat dari pintu nomor berapa kita masuk, agar memudahkan waktu kembali keluar masjid. Tidak jarang jamaah tersesat di dalam masjid. Tidak tahu harus ke pintu mana dia keluar untuk kembali ke penginapannya. Ada baiknya senantiasa membawa buku kecil, yang antara lain, bisa digunakan untuk mencatat nomor pintu ini.

Dari ke 95 pintu tersebut, empat di antaranya merupakan pintu-pintu utama. Pintu-pintu ini dibedakan dengan pintu yang lain dari ukurannya yang besar. Keempat pintu tersebut adalah: Baabul Malik Abdul Aziz, Baabul Fath, Baabul Umrah, dan Baabul Malik Fahd). Keempat pintu itu juga diapit oleh menara-menara indah, menjulang tinggi. Ada delapan menara yang tiap dua menara tersebut mengapit pintu utama, dan 1 menara berada di sebelah pintu Shafa. Sehingga total menara di masjidil Haram adalah sembilan. Menara-menara inilah yang bisa terlihat dari jarak agak jauh. Selain menara, seluruh bagian Masjidil Haram terkungkung oleh gedung-gedung tinggi di sekitarnya.

Pendingin Udara
Apabila kita duduk atau berdiri di lantai Masjidil Haram, kita akan merasakan dinginnya lantai itu. Mengapa dingin? Tentu saja karena di bagian bawahnya disalurkan udara dingin dari mesin pendingin alias AC. Dinginnya lantai ini, pada siang hari, menambah nikmatnya shalat di dalam masjid. Kalau tanpa pendingin, terlebih ketika kita melakukan tawaf, lantai akan terasa panas sekali. Alhamdulillah, teknologi modern, sekali lagi, bisa menambah nikmatnya beribadah di Masjidil Haram.

Toilet dan Tempat Wudlu
Pada bagian halaman masjid terdapat bangunan toilet dan tempat wudlu yang sangat besar, masing-masing untuk laki-laki dan perempuan, terdiri dari dua lantai, di bawah tanah. Satu terletak di halaman masjid antara pintu nomor 1 (Baabul Malik Abdul Aziz) dengan Hotel Hilton, satu lagi terletak di halaman masjid dekat pintu Marwa (dekat Pasar Seng). Luas keseluruhannya mencapai 14.000 m2. Di tempat ini kita bisa berwudlu dengan santai, sambil duduk pada batu marmer.

Pada waktu-waktu shalat, beberapa menit menjelang adzan, tempat ini dijejali jamaah. Tapi, kendatipun jamaah demikian banyak, kran-kran yang ada, juga jumlahnya sangat banyak, cukup memadai untuk jamaah (saya pernah menghitungnya, tapi sekarang lupa lagi). Anda tak perlu khawatir antri lama. Cukup beberapa detik saja antrinya (Kondisi ini sangat berbeda dengan fasilitas tempat shalat dan wudlu di banyak tempat di negeri kita, seperti di tempat-tempat sholat di tol Jagorawi, yang selain mushalanya sangat kecil, juga tempat wudlunya sangat tidak memadai!). Apabila Anda ada maksud ke toilet, sebaiknya dilakukan agak jauh dari waktu shalat. Supaya leluasa.

Pelataran bangunan toilet dan tempat wudlu ini, juga dimanfaatkan para jamaah yang tidak tinggal di maktab atau hotel, untuk menginap. Ada ratusan sampai ribuan jamaah menginap di sini. Tidak hanya jamaah laki-laki, melainkan juga ibu-ibu dan anak-anak. Lumayan agak terlindungi dari dinginnya udara malam. Dan, yang lebih penting, tak perlu bayar penginapan. Di antara mereka, tak ada jamaah dari negara kita. Mereka umunya datang dari negara-negara Asia Tengah dan Afrika Utara.

Keutamaan Masjidil Haram
Dalam shahih Muslim disebutkan bahwa suatu hari Abu Dzar berkata pada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, masjid apakah yang pertama kali dibangun di muka bumi ini?” Rasulullah menjawab, “Masjidil Haram.” “Lalu masjid apa lagi?” tanya Abu Dzar. Beliau menjawab, “Masjidil Aqsha.” “Berapa lama antara keduanya?” lanjut Abu Dzar. “Empat puluh tahun,” kata Rasulullah.

Dari Jabir ra. Dikisahkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Shalat di masjidku ini adalah 1000 kali lebih utama daripada shalat di masjid selainnya, kecuali Masjidil Haram. Karena shalat di Masjidil Haram lebih utama 100.000 kali daripada shalat di masjid lain.” (H.R. Ibnu Majah).

Di dalam masjid inilah terdapat tempat-tempat paling mustajab di dunia. Di dalamnya ada Ka’bah dengan Hajar Aswad, Multazam, Pancuran Emas, Hijir Ismail, dan Makam Ibrahimnya. Juga Shafa dan Marwah. Dan, tentu saja sumur Zamzam.

Masjidil Haram dinyatakan Allah sebagai tempat yang aman. Allah berfirman:

Man dakholahu kaana aaminan

Siapa yang memasukinya, maka dia aman (QS. Ali Imran: 97)

Siapa pun yang masuk masjid, orang jahat sekalipun, maka dia terlindungi, aman, tidak bisa diganggu.

Sehubungan dengan shalat sunat yang hanya bisa dilakukan di masjid, tahyatul masjid, maka khusus untuk Masjidil Haram, tidak untuk masjid lain di seluruh dunia, dilakukan dengan tidak shalat, melainkan tawaf. Tahyatul masjid hanya dilaksanakan apabila keadaan tidak memungkinkan untuk tawaf; bisa karena banjir, seperti yang pernah terjadi pata tahun 1950; karena demikian penuhnya pelataran Ka’bah oleh jamaah yang sedang tawaf; atau khawatir ketinggalan shalat wajib berjamaah.

Tentang Pahala 100.000 kali
Tentang pahala demikian besar ini, menarik apa yang pernah disampaikan Ustadz Quraish Shihab, bahwa ganjaran yang sekian kali lipat itu adalah bagi yang shalat dengan sempurna. Artinya, dia berusaha untuk mendapatkan shaf terdepan, bukannya shalat yang dilaksanakan di lobby hotel, atau di bagian belakang, padahal masih ada shaf yang kosong di bagian depan masjid, tapi enggan untuk mengisinya. Memang, shalat di tempat-tempat tersebut sah-sah saja, akan tetapi shalat di dalam masjid dan apalagi berusaha mendapatkan shaf-shaf terdepan dengan mengisi celah yang kosong, jelas mempunyai nilai lebih. Paling tidak, dia akan mendapat nilai dari usahanya itu. Kita semua tahu, Allah tidak akan menyia-nyiakan ganjaran bagi orang yang berusaha. Karenanya, seperti juga sering saya sampaikan kepada teman-teman, sebaiknya kita berusaha untuk tidak shalat di halaman masjid, tetapi berusaha masuk masjid. Dan, kalau mungkin, maju terus ke bagian terdepan. Ada sebuah hadits yang berkaitan dengan hal ini.

Tiga orang masuk ke masjid (ruangan terlihat penuh), salah seorang di antara ketiganya kembali, dan dua orang lainnya masuk. Yang seorang di antara keduanya, berhasil mendapat tempat kosong, maka dia duduk, sedang yang kedua duduk di belakang hadirin (tanpa mencari tempat kosong lainnya). Nabi saw. berkomentar, “Maukah kalian kusampaikan keadaan ketiga orang tadi? Salah seorang di antara mereka bermohon tempat kepada Allah, maka Allah memberinya tempat, sedang yang kedua malu, maka Allah pun memeperlakukannya dengan perlakuan orang yang malu, sedang yang ketiga –yang kembali- berpaling, maka Allah pun berpaling tidak memandangnya.” (HR. Tirmidzi).

Silahkan Anda memilih. Mau menjadi yang berpaling, yang malu, atau yang berusaha mendapat tempat sambil berdo’a pada-Nya?

Ka’bah
Ka’bah artinya bangunan empat persegi. Adalah bangunan berbentuk empat persegi mirip kubus, berwarna hitam, berada di tengah-tengah Masjidil Haram. Keempat dindingnya mempunyai panjang dan lebar tidak sama, berkisar sekitar 10 – 12 meter; tinggi 15 meter.

Posisi Ka’bah tidak persis mengarah barat-timur atau utara selatan, melainkan sedikit miring ke kiri atau ke kanan, tergantung dari mana kita memandangnya. Dengan demikian, keempat sudutnya tidak persis menghadap ke arah baratlaut-tenggara atau baratdaya-timurlaut. Kalau Hijir Ismail kita anggap berada di utara dan Hajar Aswad kita sebut berada di sudut tenggara, maka posisi Ka’bah bisa dikatakan miring ke kiri atau ke arah berlawanan arah jarum jam sekitar dua puluh derajat. Tetapi kalau kita anggap Hijir Ismail berada di baratlaut Ka’bah dan Hajar Aswad di timur, kita bisa mengatakan bahwa posisi Ka’bah miring ke kanan atau ke arah searah jarum jam sekitar 20 derajat.

Ka’bah adalah baitullah, rumah Allah. Kepadanya kaum muslimin di seluruh dunia menghadapkan wajah, ketika shalat. Kecuali Ruknul (ruknul artinya sudut; orang Indonesia memudahkan pelapalannya dengan rukun) Hajar Aswad, ruknul atau rukun yang lain diberi nama sesuai dengan ke negeri mana sudut itu menghadap :
 Rukun Iraki, adalah sudut Ka’bah yang menghadap ke negara Irak di utara, atau tepatnya menghadap ke arah antara utara dan timurlaut (orang berbahasa Inggris biasa menyebutnya dengan NNE).
 Rukun Yamani, yakni sudut Ka’bah yang menghadap Negara Yaman, ke arah selatan atau antara selatan dan baratdaya (SSW).
 Rukun Syam, sudut Ka’bah yang menghadap ke Syam (Suriah) di arah barat atau antara baratlaut dan barat (WNW).
 Rukun Yamani, sudut dimana terdapat Hajar Aswad, yaitu pada arah antara tenggara dan timur (ESE).

Perihal Rukun Yamani dan Rukun Hajar Aswad, karena merupakan sudut-sudut yang memiliki arti khusus ketika tawaf, akan diuraikan dengan lebih rinci pada bagian terpisah.

Ka’bah adalah rumah peribadatan pertama yang ada di bumi. Firman Allah: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untu (tempat beribadah) manusia adalah Baitullah yang ada di Bakkah (Makkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang yang nyata (di antaranya) Maqam Ibrahim; dan barang siapa yang memasukinya, menjadi amanlah dia….” (Ali Imran: 96-97).

Ayat tersebut menerangkan bahwa sesungguhnya permulaan rumah yang didirikan bagi manusia di dunia, yang digunakan untuk beribadah kepada Allah, adalah rumah yang ada di Bakkah atau kota Makkah. Rumah itu diberi berkah dan sebagai petunjuk bagi manusia di seluruh alam. Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang nyata, di antaranya Maqam Nabi Ibrahim; dan barangsiapa masuk kedalamnya, amanlah dia.

Di dalam Al-Qur’an, tidak disebutkan sejak kapan dan sudah berapa lama Ka’bah ini didirikan; dan Nabi Muhammad pun tidak menerangan hal itu. Al-Qur’an hanya mengatakan:

“Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta Ismail….(Al-Baqaarah:127)

Ka’bah pertama kali dibangun oleh para malaikat. Dalam Kitab Usfuriah dikisahkan bahwa ketika Allah hendak menjadikan khalifah di muka bumi, para malaikat pun bertanya: ” Akankah Engkau menciptakan makhluk di sana, yang akan merusak di sana dan mengalirklan darah? Padahal kami bertasbih dengan puji kebesaran-Mu.” Maka murkalah Allah mendengar ucapan malaikat itu. Firmannya: “Aku tahu apa yang kalian tidak tahu.” Maka gentarlah malaikat, lalu bertawaf mengelilingi ‘Arasy tujuh kali. Maka diampuni kesalahan mereka oleh Allah. Kemudian Allah memerintahkan mereka membuat bangunan di muka bumi, sehingga nanti jika anak cucu Adam berbuat dosa di bumi dan kemudian bertawaf tujuh kali, maka diampuni dosa mereka seperti ampunan yang diberikan kepada para malaikat. Para malaikat kemudian turun dan mendirikan sebuah bangunan yang kemudian dikenal sebagai Ka’bah…

Dari zaman ke zaman, Ka’bah mengalami beberapa kali renovasi. Sejak Nabi Adam as., Nabi Syits as., Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as., hingga zaman Raja Fahd bin Abdul Aziz.

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar ra. bahwasannya ketika menurunkan Adam dari Surga, Alah berfirman: “Sesungguhnya Aku menurunkanmu bersama dengan sebuah rumah atau tempat yang di sekelilingnya digunakan tawaf sebagaimana juga halnya Arasy-Ku. Di sekitarya dijadikan tempat shalat, sebagaimana juga halnya Arasy-Ku.”

Dr. Muhammad Ilyas Abdul (2003) menyebutkan bahwa untuk menegaskan keberadaan Ka’bah sebelum dibangun oleh Nabi Ibrahim as, bahwasannya suatu hari Ibrahim berjalan hingga sampai di suatu lembah dimana ia dari situ ia tidak melihat Ka’bah, padahal wajahnya dihadapkan ke arahnya. Lalu, sambil mengangkat tangannya, ia berdo’a untuk anak keturunannya : “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman, di dekat rumah Engkau yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian orang cenderung kepada mereka. Dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur (QS. Ibrahim : 37)

Perlu diketahui bahwa Ibrahim berdo’a demikian itu setelah ia meninggalkan Ismail dan Ibunya di lembah tersebut. Hal demikian menunjukan keberadaan Ka’bah sebelum Ibrahim. Waktu itu, konsdisi Ka’bah sudah hancur; tinggal pondasinya saja. Di atas pondasi itulah Ibrahim dan putranya, Ismail, membangun kembali Ka’bah.

“ Dan ingatlah, ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar (pondasi) Rumah itu (Ka’bah) beserta Ismail (seraya berdo’a): “Ya Tuhan kami terimalah amalan kami. Seungguhnya Engkau Yang Maha Mendengar lagi Maha mengetahui (QS. Al-Baqarah : 127).

Suatu hari Ibrahim tiba di Makkah dan mendapatkan Ismail sedang duduk di bawah pohon yang terletak di belakang sumur Zamzam. Di sana Ismail sedang mengasah dan memperbaiki panahnya; ia hendak berburu. Ibrahim menyampaikan kepada Ismail bahwa Allah memerintahkan Ibrahim untuk mengunjungi Makkah dan membangun sebuah rumah suci, dimana umat manusia hendak menyembah Allah. Ismail menyambut ajakan ayahnya dengan siap sedia untuk membantunya.

Ketika melihat sumur Zamzam, Ibrahim melihat ada tanah yang sedikit naik di dekat sumur. Ia lalu berkata kepada Ismail bahwa ini adalah tempat yang telah dipilih Allah sebagai rumah suci. Ibrahim dan Ismail kemudian berbagi tugas; Ismail menyiapkan dan mengumpulkan batu yang diperlukan dan membawanya kepada Ibrahim; Ibrahim memasang batu-batu itu menjadi bangunan Ka’bah. Sepanjang pekerjaan, Ibrahim dan Ismail seantiasa berdo’a:

“Tuhanku, terimalah (ibadah) kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Dari banyak batu yang dipergunakan dalam membangun Ka’bah, ada dua batu yang menjadi sangat penting. Pertama, sebuah batu yang diletakkan di dekat sudut timur Ka’bah. Batu itu kelak dikenal sebagai batu hitam atau Hajar Aswad. Kedua, batu yang dipergunakan Ibrahim sebagai pijakan ketika melakukan pembangunan Ka’bah. Batu ini kemudian disebut Maqam Ibrahim. Keduanya akan diuraikan di bagian terpisah, di bawah ini.

Kisah Ibrahim dan Ismail membangun Ka’bah, direkam oleh al-Qur’an, dalam beberapa ayat:

Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannnya. Allah berfirman, “Sesungguhnya, Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata, “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.” Allah berfirman, “Janji-Ku tidak mengenai orang-orang yang zalim.” Dan ingatlah ketika Kami menjadikan rumah itu tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orag yang tawaf, yang itikaf, yang rukuk dan yang sujud.” Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo’a. “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa; dan berikanlah rezeki dari buah-buahann kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari akhir. Allah berfirman, “ Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail. “ Ya Tuhan kami terimalah amalan kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu; jadikanlah di antara anak cucu kami, umat yang tunduk patuh pada-Mu; tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat ibadah haji kami; dan terimalah taubat kami. Sesunguhnya, Engkaulah Yang Maha penerima Taubat lagi maha Penyayang. Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya, Engkaulah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana (QS. Al-Baqarah 124-129).

Katakanlah, “benarlah Allah.” Maka, itulah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya, rumah yang mula-mula dibangun untuk empat beribadah manusia ialah Baitullah di Makkah yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manuasia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, di antaranya maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi oring yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Mahakaya dari semesta alam (QS. Ali Imran: 95-97).

Dan ingatlah ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah degan mengatakan, “janganlah kamu memeperserikatkan sesuatu pun dengan Aku; dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orangyang ruku dan sujud (QS. Al-Hajj: 26)

Setelah Ka’bah selesai dibangun, tugas Ibrahim tidak serta merta berakhir. Masih ada satu tugas lain: Ibrahim disuruh untuk mengumumkan pesan bahwa Ka’bah sudah dibangun, dan kini menjadi kewajiban bagi manusia yang percaya dengan keesaan Allah untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah dan Ka’bah. Kewajiban itu, mengikat semua muslim yang memiliki kemampuan fisik dan finasial untuk menyelesaikan perjalanan ini.

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka; dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang ditentukan atas rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatanag ternak. Maka, makanlah sebagian daripadanya, dan sebagian yang lain berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka; dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka; dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah). Demikian perintah Allah. Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya…(QS. Al-Hajj: 27-….)

Apabila aku teringat kala di depan Ka’bah, hatiku menjerit, “Allah izinkan aku kembali ke sana. Limpahkan rizki yang banyak, halal, dan barokah agar aku bisa memberangkat banyak orang ke tanah suci-Mu, seperti halnya orang-orang yang telah menghantarkanku ke rumah-Mu.”

Pintu Ka’bah
Ketika pertama kali dibangun kembali oleh Ibrahim a.s., Ka’bah mempunyai dua pintu yang menyentuh tanah. Keduanya merupakan lubang yang tak ada tutup pintunya; hanya digunakan sebagai tempat keluar dan masuk Ka’bah. Pintu timur digunakan untuk masuk dan pintu barat untuk keluar Ka’bah. Raja As’ad Tubba’ III, salah seorang raja dari Yaman membuatkan daun pintu yang dapat dibuka-tutup.

Waktu kaum Quraisy merenovasi kembali Ka’bah, mereka menutup pintu barat; pintu timur ditinggikan dari permukaan tanah dan daun pintunya dibuat dua. Suatu kali, Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, ”Mengapa pintunya ditinggikan?” Rasulullah menjawab, “Kaummulah yang melakukannya, agar dapat memasukkan siapa yang mereka kehendaki, dan melarang masuk siapa saja sekehendaknya. Andai saja saya tidak khawatir hati kaummu itu akan menyimpang karena baru saja keluar dari zaman Jahiliyyah, maka saya tentu akan membuatkan tembok di dalam Ka’bah itu, dan menyentuhkan pintunya ke tanah.” Pintu Ka’bah ini, ada kuncinya. Dulu, kunci Ka’bah ini dipegang sendiri oleh Nabi Ismail a.s., kemudian diwariskan kepada putranya, Tsabit, dan diteruskan kepada anak-anaknya, sampai akhirnya kepada Qushai bin Kilab, kakek keempat Nabi SAW. Setelah futuh makkah, pada tahun 8 H, Nabi SAW meminta kunci itu dari Utsman bin Tholhah untuk membuka Ka’bah. Beliau masuk ke dalam dan tak lama keluar. Ketika keluar itu, Rasul bersabda, “ Ingatlah sesungguhnya setiap darah, harta dan perbuatan sewenang-wenang seperti pada masa Jahiliyyah adalah di bawah tangungjawabku untuk mengurusnya, kecuali pekerjaan memberi minum orang-orang yang sedang haji dan menjaga Ka’bah. Sesungguhnya aku telah menetapkan keduanya untuk dikembalikan kepada yang berhak sebagaimana berlaku pada masa Jahiliyyah.” Ucapan Nabi itu kemudian diikuti dengan turunnya ayat: “Sesunggunya Allah telah menyuruhmu untuk menunaikan amanat kepada yang berhak atasnya”. Rasulullah lalu memanggil Ustman bin Thalhah dan mengembalikan kunci kepadanya sambil berkata, “Ambillah ini wahai Bani Thalhah untuk selamanya, sehingga tidak ada yang merebutnya kecuali orang yang dzalim.”

Menurut Ibnu Katsir, banyak mufasir menyebutkan bahwa ayat tersebut turun menyangkut Utsman bin Thalhah. Dan, berdasarkan itu, kunci Ka’bah dikembalikan kepadanya oleh Nabi SAW. Kunci Ka’bah itu, terus diwariskan secara turun-temurun. Ucapan nabi mengenai hal ini, juga mengisyaratkan adanya kesinambungan dan keabadian keturunan Bani ibn Thalhah, serta keabadian tanggungjawab mereka mengurus dan menjaga Ka’bah sampai hati kiamat kelak.Kunci itu panjangnya 40 cm, tersimpan dalam tas dari kain sutera yang dihias dengan emas murni.

Multazam
Adalah suatu area seluas lebih kurang 2 meter persegi pada dinding Ka’bah, terletak antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah. Demikian ditegaskan oleh Ibnu Abbas dan Mujahid. Multazam adalah tempat dikabulkannya do’a. Di situ disunnahkan untuk berdo’a dengan menempelkan pipi, dada, lengan, dan kedua telapak tangan. Dikisahkan, Abdullah bin Amru, setelah tawaf lalu shalat dan mencium Hajar Aswad, kemudian berdiri di antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah, menempelkan dada, kedua tangan dan pipinya, sambil berkata, “Seperti inilah aku melihat Rasulullah melakukannya.”

Tentang Multazam, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Multazam adalah tempat yang mustajab, tidak seorang pun hamba Allah yang berdo’a di tempat ini kecuali akan dikabulkan.”

Ahmad Junaidi (2004) dalam bukunya Makkah Madinah mengutip kitab Akhbar Makkah, menerangkan bahwa ketika Nabi Adam a.s selesai melakukan tawaf, lalu shalat dua rakaat di depan pintu Ka’bah, kemudian berdiri di di Multazam dan berdo’a :

“Ya Allah, Engkau Maha mengetahui segala apa yang kau rahasiakan dan segala yang aku tampakkan, terimalah pengaduanku. Engkau Maha mengetahui apa yang ada dalam jiwaku dan segala apa yang ada padaku, ampunilah dosa-dosaku. Engkau mengetahui segala apa yang aku perlukan, berikan kepadaku apa yang aku minta. Ya Allah, aku mohon kepada-Mu iman yang memenuhi hatiku dan keyakinan yang mantap hingga menyadarkan aku bahwa tidak akan ada yang mencelakakan aku kecuali apa yang telah Engkau pastikan untukku, dan menyadarkan aku sehingga aku rela atas apa yang engkau tetapkan untukku.”

Setelah Adam selesai menyampaikan do’anya, Allah menurunkan wahyu kepada Adam, “ Wahai Adam, kau telah berdo’a dengan beberapa permintaan, Aku penuhi semua permintaan itu. Dan siapa pun dari anak-anakmu yang berdo’a dengan do’amu itu, pasti Aku hilangkan keresahan dan kesedihannya, Aku kembalikan apa yang hilang dari padanya, Aku cabut dari hatinya perasaan miskin, Aku jadikan dia kaya dalam kenyataan dan Aku sukseskan perdagangannya, sehingga kekayaan dunia berdatangan kepadanya walaupun tanpa ia minta.”

Ustadz Quraish Shihab menerangkan bahwa Multazam adalah tempat yang dapat dinilai paling utama. Multazam terambil dari kata lazim yang dalam bahasa Arab berarti “harus”. Multazam adalah tempat dimana Allah Saw mengharuskan diri-Nya untuk menerima permohonan setiap orang yang tulus kepada-Nya. Merengeklah di sana kepada Allah, pegang pintu Ka’bah –jika memungkinkan- cucurkan air mata sambil memohon apa saja yang Anda inginkan, baik kebahagiaan duniawi maupun ukhrawi.

Rukun Yamani
Rukun Yamani berada pada sudut Ka’bah yang menghadap ke Yaman, sembilan puluh derajat searah jarum jam dari hajar Aswad. Setiap jamaah yang sedang melakukan tawaf, disunatkan untuk mengusap Rukun Yamani dengan tangan kanan, atau paling tidak –karena kondisi tak memungkinkan- cukup dengan melambaikan tangan kanan sambil membaca bissmillahi Allahu Akbar. Rukun Yamani juga merupakan tempat yang mustajab. Karenanya, ketika Anda tawaf dan bisa mendapatkan Rukun Yamani, jangan lewatkan kesempatan untuk berdo’a. Dari Ibnu Umar bahwa rasulullah SAW bersabda, “Seungguhnya mengusap keduanya akan menghapuskan dosa.”

Ketika bertawaf, setelah titik atau garis lurus dari Rukun Yamani ke arah luar Ka’bah berjalan searah jarum jam, Anda akan bertemu garis berwarna coklat pada lurusan Hajar Aswad. Pada seperempat putaran itu bacalah do’a yang Rasulullah saw contohkan, yakni do’a yang paling Anda hafal dari seluruh koleksi do’a Anda : “do’a sapu jagat”. Jadi, antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad, bacalah do’a, “Rabbanaa aatina fid_dunyaa hasanah wafil aakhirati hasanah waqinaa adzabannaar.” (Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaika di akhirat, dan hindarkanlah kami dari siksa neraka)

Setelah redaksi do’a sapu jagat, para jamaah umumnya menambahkannya dengan do’a :
“Wa adkhilnal jannata ma’al abraar, yaa ‘aziizu yaa ghaffaaru, yaa robbal ‘aalamien”

(Dan masukkanlah kami ke dalam surga bersama orang-orang yang berbuat baik, wahai Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Pengampun dan Tuhan Yang Maha menguasai seluruh alam).

Hijir Ismail
Pada arah utara Ka’bah (tepatnya arah antara baratlaut dan utara; dalam bahasa Inggris lazim digunakan singkatan NNW) terdapat tembok setinggi lebih kurang satu setengah meter, membentuk setengah lingkaran, itulah Hijir ismail. Pada mulanya Hijir Ismail berbentuk lingkaran utuh, tetapai saat renovasi pada zaman Quraisy, separuh lingkarannya terpotong yang dalam bahasa Arab disebut hathim, artinya yang terpotong. Di situlah nabi Ibrahim a.s memjadikannya sebagai rumah kecil dari batng-batang pepohonan yang berdahan lebat yang diperuntukkan bagi Ismail dan ibunya, Siti Hajar. Di situ pula Ismail dan Hajar dimakamkan.

Pernah Aisyah bertanya kepada Nabi SAW tentang dinding (Hijir Ismail) :” Apakah ia bagian dari Ruah Suci ini?” Nabi menjawab : “Betul.” Kemudian Aisyah bertaya lagi :”Mengapa mereka tak memasukkan sekalian sisanya ke Ka’bah?” “Sebab kaummu kekurangan dana …,” jawab Nabi. Jadi, ketika Ka’bah direnovasi kembali oleh kaum Quraisy pada tahun 606 Masehi, mereka kehabisan dana. Saat itu diumumkan bahwa hanya dana halal yang boleh disedekahkan untuk keperluan renovasi ini. Karena kekurangann dana itulah, mereka mengurangi panjang tembok sisi barat dan sisi timur di bagian utara tembok itu lebih kurang3 meter. Dr. Muhammad Ilyas Abdul Ghani dalam bukunya Sejarah Mekah berpendspat bahwa, hanya sebagian dari hijir Ismail yang merupakan bagian dari Ka’bah, yakni 3m ke depan itu, sedangkan sisanya bukan bagian dari Ka’bah. Tetapi, jumhur ulama -setidaknya dari referensi yang pernah saya baca dan diskusi dengan beberapa ustadz- tidak menyebut-nyebut pemisahan mana bagian Hijir Ismail yang termasuk wilayah Ka’bah dan mana yang tidak termasuk, melainkan menyebutnya bahwa Hijir Ismail adalah bagian dari Ka’bah.Wallahu ‘alam.

Tawaf, dinilai tidak sah apabila dilakukan hanya dengan mengitari Ka’bah; dalam artian bangunan 4 persegi itu saja, tanpa mengitari Hijir Ismail. Barangsiapa yang melakukan shalat di Hijir Ismail, maka sesungguhnya ia telah shalat di dalam Ka’bah. Suatu hari Aisyah berkata, “ Aku ingin sekali masuk ke Ka’bah dan shalat di dalamnya, Rasulullah SAW lalu menarik tanganku dan membawanya ke dalam Hijir Ismail, sambil berkata ‘Shalatlah di dalamnya jika engkau ingin masuk Ka’bah, karena ia merupakan bagian dari Rumah Suci ini.”. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Aisayah berkata :” Tidak peduli aku shalat di Hijir Ismail atau di Ka’bah.

Seorang kawan mengirim pesan singkat lewat telefon selulernya, “Di tengah-tengah waktu tawaf, bolehkan kita shalat di Hijir Ismail.” Saya jawab,” Tidak boleh, karena Hijir Ismail adalah bagian dari Ka’bah. Kalau mau selesaikan dulu tawaf dan Sa’i, baru masuk Hijir Ismail dan shalat di dalamnya atau shalat dulu di Hijir Ismail, baru kemudian tawaf.” Perlu diketahui bahwa shalat di Hijir Ismail adalah shalat yang berdiri sendiri, tak ada kaitannya dengan tawaf. Jadi, kita bisa shalat di situ diluar waktu tawaf bahkan ketika suatu hari, misalnya, kita berkunjung ke Masjidil Haram bukan dalam rangka haji, bukan pula untuk umrah, tetapi untuk keperluan lain, boleh kita shalat sunnah di Hijir Ismail ini.

Rasulullah SAW pernah berkata kepada Abu Hurairah r.a, “Wahai Abu Hurairah, sesunggunhnya di pintu Hijir Ismail ini ada malaikat yang selalu berkata pada setiap orang yang masuk dan shalat dua rakaat di Hjir Ismail, ‘Kau telah diampuni dosa-dosamu, mulailah dengan amalan yang baru’. Juga di pintu satu lagi ada malaikat yang selalu berkata pada setiap orang yang keluar setelah shalt di Hijir Ismail, ‘Kau telah mendapatkan rahmat, kau ummat Muhammad dan kau telah menjadi orang yang bertaqwa’.”

Betapa utamanya Hijir Ismail ini. Karenanya, sayang kalau kita yang datang dari jauh untuk melaksanakan haji, tetapi tidak berkesempatan shalat di sini. Seperti disebutkan di atas bahwa do’a di Hijir Ismail dan apalagi di bawah pancuran emas termasuk do’a yang dikabulkan. Maka, apabila Anda berkesempatan masuk ke Hijir ismail, jangan lewatkan fasilitas kemudahan makbulnya do’a di tempat ini. Selama di tanah suci sangat banyak orang yang bisa shalat di sini, tetapi juga tidak sedikit yang tidak berkesempatan shalat di dalamnya. Saya sangat menganjurkan kepada Anda yang hendak pergi ke Tanah Suci -setelah sampai di sana dan masuk Masjidil Haram, sebelum berusaha masuk ke Hijir Ismail -untuk shalat dulu di Makam Ibrahim. Seusai shalat, berdo’alah dengan khusyu; minta kepada-Nya agar dimudahkan untuk bisa masuk dan shalat di hijir Ismail. Insya Allah, Dia akan mengabulkannya.

Pancuran Emas
Di dalam area Hijir Ismail bagian depan, pada bagian atas Ka’bah, terdapat talang air terbuat dari logam berlapiskan emas. Orang Jawa Barat menyebutnya sebagai Pancuran Emas (pancuran artinya saluran -biasanya dalam bentuk pipa atau sejenisnya- tempat air keluar, berada di atas permukaan tanah). Pancuran ini dibuat untuk memperlancar peredaran air dari atap Ka’bah ketika proses pencucian maupun untuk menghindari genangan air apabila turun hujan. Semula, Ka’bah tidak mempunyai atap, tetapi ketika renovasi oleh kaum Quraisy waktu itu, dibuatlah atap Ka’bah dan sekaligus dibuat juga pancuran ini. Para ulama salaf menambahkan bahwa do’a di Hijir Ismail di bawah pancuran emas termasuk do’a yang dikabulkan.

Apabila Anda sudah berada dalam area Hijir Ismail, pada bagian depan, tepat di bawah pancuran ini, Anda akan mendapatkan kepadatan populasi jamaah yang luar bisa. Mereka berebut untuk berdo’a di bawah Pancuran Emas. Banyak jamaah meratap, menangis, mengiba pada Ilahi. Tetes-tetes air mata jamaah, mengalir tanpa henti. Alangkah nikmatnya!

Maqam Ibrahim
Maqam artinya tempat berdiri. Maqam Ibrahim adalah batu yang dijadikan tempat berdiri Nabi Ibrahim a.s. ketika membangun Ka’bah. Dengan berpijak di batu itulah, Ibrahim meletakkan dan merekat batu-batu yang disodorkan Ismail a.s. untuk meninggikan tembok dinding Ka’bah. Setiap kali bangunan bertambah tinggi, bertambah tinggi pula posisi batu pijakan itu. Jadi, ketinggian batu pijakan ini menyesuaikan dengan ketinggian bangunan, sehingga memudahkan dalam pekerjaan ini. Kini, pada batu itu, kita bisa melihat dua buah lubang memanjang yang merupakan bekas telapak kaki Nabi Ibrahim as.

Maqam Ibrahim berada di sebelah timurlaut dari Ka’bah, padanya dibuat sejenis rumah atau lebih mirip sangkar burung terbuat dari rangka besi dengan kaca tebal, sehingga lebih terlindungi dari hal-hal yang mungkin bisa menyebabkan kerusakannya. Bangunan rumah atau sangkar itu, juga memudahkan jamaah untuk melihat dari jauh, apakah ia berada pada posisi lurus dengan maqam atau tidak. Ketika tawaf atau pun sedang tidak tawaf, jamaah dapat dengan tidak terlalu sulit melihat bekas pijakan Nabi Ibrahim ini. Sejarawan Thahir al-Kurdi (wafat 1400 H) menyimpulkan bahwa jejak telapak kaki di maqam tersebut masing-masing memiliki kedalaman 10 cm dan 9 cm, panjang 22 cm dan lebar 11 cm. Tidak tampak bekas jari-jari kaki.

Ahmad Junaidi (2004) dan Iwan Gayo (2000) mengutip keterangan dalam kitab Akhbar Makkah menyebutkan, bahwa setelah Nabi Ibrahim menyelesaikan pembangunan Ka’bah, beliau diperintahkan untuk memanggil semua manusia untuk berhaji ke Baitullah. Ketika memanggil umat manusia untuk berhaji dan ziarah ke Baitullah itulah Nabi Ibrahim menggunakan batu itu untuk naik ke atas hingga melebihi ketinggian gunung-gunung yang ada di Makkah dan sekitarnya. Dengan kehendak Allah suara Nabi Ibrahim dapat didengar oleh semua manusia yang ada dan yang akan ada sehingga mereka menjawab, “Ya…ya…aku penuhi panggilanmu.”

Salah satu keistimewaan Maqam Ibrahim –yang juga merupakan keistimewaan Hajar Aswad- adalah adanya pemeliharaan Allah agar tidak disembah oleh orang-orang musyrik Jahiliyyah. Menurut catatan sejarah, ketika banyak orang pada Zaman Jahiliyyah menyembah berhala-berhala -antara lain batu-batu—tetapi tidak ada yang menyembah kedua batu ini. Kedua batu ini juga sama-sama diturunkan Allah dari surga dan kelak akan ditarik kembali ke surga.

Maqam Ibrahim juga menjadi salah satu tempat yang dianjurkan untuk shalat dan berdo’a, karena ia merupakan salah satu tempat yang makbul. Umar bin Khaththab pernah mengusulkan kepada Rasulullah saw. agar menjadikan Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya : “Jadikanlah Maqam Ibrahim sebagai mushalla (QS. Al-Baqarah : 125).
Shafa dan Marwah
Shafa adalah bukit kecil (saya kira disebut bukit karena sedikit lebih tinggi dari tanah sekitarnya yang berupa permukaan tanah datar padang pasir; dalam terminologi Indonesia yang kaya dengan alam pegunungan, rasanya agak sulit mengelompokkan lanscap “setinggi” ini disebut bukit, kita mungkin cukup menyebutnya batu saja) sebelah selatan Ka’bah. “Bukit” ini menjadi titik awal pelaksanaan Sa’i. Sedangkan Marwah adalah juga bukit kecil di sebelah uata Shafa, berjarak sekitar 450 meter dari Shafa, dan menjadi titik akhir pelaksanaan sa’i. Antara kedua bukit itulah dilakukan lari-lari kecil, sai, sebanyak tujuh kali. Hal ini seperti pernah dilakukan untk pertama kalinya oleh Siti Hajar, istri Ibrahim as., ketika berlari-lari mencari air untuk Ismail, bayinya yang kelaparan dan kehausan di tengah padang pasir yang panas dan gersang.

Shafa dan Marwah merupakan salah satu dari syiar-syiar Allah. Allah swt. Berfirman, “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian daro syiar-syiara Allah.” (QS. Al-Baqarah: 158)

Secara ringkas sejarah tentang ini diuraikan di bawah ini.

Setelah Nabi Ibrahim as. menempatkan Siti Hajar dan Ismail di dekat Ka’bah, dan meninggalkan tempat air dan tas kulit berisi kurma untuk istri dan anaknya, beliau langsung berangkat kembali ke Syam. Ketika Ibrahim semakin jauh berjalan, Siti Hajar semakin cemas mengenai apa yang akan terjadi. Ia kemudian meninggalkan Ismail sebentar, berdiri, menyusul Ibrahim sambil berkata, “Wahai suamiku, akan kemana engkau dan mengapa aku dan anakku kau tinggalkan di sini, tempat yang kosong tidak ada apa-apanya?”

Ibrahim tidak menghentikan perjalanannya, tidak menengok, dan tidak pula mengatakan sepatah kata pun. Mungkin kepedihannya terlalu dalam sehingga ia tidak bisa berbicara saat itu. Siti Hajar tetap mengejarnya sambil berteriak, ‘Wahai Ibrahim, engkau akan pergi ke mana? Apakah kamu akan meninggalkan kami di lembah ini, dimana tidak ada seorang pun teman atau apa pun juga?”. Ibrahim terus berjalan. Karena tidak mendapat tanggapan, Siti Hajar meninggikan suaranya untuk bertanya kepada Ibrahim, “Apakah Allah memerintahkanmu berbuat demikian?” Setelah mendengar pertanyaan ini, Ibrahim berhenti dan mengiyalan pertanyaan itu. Allah telah memerintahkan Ibrahim untuk meninggalkan Siti Hajar dan Ismail di lembah tandus ini.

Setelah mendapat jawaban dari Ibrahim, Siti Hajar hanya punya satu pertanyaan tambahan, “Wahai Ibrahim, kepada siapa engkau meninggalkan kami?” Jawaban Ibrahim jelas dan langsung kepada intinya, “Aku menitipkanmu pada perlindungan Allah.” Pada saat itu, terlepas dari berbagai pertanyaan tak terjawab dalam benak Hajar, keimanan dan kepatuhan Siti Hajar ternyata lebih dominan pada dirinya. Ucapan selamat tinggal kepada suaminya itu singkat, meski mengandung banyak makna mengenai sifat dan komitmennya kepada Allah, “Aku ridha bersama Allah.”

Siti Hajar kemudian berbalik dan kembali kepada bayi, Ismail, yang ia tinggalkan sesaat ketika mengejar Ibrahim. Siti Hajar, seorang ibu yang belum lama melahirkan, ditinggal suaminya, di suatu lembah yang kering kerontang. Entah untuk berapa lama. Ia hanya berdua dengan bayinya. Tiada orang lain.

Ibrahim terus berjalan meninggalkan lembah Makkah. Perjalanan yang sangat sulit baginya. Setiap langkah terasa berat baginya. Sangat mungkin Ibrahim merasakan kakinya terasa berat, hatinya pedih, dan matanya menangis. Sebelumnya, Allah telah berkali-kali menguji Ibrahim dan sepanjang ujian itu Ibrahim senantiasa berperilaku saleh dan mentaati perintah Allah. Ujian meninggalkan Siti Hajar dan Ismail di lembah tandus dan sepi, boleh jadi merupakan ujian yang terasa paling berat bagi Ibrahim.

Ketika Ibrahim sudah berjalan cukup jauh hingga tak lagi terlihat oleh Siti Hajar, ia berbalik untuk memandang Makkah. Ia berdiri di sana, menengadahkan kedua tangannya, dan menyebut nama Allah. Ia mempercayakan dan menitipkan Siti Hajar dan Ismail di bawah perlindungan Allah, dan ia memohon kepada Allah akan keselamatan Siti Hajar dan Ismail.

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “ Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkan aku beserta aak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakaiku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cederung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yag kami lahirkan; dan tidak ada satu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit. Segala puji bagi Allah yang telah menganugrahkan kepadaku di hari tua(ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha mendengar (memperkenankan) do’a. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do’a kami. Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mu’min pda hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (QS. Ibrahim:35-41)

Setelah kembali kepada anaknya yang masih bayi itu, Siti Hajar membuka tas kulit yang berisi kurma yang ditinggalkan Ibrahim. Ia memakan kurma itu. Ia juga membuka kantong air dan meminumnya. Ia harus menyusui Ismail, sehingga ia perlu memperbanyak air susunya. Kurma dan air menopang Siti Hajar dan air susunya untuk sementara waktu, Ismail pun mendapat perawatan yang baik. Tapi, suhu di Makkah sedang panas, dan dalam lingkungan seperti itu, persediaan air Siti Hajar tidak bertahan lama. Akhirnya, air pun habis, dan tak lama kemudian, kemampuan Siti Hajar untuk menyusui Ismail pun menurun. Ismail menangis karena lapar dan haus. Karena tak tahan
Menyaksikan penderitaan Ismail, Siti Hajar segera meninggalkan tempat itu untuk mencari bantuan. Mungkin akan ada rombongan yang akan melewati Makkah.

Siti Hajar bangkit dengan terhuyung-huyung dan mengamati bukit terdekat dengan perasaan cemas. Perlahan-lahan, di tengah udara Makkah yang panas, ia memaksakan tubuhnya yang kekurangan air untuk berjalan ke bukit dan meninggalkan Ismail sendirian. Setelah tiba di kaki bukit yang bernama Shafa, ia merangkak naik dengan harapan akan menemukan rombongan kafilah yang lewat dan mendapatkan air. Ia melepaskan pandangannya ke arah yang jauh, ke kiri dan ke kanann kalau-kalau ada orang yang dapat dimitai pertolongan. Namun, setelah lelah memandang ke segala arah, ia tidak menjumpai seorang pun. Siti hajar kemudian menyeret tubuhya yang lelah menuruni permukaan batu yang licin dan tak rata ke arah lembah.

Mungkin, Siti hajar semula berniat pergi dan duduk bersama Ismail ketika mencapai lembah. Tapi setelah lepas dari Shafa, kasih sayangnya yang besar kepada Ismail memaksa badannya untuk berjalan terus mencari tanda-tanda kehadiran orang lain. Ia menyelempangkan bajunya dan mulai lari tergesa-gesa melintasi lembah. Namun, meski ia memiliki semangat yang besar, ia tidak mampu berlari jauh dan larinya segera berubah menjadi langkah limbung. Namun, entah bagaimana, dia mampu berjalan sekitar 450 meter dari Shafa ke Marwah.

Sebagaimana di Shafa, Siti Hajar menjangkau ke dalam batinnya untuk menemukan cadangan kekuatan agar bisa mendaki Bukit Marwah. Setelah mencapai puncak Marwah, ia kembali mengamati lembah dan cakrawala untuk mencari tanda-tanda kehidupan lain. Setelah tak menemukan apa pun, ia kembali menuruni Marwah. Dalam perjalanan menuju Ismail, Siti Hajar kembali merasakan semangat yang besar sehingga ia bisa berlari. Sebagaimana sebelumnya, ia tak bisa berlari lama. Tapi, kini ia relatif lebih dekat ke Shafa, dan ia merasa dirinya menaiki permukaan berbatu itu sekali lagi. Setelah mampu mencapai puncaknya, Siti Hajar hanya melihat lembah yang tandus dan hampa. Sekali lagi, Siti Hajar menuruni permukaan Shafa yang berbatu dan licin. Setelah sampai di dasar lembah, Siti hajar kembali merasakan semangat besar, sama seperti pernah dialami dua kali sebelumnya. Ia pun kembali ke puncak Marwah walau pun tak membawa hasil, dan dia lalu menuruni Marwah. Demikian seterusnya hingga 7 kali, yakni sekali dari Shafa ke Marwah (1); dari Marwah ke Shafa (2); Shafa ke Marwah (3); Marwah ke Shafa (4); Shafa ke Marwah (5); Marwah ke Shafa (6); Shafa ke Marwah (7). Inilah yang kemudian dikenal sebagai Sa’i: lari-lari kecil antara Shafa dan Marwah. Mengenang usaha Siti Hajar mencari air untuk bayinya yang kehausan, di tengah lembah padang pasir nan gersang.

Setelah Siti Hajar merasa bahwa usahanya telah maksimal, ia kembali mendapati bayinya, Ismail. Kemudian datanglah Malaikat Jibril menghentakkan tanah sehingga memancarlah air yang berlimpah yang kemudian dimanfaatklan Siti Hajar dan Ismail untuk minum. Air itu kelak dikenal sebagai Air Zamzam

Saat ini Shafa dan Marwah, demi mengenang usaha dan kasih ibu untuk anaknya, jamaah haji atau umrah, melakukan lari-lari kecil antara 2 bukit itu, sejumlah seperti yang Siti Hajar lakukan, 7 kali.

Peristiwa Sejarah yang Berkaitan dengan Shafa
Beberapa peristiwa bersejarah terjadi di bukit Shafa, sebagai diantaranya diuraikan di bawah ini. Bukhary meriwayatkan dari ibnu Abbas bahwa ketika turun ayat:
“Dan berilah peringatan kepada kaum kerabatmu yang dekat.” (QS. Asy-Syuara:214)
Nabi saw. naik ke Bukit Shafa dan menyeru:”Wahai Bani Fahr! Wahai Nani Addi!” Maka berkumpullah orang-orang Quraisy. Mereka yang berhalangan mengutus wakilnya, untuk memastikan apa yang terjadi. Di antara mereka datang pula Abu Lahab. Nabi lalu berkata,” Bukankah aku telah memperlihatkan pada kalian semua, bahwasannya aku telah memberitahukan ada seseorang di lembah ini yang ingin merubah kehidupan kalian. Apakah kalian semua mempercayaiku?” Mereka serentak menjawab, “Kami tidak pernah mendapatimu kecuali seorang yang jujur.” Maka Nabi pun kembali berkata, “Sesungguhnya aku ini seorang pemberi peringatan kepadamu dari siksa yang pedih.” Mendengar itu semua, Abu Lahab berkata, “Celakalah kau! Untuk inikah engkau kumpulkan kami?” Setelah itu turunlah ayat:

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelaj dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ad tali sabut.” (QS. al-Lahab:5)

Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata bahwa orang-orang Quraisy datang kepada Nabi dan berkata, “Mohonlah kepada Tuhanmu agar menjadikan bukit Shafa ini emas bagi kami, sehingga akami akan beriman.” “Apakah kalian akan melakukannya?”, seru Nabi. Lalu mereka menjawab: “Ya”. Kata Ibnu Abbas, setelah itu Nabi memohon sehingga datanglah Malaikat Jibril sambil berkata, “ Sesungguhnya Tuhanmu memberi salam kepadamu. Jika Aku menghendakinya, niscaya dijadikannya bukit Shafa itu emas buat mereka. Dan barangsiapa dari mereka ingkar setelah itu, maka Aku akan menyiksanya dengan siksa yang belum pernah Aku timpakan kepada seluruh alam raya ini. Dan jika Aku menghendaki, niscaya Aku bukakan bagi mereka pintu taubat dan rahmat.” Lalu Nabi menjawab, “Aku ingin pintu taubat dan rahmat.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa saat itu turunlah ayat, “Sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena tada-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu.” (QS. Al_isra: 59)

Suatu ketika, Abu jahal berjalan di Shafa melewati Nabi saw., lalu menyakiti dan memukul kepela beliau dengan batu hingga terluka dan mengeluarkan darah. Ketika Hamzah bin Abdul muthalib mengetahui hal itu, ia langsung mendatangi Abu Jahl yang ketika itu sedang berada di tempat perkumpulan Quraisy, dekat Ka’bah. “Bagaimana engkau mengumpat keponakanku sementara aku dalam agamanya?” kata Hamzah. Ia kemudian memukul Abu Jahal dengan busur panah hingga menyebabkan luka yang cukup parah.

Pada waktu pembebasan Makkah, Nabi saw. Berdiri di atas bukit Shafa dan bersabda, “Barangsiapa masuk ke rumah Abu Sufyan, maka amanlah dia. Barangsiapa meletakkan senjatanya, maka amanlah dia.” Kemudian orang-orang Anshar saling berbisik di antara mereka bahwa Nabi telah bersikap lembah lembut kepada keluarganya dan mencintai kampung halamannya, maka mungkin sekarang Nabi akan menetap di Makkah dan tidak akan kembali ke Madinah. Kemudian Nabi akan memindahkan tempat kedudukannnya ke kota Makkah. Tanah tumpah darahnya, berkumpul dengan dengan bangsa dan sukunya, serta kerabat dan saudaranya. Berita itu sampai kepada Rasulullah dan beliau berkata, “Hai orang-orang Anshar, apa yang kamu perbincangkan?” Nabi saw. lalu bersabda, “Aku berlindung kepada Allah. Tempat hidupku di tempat hidupmu dan tempat matiku di tempat matimu.” Dengan ucapan Rasul ini, puaslah kaum Anshar.

Bukit Shafa menjadi saksi bagi orang-orang yang dahulunya mengusir, menyakiti dan memerangi Nabi ketika di Makkah, pada waktu fath Makkah, mereka berkumpul di sekitar bukit Shafa, berbaiat masuk Islam.

Bersambung…………………….

CATATAN RINGAN DARI TANAH SUCI
(Episode-4)

Haji adalah Napak Tilas Sejarah
Perjalalan haji adalah perjalanan napak tilas sejarah. Sejarah Nabi saw. dan para nabi sebelumnya, serta sejarah para sahabat. Perjalanan haji akan terasa kering kalau kita tidak membaca sejarah. Disamping sering mendengar orang-orang yang mendapat suatu kenikmatan yang dia tak dapatkan di tempat lain, tak jarang saya mendengar kesan orang yang baru pulang dari tanah suci bahwa mereka merasa biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Tak ada derai air mata bahagia melihat Ka’bah. Tak ada tangis kerinduan ketika menziarahi makam kekasih di Masjid Nabawi. Sangat boleh jadi, ada sesuatu yang mis pada kawan-kawan yang pergi haji tetapi tidak mendapatkan kesan mendalam dari ibadah haji tersebut. Barangkali, -suudzon saya-, mereka sedikit alfa sejarah. Sejarah Nabi dan para sahabatnya yang menjadi pemegang peran utama sejarah Makkah dan Madinah. Kealfaan ini menyebabkan kekosongan dalam fikiran dan hati, ketika kita datang di kedua kota suci ini. Tanpa koneksitas sejarah, sangatlah sulit kita bisa faham dan nyambung dengan apa yang kita hadapi, kita ziarahi di haramain ini. Karenanya, dalam catatan ringan ini, saya senantiasa mengaitkannya semua obyek yang diziarahi dengan sejarah. Terutama bagi yang kebetulan tidak cukup waktu untuk membaca buku-buku sejarah Rasul dan para sahabatnya, juga bagi yang pernah membacanya tapi sudah lama sekali dan agak-agak lupa, saya ingin membuka tulisan ini dengan –sekali lagi- sejarah, sebagai penghantar ke obyek bahasan. Dengan itu, semoga tulisan ini menjadi alat penyambung ketika pembaca, suatu hari, pergi haji. Semoga bermanfaat.

Makkah dan Sekitarnya Yang Syarat Sejarah

Makkah Sebagai Tanah Haram
Allah telah mensucikan seluruh kawasan Makkah dan sekitarnya, sebagai tanah yang disucikan Allah sejak diciptakannya bumi hingga kiamat nanti. Dikisahkan bahwa Malaikat Jibril memberi tahu Nabi Ibrahim tentang batas-batas tanah suci dan menyuruhnya untuk menandainya dengan menancapkan batu. Ibrahim pun melaksanakannya. Karena peristiwa itulah, Ibrahim disebut-sebut sebagai orang pertama yang menandai batas-batas kawasan suci Makkah, yaitu batas yang memisahkan antara daerah yang suci, Makkah, dengan daerah sekitarnya.

Setelah pembebasan Makkah (fath Makkah), Rasulullah saw mengutus Tamim ibn Asad al-Khazai untuk memperbaiki dan memperbaharui tanda-tanda tersebut. Pada masa para khalifah sepeninggal Rasulllah saw., pekerjaan ini terus dilanjutkan. Tanda-tanda batas tanah suci itu keseluruhannya berjumlah 943 buah yang ditancapkan di atas gunung, bukit, lembah, dan tempat-tempat yang tinggi.

Panjang kawasan Tanah Suci Makkah 127 km; luas kurang lebih 550 km2. Di kawasan ini Allah telah menjadikannya sebagai tempat kembali (matsabah), tempat bertemunya seluruh manusia, dan sebagai tempat yang aman. Adapun sebagian dari tempat-tempat yang membatasi Makkah sebagai tanah haram adalah sebagai berikut:

 Hudaibiyah, terletak di sebelah barat, berjarak sekitar 22 km dari Makkah.
 Arafah, terletak di sebelah timur; tepatnya pada arah antara timur dan tenggara, berjarak sekitar 22 km dari Makkah.
 Wadi Nakhlah, terletak di utara, tepatnya pada arah antara utara dan baratlaut, berjarak sekitar 16 km dari Makkah.
 Tan’im, terletak di baratlaut, berjarak 7,5 km dari Makkah.
 Jiranah, terletak di utara; antara Wadi Nakhlah dan Tan’im, berjarak 22 km dari Makkah.
 Adlat Laban (Aqisyiyah), terletak di selatan, berjarak 16 km dari Makkah.

“Hudaibiyah?” Ya, Hudaibiyah. Bagi peminat sejarah Islam, Hudaibiyah adalah suatu tempat yang tidak mungkin luput dari ingatan. Ia merupakan salah satu tonggak sejarah menuju, kelak, jatuhnya Makkah ke tangan Rasulullah dan para sahabatnya pada futhuh Makkah. Hudaibiyah, saat itu, menjadi kunci strategi berbalik, kembali “menyerang”, dan, menang! Saya tidak ingin melewatkan peristiwa sejarah yang teramat penting, yang direkam oleh tempat bersejarah ini, Hudaibiyah. Ceriteranya sangat panjang, tapi saya akan berusaha, sebisa mungkin, memendekkannya. Mudah-mudahan, tidak mengurangi nilai sejarah yang dikandungnya. Dan, karena Hudaibiyah ini berhubungan dengan bahasan Tanah Haram, saya ingin mendahulukannya sebelum menulis lebih banyak tentang Tanah Haram itu sendiri atau Makkah pada umumnya.

Saat itu, hari Senin bulan Dzulhijah, Rasulullah beserta para sahabatnya, dan sedikit kaum musyrikin Madinah, berangkat menuju Makkah untuk melaksanakan haji. Rombongan berjumlah sekitar 1500 orang. Sebelum berangkat, seperti biasanya, Nabi menyerahkan kepemimpinan di Madinah selama beliau meninggalkannya, kepada salah seorang sahabatnya (dunia perkantoran saat ini, menyebut apa yang dilakukan Nabi sebagai penunjukan pejabat sementara, Pjs.). Sahabat yang pilih saat itu adalah Abdullah bin Ummi Maktum.

Sesampainya di Zul Hulaifah, beliau memerintahkan pengikutnya untuk memakai pakaian ihram. Masing-masing mulai berniat hendak mengerjakan umrah, sambil membaca talbiyah. Nabi kemudian mengutus Basyar bin Sufyan untuk membaca situasi Makkah dan penduduknya dan bagaimana reaksi mereka atas rencana haji Rasulullah dan sahabatnya ini. “Ya Rasulullah, Basyar melaporkan, “kaum Quraisy telah mendengar berita keberangkatan engkau dari Madinah. Mereka sekarang telah keluar dari Makkah dengan sangat marah. Mereka hendak menghancurkan engkau. Sekarang ini, mereka telah sampai di Zi Thuwan. Mereka berjanji dengan nama Allah bahwa engkau sekali-kali tidak akan diperkenankan masuk ke kota Makkah. Barisan kuda yang dipimpin oleh Khalid bin walid sudah diperintahkan supaya berangkat ke Qura’il Ghamim.”

Dengan tenang, Rasulullah mendengarkan laporan Basyar, kemudian beliau bersabda,
“Oh, kasihan kaum Quraisy. Sesungguhnya mereka telah dilumpuhkan oleh peperangan. Apakah mereka tidak lebih baik membiarkan saja antara saya dan bangsa Arab lain? Jika mereka (bangsa Arab lain) telah membahayakan saya, yang demikian ini yang mereka inginkan. Jika Allah memberi kemenangan kepada saya atas mereka, maka mereka memeluk Islam dengan megah. Dan , jika mereka tidak mau mengikutinya, maka mereka memerangi karena mempunyai kekuatan. Apakah kaum Quraisy menyangka bahwa dengan perbuatan yang demikian itu, saya akan mundur begitu saja? Demi Allah, saya tidak akan berhenti berjuang atas dasar saya diutus Allah karenanya, sehingga Allah memberi kemenangan, atau sampai batang leher saya terpenggal binasa.”

Penduduk Makkah menyangka, kedatangan Rasulullah beserta para sahabatnya ke Makkah, adalah untuk menyerang. Mereka menjadi gusar. Padahal Nabi datang bukan untuk berperang, tetapi untuk melaksanakan haji. Orang-orang Makkah itu, kemudian bersepakat untuk menghalang-halangi kedatangan Nabi dan para sahabatnya. Mereka menyiapkan angkatan perang.

Nabi saw. beserta para sahabat melanjutkan perjalanan melalui jalan yang tidak biasa ditempuh kebanyakan orang, hingga sampai di suatu lembah dan beristirahat di sana. Di tempat itu, ternyata tidak ada air. Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, engkau memerintahkan kita berhenti di tempat ini, padahal di sini tidak ada air yang kita butuhkan selama kita di sini! Mendengar itu Nabi saw. kemudian mengambil anak panah. Anak panah itu diberikan kepada salah seorang sahabat tadi. Orang itu diperintahkan untuk turun dengan membawa anak panah itu ke dalam sebuah perigi yang kering, tidak berair. Anak panah itu ditancapkan ke dalam pasir yang ada di dalam perigi. Seketika itu juga, air memancar dari dalamnya, cukup untuk memenuhi kebutuhan selama di sana. Tempat singgah ini, dalam sejarah, dikenal sebagai “Hudaibiyah”. Nama ini berasal dari nama sumur atau perigi yang ada di tempat itu, yang selanjutnya digunakan sebagai nama desa tersebut.

Kaum Quraisy mengirim tiga utusan secara beturut-turut, menanyakan apa maksud kedatangan Rasulullah saw. ke Makkah. Nabi saw. menyampaikan bahwa maksud kedatangannya adalah untuk berhaji. Para utusan pun menyampaikan hal itu kepada para pembesar Makkah yang mengutusnya. Para pembesar Makkah itu, tetap tidak mempercayai apa yang para utusannya sampaikan, sesuai yang Nabi sampaikan. Mereka tetap berprasangka Nabi akan menyerang. Akhirnya mereka mengirim utusan keempat, Urwah bin Masud. Urwah berkata, “Ya Muhammad, engkau telah mengumpulkan atau menghimpun beberapa macam jenis manusia, kemudian engkau telah datang dengan mereka itu kepada ahli famili dan suku engkau sendiri, untuk menghancurkannya bersama-sama mereka. Sesunggguhya mereka itu telah memakai kulit harimau, hendak mengamuk dan menerkam engkau. Mereka berjanji kepada tuhannya bahwa engkau tidak boleh masuk ke Makkah dengan kekerasan selama-lamanya.”

Urwah kemudian melanjutkan, “Demi Allah, kemungkinan besar mereka (para orang yang telah engkau kumpulkan) itu besok pagi bubar meninggalkan engkau dan menyerahkan engkau kepada musuh-musuh engkau, yang terdiri dari ahli famili engkau sendiri.

Tatkala Urwah bin Mas’ud berkata di hadapan Nabi saw itu, Abu Bakar ash-Shiddiq yang duduk di belakang Nabi selalu mendengarkan. Dan, ketika mendengar perkataan terakhir Urwah, Abu bakar sangat marah. Ia lalu berkata,” Isaplah olehmu kelentit patung berhala Latta! Apakah kami akan bubar meninggalkan beliau?”

Abu Bakar yang sebenarnya adalah seorang penyabar dan penyantun, terpaksa berkata kasar karena tidak tahan mendengar perkataan Urwah, yang seakan menuduh kaum muslimin akan bubar meninggalkan Nabi saw. apabila telah menghancurkan kota Makkah dan segenap penduduknya.

Urwah kemudian melanjutkan pembicaran dengan Nabi saw. tentang maksud kedatangan beliau beserta para sahabatnya ke Makkah. Nabi menjelaskan dengan tegas bahwa kedatangannya itu tidak ada maksud lain kecuali hendak melaksanakan ibadah haji semata.

Selama masa perundingan dengan pihak Nabi saw, Urwah senantiasa memperhatikan segala sesuatu yang terjadi di sekitar Nabi saw. dan pengikutnya, terutama gerak-gerik para sahabat yang selalu taat dan patuh kepda Nabi. Urwah melihat, apabila Nabi saw. berwudhu, berebutlah mereka mengambil air sisanya; apabila Nabi meludah, berebutlah mereka membersihkannya; apabila beliau memanggil para sahabat, bersegeralah mereka datang menghadapkannya; apabila beliau memerintahkan suatu pekerjaan, dengan segera mereka mengerjakannya; apabila diajak bicara oleh beliau, para sahabatnya menjawab dengan suara lembah lembut; apabila mereka berada di hadapan beliau, tidak ada seorang pun yang berani mengangkat kepalanya dan menajamkan pandangan matanya, karena sangat memuliakan beliau; dan apabila ada sehelai rambut beliu gugur, berebutlah mereka memungutnya, karena horamtnya kepada beliau. Semua peristiwa itu diperhatikannya oleh Urwah. Urwah sangat takjub melihat kebesaran pribandi Nabi saw. di tengah para sahabatnya.

Urwah bin Mas’ud lalu kembali ke Makkah dengan membawa keterangan yang didapat dari Nabi saw.. Disamping menyampaikan laporan dari maksud kedatangan Nabi saw. bersama para sahabatnya ke Makkah, Urwah menyampaikan juga kesan-kesan yang dilihat selama kunjungannya di tempat Nabi saw. itu. Ia berkata di muka para pembesar Quraisy yang mengutusnya, “Wahai para kawan pembesar, saya pernah datang kepada Kisra (Raja Persia) di kerajaannya; kepada Caesar (Raja Romawi) di kerajaannya, dan kepada Najasyi (Raja Habsyi) di kerajaannya. Tetapi, demi Allah, saya belum pernah melihat seorang yang dimuliakan dan dihormati oleh kaum dan rakyatnya seperti Muhammad di tengah-tengah kaumnya. Apabila ia berwudhu, maka para sahabatnya berebut menadah air sisa wudhunya. Apabila sehelai rambutnya gugur, berebutlah mereka memungutnya. Mereka itu tidak akan meninggalkannya untuk selama-lamanya.”

Urwah kemudian menegaskan pendiriannya pula, “Sesungguhnya Muhammad itu seorang penyeru kepada kamu denga petunjuk yang lurus, maka hendaklah kamu menerima dan mengikuti seruannya. Perhatikanlah benar-benar yang diserukan oleh Muhammad itu! Sesungguhnya saya ini hanya sengaja memperingatkanmu. Karena itu, pikirkanlah baik-baik sebelum kamu mengambil suatu keputusan terhadapnya. Karena saya mengerti bahwa kamu tidak akan dapat mengalahkan dia selama-lamanya.”

Mendengar laporan dari Urwah tersebut, para pembesar Quraisy berkata, “Cukup! Jangan teruskan keteranganmu! Lebih baik kamu diam saja!

Sesudah empat kali berturut-turut Nabi saw menerima utusan para pemimpin Quraisy, tetapi belum juga ada tanda-tanda yang menunjukan kaum muslimin diizinkan masuk ke Makkah. Nabi lalu memutuskan untuk mengirim utusan kepada kaum Quraisy yang bernama Khirasy bin Umayyh al-Khuzai. Di perjalanan, unta yang ditumpangi utusan ini ditikam oleh seorang Qurasy, tetapi Khirasy selamat.

Dilain pihak, kaum Quraisy mengirim sekitar lima puluh budak mereka ke tempat yang berdekatan dengan tempat pemberhentian kaum muslimin. Mereka memata-matai, dan melakukan sabotase. Mereka, pada setiap malam hari, melemparkan batu-batu dan melepaskan anak panah ke arah kaum muslimin. Pada suatu malam mereka tertangkap dan dihadapkan kepada Nabi saw. agar diberikan hukuman bagi meraka. Tetapi Nabi saw. membebaskan mereka, karena Nabi saw. membuktikan bahwa kedatangan bukan untuk berperang melainkan hanya untuk ibadah haji.

Nabi lalu memanggil Umar bin Khaththab untuk menjadi utusan kepada kaum Quraisy. Namum karena alasan pembawaannya yang keras dan tidak adanya Banu Adi (kerabat Umar) yang bisa memberikan perlindungan, Umar keberatan. Nabi memahaminya. Nabi saw. lalu menunjuk Utsman bin Affan, “ Hai Utsman! Sekarang engkaulah yang akan kami utus ke Makah untuk menegaskan maksud kedatangan kita ke Makkah kepada para pembesar Quarisy, terutama kepda Abu Sufyan. Sesudah itu, hendaklah engkau datang mengunjungi kaum muslimin yang sedang dalam kelemahan di kota itu, tidak mempunyai daya kekuatan. Kemudian beritakanlah oleh engkau kepada mereka bahwa kota Makkah tidak akan lama lagi sudah data dibuka (ditaklukan), sehingga tidak akan ada lagi kekhawatiran bagi mereka yang beriman.”

Utsman segera berangkat menemui para pembesar Quraisy. Ia terlebih dahulu mendatangi Aban bin said bin al-Ash, saudara sepupu Utsman untuk mendapatkan jaminan. Utsman menyampaikan maksud kedatang Rasulullah dan para sahabatnya kepada para pembesar Quraisy. Mereka tidak menjawab dengan tegas. Mereka berkata, “Hai Utsman, jika engkau mau tawaf. Tawaflah sendirian!” Utsman menjawab, “Saya tidak akan tawaf sendiri sebelum Nabi bertawaf di sekeliling Ka’bah. Kami datang untuk menziarahi Ka’bah, untuk menunaikan ibadah haji di sisinya, dan untuk menyampakan hadiah kami. Jika semuanya telah kami kerjakan dengan seksama, kami akan kembali denganm aman.” Mereka berkata, “Kami sudah bersumpah bahwa kami tidak akan mengizinkan Muhammad masuk ke Makkah pada tahun ini, walau dengan kekuatan senjata sekali pun.”

Perundingan berjalan alot, sehingga Utsman tertahan di Makkah yang menyebabkan jadwal kembali Ustman terlambat. Sudah tiga hari tiga malam Utsman tak kujung tiba kembali kehadapan Rasululah dan para sahabatnya. Semua merasa gelisah memikirkan apa yang terjadi pada Utsman. Dalam suasana seperti itu kemudian tersiar kabar bahwa Utsman terbunuh oleh pihak Quraisy. Nabi segera memerintahkan kaum muslimin berkumpul. Nabi bersabda, “Kami tidak akan meninggalkan tempat ini, sebelum kami memerangi kaum Quarisy.” Nabi kemudian mengajak para sahabat yang ada di Hudaibiyah untuk berbaiat. Beliau berdiri di bawah sebuah pohon besar yang ada di tempat itu. Ajakan ini disambut seluruh sahabat dengan semangat. Sebanyak 1400 sampai 1500 sahabat serentak berbaiat kepada Nabi saw., menyatakan sumpah setianya dengan keteguhan iman dan kebulatan tekad untuk menuntut balas kesucian darah Utsman, sampai napas terakhir dan sampai titik darah penghabisan, mereka siap untuk mati dalam pertempuran dan tidak akan undur, setapak pun.

Seorang sahabat bernama Sinan bi Abu Sinan al-Asadi adalah orang pertama yang melakukan baiat. Ia berkata, “Ya rasulullah, saya berbaiat kepada engkau atas apa yang ada pada diri engkau.”
Nabi saw. Bertanya, “Apa yang ada pada diri saya?”
Sinan menjawab,”Saya akan memukul musuh dengan pedang saya di hadapan engkau sehingga engkau diberi kemenangan oleh Allah atau saya mati terbunuh.”

Sahabat lainnya kemudian mengikuti seperti apa yang dilakukan Sinan. Setelah semua sahabat melakukan baiat, Nabi kemudian menjabat kedua tangan beliau sendiri untuk membaiat Utsman bin Affan, yang saat itu diberitakan sudah terbunuh, yang seolah Utsman hadir di situ.

Semua mengeluarkan pedangnya. Peperangan pasti terjadi. Setiap orang memandang datangnya hari kejayanan atau kehancuran; kemenangan atau kekalahan; hidup atau mati. Allah kemudian menurunkan firman-Nya kepada Nabi saw.,

“Orang-orang yang berjanji setia (berbaiat) kepadamu, sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Maka, barangsiapa yang melanggar janjinya, maka akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri. Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar. Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berbaiat kepadamu di bawah pohon. Maka, Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al-Fath:10 dan 18)

Peristiwa baiat ini kemudian terkenal sebagai Bai’tur_Ridhwan, perjanjian yang diridhoi Allah. Juga dikenal sebagai Bai’tur Tahtasy_Syajarah, perjanjian di bawah sebatang pohon. Nabi saw. waktu itu menegaskan mengenai orang-orang yang berbaiat di bawah sebatang pohon itu dengan sabdanya,

“Tidak akan masuk neraka seorang pun dari orang yang telah berbaiat di bawah sebatang pohon kayu itu.”

Dalam suasana yang mencekam itu; saat-saat para sahabat tinggal menunggu komando untuk menyerang, tiba-tiba sampailah berita bahwa Utsman bin Affan masih hidup. Beberapa saat kemudian Utsman muncul di tengah-tengah kau muslimin di Hudaibiyah.

Sementara itu, kaum Quraisy terus mengganggu rombongan Nabi saw.. Mereka mengepung tempat kaum muslimin dengan tujuan menakut-nakuti. Mereka melempar-lemparkan batu dan melepaskan anak panah. Seorang sahabat kena panah mereka hingga tewas. Para sahabat akhirnya dapat menangkap para perusuh itu. Sebagian melarikan diri. Akhirnya dicapai kata sepakat untuk melakukan perundingan antara kedua belah pihak. Berikut adalah hasil dari perundingan tersebut :

Pertama, pada tahun ini kaum muslimin harus kembali ke Madinah, dan pada tahun depan boleh pergi ke Makkah dengan membawa senjata yang biasa dibawa oleh orang yang dalam perjalanan untuk melakukan umrah dan bermukim di sana selama tiga hari.

Kedua, memberi kemerdekaan penuh kepada seluruh bangsa Arab untuk mengadakan persahabatan dengan kaum muslimin atau dengan kaum musyrikin. Maka, bani Khuza’ah berhimpun (bersahabat) dengan kaum muslimin dan bani Bakar berhimpun bersama musyrikin Quraisy.

Ketiga, kedua belah pihak dan orang-orang yang bersahabat dengan mereka tidak boleh mengadakan peperangan selama sepuluh rahun.

Keempat, setiap orang Quraisy yang datang kepada Rasulullah karena hendak mengikuti Islam, harus dikembalikan kepada mereka (Kaum Quraisy di Makkah); dan setiap orang dari kaum muslimin yang datang kepada mereka (Kaum Quraisy) karena hendak murtad, mereka tidak berkewajiban mengembalikannya kepada Rasulullah.

Setelah naskah perjanjian perdamaian ini selesai dirancang oleh pihak Quraisy dan disetujui oleh Nabi saw., sebagian kaum muslimin melihat ketidakadilan dari isi naskah terebut, yakni fasal-4, yang dinilai merugikan pihak Nabi saw. Berkatalah para sahabat kepada Rasulullah , “Maha suci Allah, ya Rasulullah! Bagaimana jika seorang Quraisy datang kepada engkau karena hendak mengikut Islam, maka engkau harus menolaknya. Sedangkan, jika seorang dari kaum muslimin datang kepada mereka karena hendak murtad, meraka tidak harus mengebalikannya kepada engkau?” Nabi menjawab, “ Barangsiapa pergi dari kita kepada mereka, maka Allah yang akan menahannya; dan barangsiapa dari mereka yang datang kepada kita, lalu kita mengembalikannya kepada mereka, maka Allahlah yang akan menjadikan keluasan dan keringanan untuknya.” Dengan jawaban itu, mereka pun puas. Tetapi sebagian kaum muslimin masih ada yang merasa belum puas dengan bunyi naskah pada fasal pertama, di antara mereka itu adalah Umar bin Khththab. Ia meloncat mendapatkan Abu Bakar dan terjadilah dialog ini:

“Ya Abu Bakar! Bukankah beliau itu Rasulullah?”
“Betul, Umar, beliau itu Rasulullah.”
“Bukankah kita ini kaum muslimin?”
“Ya, kita ini kaum muslimin.”
“Bukankah mereka (kaum Quraisy) itu musyrikin?”
“Ya, betul, mereka itu musyrikin.”
“Mengapa kita suka menerima kerendahan dan kehinaan dalam agama kita?”
“Ya Umar, tetaplah d tempat duduk engkau karena saya menyaksikan bahwa beliau itu Rasulullah.”
“Saya pun menyaksikan bahwa beliau itu Rasulullah.”

Karena Umar tidak merasa puas dengan jawaban Abu Bakar, ia pun bertanya langsung kepada Rasulullah.

“Ya Rasulullah, bukankah engkau itu Rasulullah?” Tanya Umar
“Betul, aku ini Rasulullah,” jawab Rasulullah saw.
“Bukankah kita ini kaum muslimin?”
“Ya, betul.”
“Bukankah mereka itu musyrikin?”
“Ya, betul.”
“Mengapa kita diberi kerendahan dalam agama kita?”
Nabi bersabda, “Aku ini hamba Allah dan pesuruh-Nya. Sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya dan Dia tidak akan menyia-nyiakanku.”

Setelah mendapat jawan itu, barulah Umar diam, tidak berani melanjutkan pertanyaannya. Bahkan ia berkata, “ Saya senantiasa bersedekah, berpuasa, bershalat, dan memerdekakan budak karena perbuatan saya pada hari itu. Saya khawatir ucapan yang saya katakan kepada beliau ketika saya mengharapkan keadaan perjanjian damai itu supaya baik.”

Setelah naskah perjanjian diangap tidak ada masalah lagi, Nabi saw. memanggil Ali bin Abi Thalib untuk menulis naskah perjanjian damai antara Nabi saw. dan kaum musyrikin Quarisy yang diwakili Suhail bin Amr. Nabi saw. bersabda,

“Tulis olehmu, bismillahirrahmanirrahiem.”

Suhail menyahut,

“Saya tidak mengerti ini, tetapi tulislah, ‘Dengan nama Engkau, ya Allah.”

Maka, Nabi saw bersabda,

“Tulislah, ‘Dengan nama Engkau, ya Allah.”

Ali lalu menuliskan sesuai yang diperintahkan Nabi saw.. Kemudian beliau bersabda kepada Ali,

“Tulislah olehmu, ‘Inilah perjanjian perdamaian antara Muhammad Rasulullah dan Suhail bin Amr.”

Suhail tidak senang mendengar kalimat “Muhammad Rasulullah” itu, lalu ia berkata,

“Demi Allah, jika kami mengetahui (mengakui) bahwa engkau itu Rasulullah, niscaya kami tidak menghalang-halangi engkau ke Baitullah dan tidak pula kami memerangi engkau. Tetapi tulislah, ‘Muhammad bin Abdullah.”

Nabi saw bersabda,

“Demi Allah, sesunguhnya aku ini benar-benar Rasulullah, walau kamu mendustakanku sekalipun.”

Kemudian beliau bersabda kepada Ali,

“Hapuskan tulisan Rasululah itu!”

Ali berkata,
“Tidak, demi Allah, saya tidak akan menghapusnya.”

Nabi bersabda,

“Tunjukknlah kepadaku tempatnya.”

Ali lalu menunjukan tempatnya, lalu Nabi saw. menghapus sendiri dengan tangannya. Kemudian Ali menulis,

“Muhammad bin Abdullah.”

Selanjutnya Nabi saw. meminta Ali supaya menuliskan naskah perjanjian seluruhnya, yang berbunyi sebagai berikiut:

“Dengan nama Engkau, ya Allah.
Inilah perjanjian perdamaian yang dilaksanakan antara Muhammad bin Abdullah dengan Suhail bin Amr. Keduanya telah berjanji akan menghindari peperangan atas segala manusia selama sepuluh tahun. Pada masa itu orang-orang memperoleh keamanan dan sebagian mereka atas sebagian yang lain menahan diri (menjaga jangan sampai perang). Barangsiapa dari orang Quraisy yang datang kepada Muhammad dengan tidak seizin walinya, hendaklah ia (Muhammad) mengembalikannya kepada mereka; dan barang siapa dari orang yang beserta Muhammad yang datang kepada orang Quraisy, mereka (kaum Quraisy) tidak berkewajiban mengembalikannya kepada (Muhammad). Di antara kita berkewajiban tahan-menahan. Kedua pihak tidak boleh mencuri dengan sembunyi-sembunyi dan tidak boleh cidera. Barang siapa yang suka masuk dalam pengukuhan Muhammad dan perjanjian, bolehlah ia masuk kepadanya; dan barangsiapa suka masuk dalam pengukuhan Quraisy dan perjanjian mereka, bolehlah ia masuk kepadanya.”

Suhail berkata (memberi tambahan naskah itu),

“Engkau pada tahun ini harus kembali, maka tidak boleh engkau masuk ke Makkah kepada kami (kaum Quaraisy). Pada tahun depan, kami (kaum Quraisy) akan keluar dari Makkah, maka engkau boleh masuk ke Makkah dengan para sahabat engkau, lalu engkau boleh berdiam di sana selama tiga hari. Engkau boleh membawa senjata orang berpergian itu.”

Demikianlah isi naskah perjanjian antara Nabi saw. dan utusan pihak Quraisy, Suhail bin Amr, seorang yang terkenal pandai berunding. Naskah tersebut terdiri dari dua helai, sehelai untuk Nabi dan sehelai lainnya untuk kaum Quraisy. Di bawah tanda tangan para saksi dari kedua belah pihak, tertulis kalimat: “Naskah perjanjian ini ditulis oleh Ali bin Abi Thalib.”

Baru saja naskah perjanjian selesai ditulis, Suhail bin Amr belum sampai kembali ke Makkah, dan Nabi saw. belum juga kembali ke Madinah, tiba-tiba seorang pemuda anak Suhail bin Amr, yang bernama Abu Jandal, dengan kedua tangannya terbelenggu, menghadap Nabi saw.. Abu jandal sebenarnya sudah lama memeluk Islam di kota Makkah. Tetapi, karena ia anak seorang pembesar Quraisy, maka ia ditahan dan dikurung di dalam rumahnya dengan kedua tangan diikat. Dia menghadap Nabi degan tujuan mau bergabung ikut serta ke Madinah, karena tidak tahan terhadap perlakuan orang Quraisy terhadapya.

Ketika Suhail mengetahui perbuatan anaknya itu, ia mengejar dan menarik kembali ke Makkah. Abu Jandal berterik-teriak minta tolong kepada kaum muslimin, “Apalah saudara-saudara kaum muslimin sampai hati melihat saya dipulanglan kembali kepada kaum musyrikin dan mereka nanti akan memaksa saya untuk meninggalkan agama saya?” Suhail menampar muka anaknya, Abu Jandal, seraya berkata kepada Rasulullah saw., “Hai Muhammad! Inilah satu tanda bukti yang pertama dari buah perbuatan perjanjian perdamaian antara aku dan engkau.” Nabi menjawab, “Betul kamu, Suhail.” Seluruh kaum muslimin yang ada di tempat itu mendengar teriakan Abu Jandal, semua sedih tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena naskah perjanjian yang belum lama disepakati itu tidak mengizinkan untuk membelanya. Abu Jandal terus berteriak, berharap mendapat pertolongan Nabi saw.. Nabi bersabda,

“Hai Abu Jandal! Tahanlah dan Tabahkanlah hatimu, karena sesungguhnya Allah akan menjadikan bagimu dan bagi orang yang beserta kamu dari orang-orang Islam yang lemah tertindas itu kelapangan dan kelepasan dari kesulitan. Sesungguhnya kami sudah menyimpulkan suatu perjanjian antara kami dan kaum Quraisy. Kami telah memberikan kepada mereka, atas yang demikian itu, dan mereka telah memberikan perjanjian kepada kami dengan nama Allah. Sesungguhnya kami tidak akan berkhianat kepada mereka.”

Demi mentaati perjanjian Hudaibiyah ini, Abu Jandal terpaksa harus kembali ke Makkah mengikuti kemauan ayahnya.

Suhail dan kawan-kawannya kembali ke Makkah; Rasulullah dan para sahabat kembali ke Madinah. Sebagian besar sahabat tidak puas dengan isi perjanian itu, karena dinilai merugikan umat Islam. Dengan demikian ibadah haji/umrah tahun itu tidak jadi dilaksanakan karena dihalangi oleh kaum Quraisy tersebut.

Dalam perjalanan kembali ke Madinah dari Hudaibiyah, turunlah firman Allah:

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang, serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus, dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak). Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimaman mereka (yang telah ada). Kepunyaan Allahlah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana, supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin, laki-laki dan wanita, ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Juga supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah, dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik, laki-laki dan wanita, dan orang-orang musyrik, laki-laki dan wanita, yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka jahanam. Itulah sejahat-jahat tempat kembali. Kepunyaan Allahlah tentara langit dan bumi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (al-Fath:1-7)

“Sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pembawa berita gembira, dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Orang-orang yang berjanji setia (berbaiat) kepadamu, sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Maka barangsiapa yang melanggar janjinya, maka akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri. Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (al-Fath:8-10)

“Orang-orang Badui yag tertinggal (tidak ikut pergi ke Hudaibiyah) akan mengatakan, ‘Harta dan keluarga kami telah merintangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami.’ Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah, ‘Maka, siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. Sebenarnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Tetapi kamu menyangka Rasul dan orang-orang mukmin tidak akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan setan telah menjadikan kamu memandang baik dalam hatimu persangkaan itu, dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa. Barangsiapa yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Kami menyediakan untuk orang-orang kafir neraka yang menyala-nyala. Hanya kepunyaan Allah langit dan bumi. Dia memberi ampun kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan mengazab siapa yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Orang-orang Badui yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan, ‘Biarkanlah kami, niscaya kami akan mengikutimu.’ Mereka hendak mengubah janji Allah. Katakanlah, ‘Kamu sekali-kali tidak boleh mengikuti kami, demikian Allah telah menetapkan sebelumnya.’ Mereka akan mengatakan, ‘Sebenarnya kamu dengki kepada kami.’ Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.” (al-Fath: 11-15)

“Katakanlah kepada orang-orang Badui yang tertinggal, ‘Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam). Jika kamu patuhi (ajakan itu), niscaya Allah akan memberikan kepadamu pahala yang baik. Dan, jika kamu berpaling sebagaimana kamu telah berpaling sebelumnya, niscaya Dia akan mengazab kamu dengan azab yang pedih. Tiada dosa atas orang-orang buta, pincang, dan sakit (apabila tidak ikut berperang). Baragsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan barangsiapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.” (al-Fath: 16-17)

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berbaiat kepadamu di bawah pohon. Maka, Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat. Serta, harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan itu untukmu dan Dia menahan tangan manusia dari (membinasakan)mu (agar kamu mensyukuri-Nya) dan agar hal itu menjadi bukti bagi orang-orang muknim dan agar Dia menunjuki kamu ke jalan yang lurus. Dan (telah pula menjanjikan kemenangan-kemenangan) yang lain (atas negeri-negeri) yang kamu belum dapat menguasainya yang sungguh Allah telah menentukan-Nya. Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Sekiranya orang-rang kafir itu memerangi kamu, pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang, kemudian mereka tiada memperoleh pelindung dan tidak (pula) penolong. Sebagai sunnattullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu. Dialah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan)mu dan (menahan) tanganmu atas mereka. Dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Fath: 18-24)

“Merekalah orang-orang kafir yang menghalangi kamu dari (masuk) Masjidl Haram dan menghalangi hewan kurban sampai ke tempat (penyembelihannya). Kalau karena tidaklah laki-laki mukmin dan wanita-wanita mukmin yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuannmu, (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur-baur, tentulah kami akan mengazab orang-orang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih itu. Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan, (yaitu) kesombongan jahiliyah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang muknim. Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (al-Fath: 25-26)

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka, Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat. Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkankannya terhadap semua agama. Cukuplah Allah sebagai saksi. Muhammad itu utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat mereka dalam Taurat dan Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya. Maka, tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (al-Fath: 27-29)

Isyarat yang terkandung surat al-Fath ini bahwa Allah meridhoi mereka yang berbaiat di bawah pohon di Hudaibiyah; bahwa kemudian Rasululah dan para sahabatnya akan memasuki Masjidil Haram dengan aman; dan Makkah ditaklukan dalam waktu yang dekat, terbukti pada peristiwa futh Makkah. Rasululah dengan sepuluh ribu sahabatnya memasuki Makkah. Kaum Quraisy yang selama ini mendzalimi kaum muslimin, tunduk menyerah kepada Rasulullah. Dan, yang tak kalah penting, dengan strategi Rasulullah saw. dan para sahabatnya dari luar Makkah dan Sayyidina Abbas dari dalam Makkah, Makkah ditundukkan dengan mudah dan tanpa pertumpahan darah!

Inilah dia, rahasia yang terkandung dalam surat al-Fath yang Allah pernah sampaikan kepada Rasul-Nya melalui mimpinya. Tatkala perjanjian Hudaibiyah ditandatangani, banyak sahabat protes kepada Rasulullah. Mengapa menyetujui perjanjian yang berat sebelah itu? Perjanjian yang (menurut para sahabat dan kacamata umum) merugikan kaum muslimin itu? Rasulullah mengetahui, dan sahabat tidak mengetahui rahasia di balik itu. Sehingga Hudaibiyah merupakan strategi mengalah (untuk sementara), kembali ke Madinah, dan (setelah beberapa tahun) kembali ke Makkah. Dan, menang!

Oh ya, selain kasus Abu Jandal, ada suatu hal penting dalam perjalanan Perjanjian Hudaibiyah ini, yakni beberapa orang yang sudah menganut Islam tetapi masih tinggal di Makkah, kemudian lari ke Madinah. Kasus-kasus ini menyulitkan posisi Rasulullah. Sesuai isi perjanjian tadi, mereka tidak boleh di terima di Madinah. Tetapi kalau mereka dibiarkan kembali ke Makkah, maka akan mengalami penyiksaan dari kaum Quraisy. Salah satu contoh kasus adalah peristiwa Abu Bashir dan beberapa muslimah yang lari ke Madinah. Peristiwa itu perlu dibaca kembali, karena strategi Abu Bashir ini berhasil membangun kekuatan Islam di luar Madinah. Secara singkat, akan diuraikan di bawah ini.

Setelah Perjanjian Hudaibiyah ditandatangani, kaum muslimin yang masih tinggal di Makkah semakin banyak mengalami gangguan dari kaum Quraisy. Banyak kaum muslimin yang sudah tidak tahan lagi menerima perlakuan kasar orang-orang Quaraisy. Satu di antara mereka adalah seorang bernama Utbah bin Usaid bin Jariyah atau lebih dikenal dengan Abu Bashir. Ia melarikan diri ke Madinah. Para pembesar Quraisy mengutus dua orang mengantar surat kepada Rasulullah perihal larinya Abu Bashir ini. Rasul berkata kepada Abu Bashir,

“Hai Abu Bashir, sesungguhnya kami telah memberikan perjanjian kepada kaum (Quraisy) itu seperti apa yang kamu ketahui, dan tidak sah (boleh) cidera dalam agama kami. Karena itu, sesunggguhnya Allah akan menjadikan bagi kamu dan bagi orang yang beserta kamu dari golongan orang-orang tertindas kelapangan dan kebebasan. Maka, pergilah kembali kepada kaummu.”

Singkat ceritera, Abu bashir bersama dua orang yang menjemputnya, meninggalkan Madinah menuju Makkah. Dengan meninggalkan Madinah, Abu Bashir merasa sudah tidak lagi melanggar Perjanjian Hudaibiyah, karena ia sekarang tidak sedang datang kepada Muhammad (sesuai isi perjanjian itu) bahkan sedang meninggalkan Madinah. Di perjalanan ia berhasil membunuh seorang Quraisy. Ia datang kepada Rasulullah di Madinah dan berkata, “Ya Rasulullah, telah sempurna tanggungan engkau, karena engkau telah menyerahkan saa kepada kaum musyrik Quraisy, dan saya telah mempertahankan agama saya daripada saya difitnah atau dipermainkan.” Rasul menjawab, “Pergilah engkau, kemana engkau suka!” Ia kemudian ia lari ke ke suatu daerah yang dikenal sebagai Iesh, termasuk wilayah Zil-Marwah. Daerah itu merupakan daerah yang dilalui kaum musyrikin Quraisy apabila mereka berdagang ke Syam. Tak lama kemudian, Abu Jandal bergabung dan disusul yang lainnya hingga berjumlah tujuh puluh orang.

Beberapa hari setelah perjanjian Hudaibiyah, kaum muslimah di Makkah yang suaminya masih musyrik, juga melarikan diri ke Madinah. Saudara-saudara dan para suami mereka mengejar ke Madinah dan menuntut agar mereka dikembalaikan ke Makkah. Mereka ketakutan dan minta perlindungan Nabi saw.. Ketika itu turunlah ayat,

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu wanita-wanita yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui keimanan mereka. Jika kamumtelah mengetahui bahwa merka (benar-benar0 beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka. Berikanlah kepada (suami-suami mereka) mahar yang telah mereka bayarkan… .“(QS. Al-Mumtahanah:10).

Dengan turunnya ayat tersebut jelaslah jaminan keamanan dan perlindungan bagi para wanita tadi dan bebas dari ancaman kaum musyrik Quraisy.

Kembali ke pembicaraan mengenai Tanah Haram. Sebelum berceritera aktivitas di kota Haram ini, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu, apa itu kota Haram. Untuk itu, izinkan saya mengutip keterangan al-Ustadz Quraish Shihab tentang kota dan kata Haram ini untuk menghantarkan kita kepada pemahaman bahasan berikutnya.

Kata haram bermakna larangan dan pengetatan, sebagai lawan kata dari halal yang antara lain bermakna pelepasan dan penguraian. Makna ini kemudian berkembang menjadi berarti boleh, sedang kata haram berkembang pula maknanya sehingga berarti hormat.

Tanah haram adalah tanah atau wilayah yang terlarang bagi para penganiaya, agresor, dan semacamnya, atau wilayah yang mempunyai kehormatan dan harus dihormati. Kata haram yang dirangkaikan dengan tanah atau masjid tidak berarti haram menurut tinjauan fikih, kendatipun makna ini terambil dari akar kata yang sama.

Makin terhormat sesuatu, makin banyak pula larangan yang berkaitan dengannya. Bukankah jika kita menghadap seseorang yang dihormati, maka ada beraneka ragam peraturan, larangan, dan ketentuan protokoler yang menyertainya? Adalah tidak sopan atau tidak akan diperkenankan kita menghadap seseorang yang terhormat atau dihormati dengan memakai celana jeans atau bersandal jepit. Lain halnya kalau kita mau bertemu orang kebanyakan. Mengapa timbul berbagai larangan itu? Jawabannya, karena yang akan ditemui adalah seseorang yang terhormat. Jadi, penghormatan menghasilkan larangan-larangan.

Kota Haram adalah wilayah yang penuh hormat dan harus dihormati, karena itu ada sekian banyak ketentuan dan larangan yang berkaitan dengannya. Di Tanah haram ini, tidak diperkenankan bagi siapa pun untuk berburu, mencabut pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan, membuang atau membawa sebagian dari tanah atau batu-batuan keluar dari Tanah Haram. Itulah sebagian dari keistimewaan Tanah Haram, Makkah al-Mukaromah. Sangatlah wajar kalau Allah sendiri bersumpah dengan kota ini:

Laa uqsimu bihadzal balad (1) Wa anta hillun_bihadzal balad (2)

Salah satu makna dari ayat-ayat di atas adalah :

Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Makkah), walau engkau, Wahai Muhammad, tinggal di sana dan dihalalkan oleh kaum musyrikin perlakukan tidak wajar terhadapmu (QS. Al-Balad : 1-2)

Ketika Rasulullah hidup di Makkah, kita tahu dari sejarah, bahwa Rasulullah SAW, tidak hanya dilecehkan, melainkan dianiaya oleh kaum musyrikin. Namun, Allah melalui firmannya seakan-akan menegaskan bahwa, “Kota Makkah tetap agung di sisi-Ku, walaupun Nabi yang Kucintai diperlakukan di sana secara tidak wajar, karena itu engkau, wahai Muhammad harus tetap mengangungkannya, walaupun mereka telah melampaui batas dalam penganiayaan terhadapmu.”

Apa pesan ayat ini bagi para jamaah haji? Di sana para jamaah boleh jadi mendapatkan perlakuan tidak wajar dari penduduk Makkah atau dari sesama jamaah. Keberadaan manusia yang demikian banyak, dengan berbagai dampaknya, berbenturan kepentingan, cuaca yang tidak ramah, adat istiadat yang berbeda, keletihan fisik, dan sebagainya, semuanya dapat melahirkan ketersinggungan, atau perlakuan tidak wajar, yang sangat potensial menimbulkan kejengkelan. Nah, ayat di atas berpesan bahwa apa pun yang dihadapi atau dialami selama berada Tanah Haram, jangan sampai kekesalan dan kemarahan ditimpakan ke kota suci ini. Bukankah Allah dan Rasul-Nya tetap mengagungkannya, walau penganiayaan terhadap Rasul mencapai puncaknya?

Kota Makkah – apa pun yang terjadi padanya- tetap harus dekat di hati setiap muslim. Ini agaknya menjadi sebab mengapa setiap kali Allah merujuk ke Makkah dengan kata balad (kota), selalu digunakan-Nya kata hadza yang berarti ini, yakni kata yang digunakan untuk menunjukan sesuatu yang dekat. Kota ini, memang selalu dekat di hati orang-orang yang beriman, sehingga selalu saja hati mereka cenderung kepadanya, selalu saja –walau telah berulang-ulang berkunjung- masih juga terpaut hati dengannya, sehingga selalu terpanggil untuk kembali ke sana. Itulah salah satu buah do’a Nabi Ibrahim a.s:

Faj’al afidatan_minannaasi tahwie ilaihim

Jadikanlah hati (sebagian) orang cenderung kepada mereka (QS Ibrahim: 37)

Semoga kita diberikan kekuatan dan dimudahkan-Nya untuk menghormati Tanah Haram ini, sehingga dengan pelbagai keutamaan kota ini dan juga ujian yang mungkin datang kepada kita selama menunaikan ibadah haji, semakin mendekatkan kita kepada-Nya dan menjadikan ibadah haji kita semakin bermakna. Amien.

Makkah dalam Sejarah

Posisi, Suhu Udara, dan Curah Hujan
Kota Makkah terletak di bagian barat Saudi Arabia, termasuk wilayah Hijaz, yang dikelilingi gunung-gunung batu tak berpohon. Makkah merupakan kota pertama di dunia, karena Makkah adalah kota yang pertama kali didiami oleh manusia pertama, Adam dan Hawa. Dari sinilah bermula asal-muasal manusia di seluruh dunia. Dan, di sinilah masjid paling utama berada, masjidil Haram beserta Ka’bah. Di sini pula Adam dan Hawa dipertemukan setelah sekian lama berpisah. Di tanah ini, hewan buruan tidak boleh diburu, pepohonan tidak boleh ditebang, tanah dan batunya tidak boleh dibawa keluar daerah ini.

Makkah berada di ketinggian sekitar 300 m dari permukaan laut; merupakan lembah memanjang di antara bukit-bukit gersang; membentang dari barat ke timur sepanjang lebih kuang 3 km, dengan lebar sekitar 1,5 km. Jarak dari kota-kota penting di sekitarnya adalah sebagai berikut:

 Jeddah, terletak di sebelah barat Makkah, berjarak sekitar 74 km.
 Riyadh, terletak di sebelah timurlaut dari Makkah, berjarak sekitar 1000 km.
 Madinah, disebelah utara, berjarak dari Makkah sekitar 500 km.
 Thaif, di sebelah selatah Makkah, berjarak sekitar 80 km.

Makkah dan sekitarnya karena terletak di lintang utara dari khatulistiwa, maka pada bulan-bulan Juli sampai dengan Agustus, seperti kota-kota lainnya di belahan bumi utara, mengalami musim panas. Udara sangat panas, bisa mencapai 540 C; pada bulan-bulan Desember dan Januari, udara angat dingin sampai sekitar 100 C. Selain karena posisi geografisnya, Makkah dan sekitarnya sangat dipengaruhi iklim gurun. Karenanya, perbedaan suhu udara antara siang dan malam bisa sangatlah kontras. Para jamaah haji, khususnya jamaah haji Indonesia, sebaiknya memahami kapan ia berangkat haji atau umrah, atau pada bulan (Masehi) apa jatuhnya musim haji? Sehingga bisa menyesuaikan perbekalan pakaian yang perlu dibawa. Apakah perlu baju hangat atau tidak? Ini sangat penting, mengingat perjalanan yang jauh dan waktu yang tidak sebentar. Sering kali kita mendapat masukan dari kawan atau kerabat yang pernah naik haji sebelum kita untuk, misalnya, membawa pakaian dan perlengkapan untuk udara panas. Mereka, dulu, waktu pergi jatuh pada musim panas. Padahal, pas kita pergi haji akan jatuh pada musim dingin. Dan, sebaliknya. Sekali lagi, kita perlu memperhatikan pada bulan-bulan musim haji yang kita akan pergi haji padanya.

Makkah dan Bogor
Hujan, dalam setahun, mungkin hanya 3 atau 4 kali turun. Jadi, hujan sangat jarang turun di kota ini. Pernah seorang kawan melihat tenda yang ia tempati agak terbuka ke atas. Ia sangat khawatir. Seorang lainnya yang sudah lama mukim di sana mengomentari, “Jangan khawatir, Pak! Di sini hujan turun 40 tahun sekali.” Tentu saja ia berkelakar. Tapi komentarnya itu menandakan bahwa memang intensitas curah hujan sangat rendah di sini. Bagi orang yang tinggal di Bogor, seperti penulis, hal ini sangat kontras. Di Bogor, nyaris tak ada musim kemarau; hampir tiap hari ada hujan.

Antara Makkah yang sangat jarang turun hujan dan Bogor yang sangat banyak curah hujan, ternyata ada hubungan erat antara keduanya. Makkah yang jarang turun hujan itu, adalah tempat paling utama di dunia untuk berdo’a. Sejumlah tempat mustajab, terdapat di sana. Bagaimana dengan Bogor? Bogor, kota dengan curah hujan terbanyak di Indonesia adalah –merupakan salah satu- kota paling banyak menerima rahmat-Nya di negeri ini. Bukankah hujan itu rahmat? Lagi pula, salah satu waktu yang mustajab untuk berdo’a adalah ketika turun hujan! “Rugi”-lah kita, kalau tinggal di kota yang banyak hujan, tapi jarang berdo’a. Sama seperti kita berada di Makkah, tapi kurang pandai memanfaatkan waktu dan tempat ini untuk banyak berdo’a. Jadi, keduanya merupakan kota yang sangat baik untuk banyak berdo’a!

Makkah dan Penduduknya pada Abad ke-5 dan ke-6 Masehi
Pertengahan abad ke-5, Makkah telah mengalami masa peralihan dari fase kebadawian ke fase peradaban, kendatipun peradaban dalam arti terbatas. Tatanan masyarakatnya berdasarkan prinsip-prinsip permufakatan, saling pengertian yang bersifat kebersamaan dalam tugas-tugas kemasyarakatan.

Makkah adalah lembah yang diapit gunung-gunung batu di sekitarnya. Dengan adanya Ka’bah di lembah Makkah ini, maka semakin banyak orang bertempat tinggal di Makkah. Wilayah Makkah sendiri, semakin lama semakin bertambah luas. Rumah-rumah penduduk yang semula berupa kemah-kemah berubah menjadi rumah-rumah yang dibangun dari material batu dan tanah liat. Sebagai penghormatan kepada Ka’bah, pada mulanya tak ada penduduk yang berani membuat bangunan beratap segi empat. Tetapi lambat laun, sebagian di antara mereka berpendapat lain, sehingga tak sedikit bangunan beratap bersegi empat. Namun demikian, rumah-rumah yang mereka bangun tidak melebihi ketinggian Ka’bah.

Penduduk yang berada umumnya mempunyai tempat peristirahatan yang mereka bangun di luar kota. Pada musin dingin, mereka menetap di Makkah, dan pada musim panas mereka tinggal di tempat peristirahatan, di Thaif. Sebagian mereka, pada musim panas pindah ke Syam (Suriah), dan pada musim dingin pindah ke Yaman. Pemuda-pemuda Makkah, terkenal menyukai kebiasaan hidup rapi, berpakaian baik dan indah.

Pada masa itu Makkah telah menjadi kota dagang. Saudagar-saudagar Makkah keluar-masuk negara-negara Afrika dan Asia. Dari negeri-negeri yang disinggahinya, mereka membawa barang-barang bermutu dan dibutuhkan penduduk Makkah. Dari Afrika mereka membawa barang-barang, seperti: gading, emas, kayu, dan besi. Dari Yaman mereka membawa kulit, wewagian, dan bahan pakaian. Dari Irak membawa rempah-rempah. Dari India mereka membawa emas, timah, batu permata, gading, kayu cendana, rempah-rempah, dan za’fran. Dari Mesir dan Syam, mereka membawa minyak goreng, biji-bijian, senjata, sutera dan arak.

Kepada raja-raja dan para bangsawan, mereka mengirimkan barang-barang terbaik dari Makkah. Barang yang paling disukai para bangsawan di negeri jauh itu adalah barang-barang yang terbuat dari kulit, seperti yang pernah dikirimkan oleh Abdullah bin Rabiah dan Amr bin Al- ‘Ash bin Wa’il kepada Raja Najasi ketika mereka meminta agar kaum muslimin yang hijrah dikembalikan ke Makkah.

Ada pula sejumlah wanita kaya yang menjadi pedagang besar. Mereka mengirim kafilah-kafilah peniagaan ke negeri-negeri yang jauh, seperti ke Syam dan negeri lainnya. Di antara mereka, yang paling terkenal seorang bernama Handzaliyah dan Khadijah binti Khuwalid.

Perdagangan di Makkah mencapai kemajuan yang demikian pesat, hingga banyak di antara penduduknya yang menjadi kaya raya. Mereka bisa mengirim kafilah-kafilah dagang dari dan ke negeri tetangga, dengan jumlah kafilah melebihi 1000 ekor unta, yang mengangkut barang-barang dagangan bernilai sangat mahal. Di antara keluarga-keluarga Quraisy yang terkenal sangat kaya dan hidup dalam kemewahan, antara lain: Al-Walid bin Mughirah, Abu Lahab, dan Abu Uhaihah bin Sa’id bin Al-Ash bin Umayyah. Yang disebut terakhir adalah pemilik sebagian barang-barang dalam kafilah yang dipimpin oleh Abu Sufyan dan ‘Abd bin Rabia’ah Al-Makhzumi. Orang kaya lainnya adalah Abdullah bin Jud’an At-Taimiy; orang yang biasa minum arak dari gelas emas. Ia terkenal pula sebagai orang yang suka memberi makan fakir miskin dan orang-orang yang kelaparan. Abbas bin Abdul Muthalib, juga terkenal sebagai orang kaya. Ia banyak mengeluarkan uang untuk menolong orang lain. Kekayaannya didapat dari pekerjaannya sebagai pelepas uang riba hingga saat datangnya agama Islam. Ketika Rasulullah mengumumkan penghapusan riba, dialah orang pertama yang menjadi sasaran larangan itu. Dalam pidato haji wada, Rasulullah saw. menegaskan :” Riba pertama yang kuhapuskan ialah riba Al-Abbas bin Abdul Muthalib.”

Penduduk Makkah menaruh perhatian besar terhadap masalah keturunan dan berita-berita mengenai nenek moyang. Demikian juga pada syair-syair, astronomi, ramalan, pedukunan dan ilmu pengobatan. Mereka suka bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya, sehingga dikenal sebagai nomad atau nomaden.

Makkah adalah pusat keagamaan, perekonomian dan perdagangan di Jazirab Arabia. Dalam perkembangan selanjutnya, Makkah lebih merupakan kota spiritual saja. Kemudian mengalami kemerosotan di bidang kepercayaan dengan penyembahan penduduknya kepada berhala-berhala. Seperti itulah kondisi masyarakat Makkah pada pertengahan abad ke-6 Masehi. Masa itu adalah masa menjelang kelahiran Muhammad bin Abdullah.

Suku Quraish
Dalam pembicaraan mengenai Makkah dan penduduknya, kita tak akan lepas dari kata-kata quraish atau quraisy. Untuk itu, ada baiknya kita mengetahui apa, siapa dan bagaimana kedudukan suku quarish itu. Di bawah ini, secara ringkas, sekedar penghantar, dibicarakan seperlunya.

Para ulama berpendapat bahwa kata “quraish” atau “quraisy” berasal dari kata “quraisy”, yang artinya apa-apa yang dikumpulkan dari sana-sini. Ulama lain berpendapat bahwa kata qurasy itu berasal dari kata “qarrasya” yang mempunyai arti berpencaharian dengan berdagang.

Perihal kata “quraisy’ ini, ada yang berpendapat bahwa orang yang pertama kali memakai nama itu adalah Quraisy bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah, salah seorang yang termasuk golongan nenek moyang Nabi Muhammad saw.; ada juga yang berpendapat lain.

Kitab-kitab tarikh menyebutkan bahwa setelah keturunan Ismail dan Adnan (keduanya merupakan nenek moyang suku Quraisy), di antara keturunan mereka ada yang bernama Fihr. Ia adalah orang yang sangat kuat pendiriannya dalam mempertahankan Ka’bah dari gangguan suku lain. Ketika orang-orang dari keluarga keturunan Himya dari Yaman, dengan bersenjata lengkap datang ke Makkah untuk membongkar Ka’bah dan memindahkannya ke Yaman, Fihr dengan segala daya upayanya, menolak keras usaha itu dan ia berhasil memukul mundur pasukan itu. Mereka kembali ke Yaman tanpa membawa hasil. Sejak itu, Fihr menjadi lebih dikenal di kalangan masyarakatnya.

Fihr adalah seorang pedagang yang berjualan barang kepada para jamaah haji yang datang ke Makkah. Ia adalah orang yang suka memperhatikan dan membantu orang-orang yang melaksanakan haji terutama mereka yang berkekurangan. Apabila ia berjumpa jamaah haji yang menderita kemiskinan, dia akan berusaha mencari bantuan kepada orang-orang yang sekiranyanya bisa membantu. Setelah mendapatkan bantuan itu, ia mengumpulkannya dan memberikannya kepada jamaah yang berkekurangan tadi. Karena itulah ia dikenal sebagai Quraisy; artinya ‘apa-apa yang dikumpulkan dari sana-sini’. Anak-cucu Fihr kemudian dikenal sebagai keturunan Quraisy. Nama Quraisy lambat-laun menjadi nama sebuah suku bangsa yang besar dan disegani; terlebih setelah Qushayyi berhasil mengembalikan kekuasaan Hijaz ke tangan golongannya. Sejak itulah nama Quraisy menjadi nama suatu golongan bangsa Arab di kota Makkah. Dari suku bangsa Quraisy inilah, kelak lahir seorang pemimpin dunia, pembawa obor hidayah, membawa umat dari gulita malam ke mentari pagi nan cerah-ceria. Dialah jungjungan kita semua, Muhammad Rasululah saw. Agar ibadah haji kita nyambung dan tidak tulalit,
Tidak bisa tidak, kita harus membaca sejarah Nabi saw. yang menjadi pemeran utama sejarah Tanah Suci, Makkah dan Madinah. Karenanya, pada bagian lain dari tulisan ini, saya ingin menyampaikannya, walaupun secara ringkas.

Keutamaan Makkah
Sangatlah banyak keutamaan yang dimiliki Makkah al-Mukaromah ini. Keutamaan-keutamaan itu, antara lain:
 Tempat dimana terdapat Rumah Allah (Baitullah).
 Tempat yang Allah mensyariatkan kepada manusia untuk bertawaf di Ka’bah.
 Melalui Ka’bah, Hajar Aswad, dan Rukun Yamani, Makkah adalah satu-satunya tempat dimana Allah mensyariatkan untuk menghadap dan melambaikan tangan.
 Tempat yang Allah mewajibkan kepada yang mampu, untuk mengujunginya.
 Tempat yang di dalamnya ada satu masjid yang paling utama di dunia.
 Tempat yang paling mustajab untuk berdo’a.
 Merupakan kota kelahiran manusia terbesar sepanjang sejarah bumi.
 Merupakan tempat yang menjadi tujuan utama untuk menemui-Nya.
 Tempat yang setiap orang yang masuk ke dalamnya mendapatkan perasaan khusyu dan kerendahan hati.
 Tempat yang dimaksudkan untuk menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu.
 Merupakan Tanah Suci yang aman; diharamkan menumpahkan darah padanya.
 Tempat yang, kita tidak boleh menghadap atau membelakanginya ketika buang hajat.
 Tempat yang Allah memberikan balasan secara kontan bagi siapa yang berniat jahat, walaupun belum melakukannya.

Makkah dalam Alquran dan As-Sunnah
Makkah merupakan kota yang paling banyak disebut dalam Alquran dan as-Sunnah. Ini wajar, karena Rasul, penerima wahyu dari-Nya, lahir dan besar di kota ini. Dalam ayat-ayat Alquran, adakalanya Makkah disebutkan secar jelas; adakalanya digunakan kata ganti, seperti: Bakkah, Ummul Qura, al-Balad, al-Balad al-Amien, al-Baldah, dan sebagainya. Ada baiknya kita lihat sejenak sebagian dari ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut.

“Dan Dialah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Makkah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka” (QS. Al-Fath: 24).

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah), yag diberkati dan menjadi petunjuk bagi manusia” (QS. Ali Imran: 96).

“Dan ini (Alquran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Makkah) dan orang-orang yang di sekitarnya” (QS. al-An’am: 92).

“Dan ingantlah ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, jadikan negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhlanlah aku beserta anak-cucuku dari menyembah berhala” (QS. Ibrahim: 35).

“Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Makkah); dan kamu (Muhammad) bertempat di kota ini “ (QS. Al-Balad: 1-2).

“Dan demi kota (Makkah) ini yang aman” (QS. at-Tin: 3).

“Aku hanya diperitahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini (Makkah) yang telah menjadikannnya suci dan kepunyaan-Nyalah segala sesuatu; dan aku diperintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” (QS. al-Naml: 91).

“Dan mereka berkata: “Jika kami mengkuti petunjuk bersama kamu, niscaya kami akan diusir dari negeri kami.” Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram (tanah suci) yang aman yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan) untuk menjadi rezeki (bagimu) dari sisi-Ku? Tetapi kebanyakan mereka tidaak mengetahui” (QS. al-Qashas: 57).

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman, di dekat rumah Engkau yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian orang cenderung kepada mereka. Dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS. Ibrahim : 37).

Rasulullah saw. pernah bersabda ketika beliau berada di hazwarah (Pasar Makkah), “Demi Allah, sesungguhnya engkau (Makkah) ialah sebaik-baik bumi Allah, dan bagian bumi Allah yang paling dicintai-Nya; seandainya aku tidak dikeluarkan darimu, maka aku tidak akan keluar.” (HR. Tirmidzi).

Pada kesempatan lain , Rasul berdabda, ” Tidak ada bumi yang lebih baik dan lebih aku sukai daripadamu (Makkah); seandainya kaumku tidak mengusirku, maka aku tidak akan tinggal di selainmu (HR Tirmidzi)